Anindya, Palu Arit dan Jatuh Cinta



Terhadap Anin, Anindya Kusuma Putri yang mahasiswi teknik Planologi Universitas Diponegoro (Undip) angkatan 2010 dan memenangi kontes Puteri Indonesia 2015, banyak mahasiswa Planologi yang satu kampus takut jatuh cinta. Khawatir ditolaknya. Ia cantik dan pintar. Juga aktif. Paling tidak itu yang diungkapkan rektor Undip, Prof Sudharto P Hadi, seperti yang ia dengar dari Riyan Sukarsa, anaknya yang seteman kuliah Anin.

20 Februari 2015 Anin memenangi kontes Puteri Indonesia ke-19. Namanya makin dikenal masyarakat meski cuma gara-gara hanya foto memakai kaos bersablon Palu Arit sewaktu ia berada di Vietnam. Warna kain merah dengan warna kuning sablon membuat baju itu tampak kian menyala. Ia unggah foto tersebut di Instagram. Dengan itu, sebagian masyarakat Indonesia tak setuju. Juga berang. Alasannya macam-macam. Ia beri klarifikasi bahwa pakai kaos itu hanya untuk menghormati kawan-kawan Vietnamnya saat kegiatan berkebun bersama.

Kita sering senang dengan kawan-kawan di luar dari ke-kita-an kita, yang entah apapun itu, misal saja memakai pakaian adat tradisional kita. Eh si Nelson Mandela orang Afrika Selatan suka pakai baju batik entah dalam apapun acara yang ia ada. Kita Senang ia menghormati, yang menurut kita itu budaya kita. Eh ada acara di kampung, ada orang Norwegia bisa dan berbahasa Indonesia. Ia pakai pakaian adat pula. Ia ingin hormati orang Indonesia setempat. Eh ada orang Batak sedang ikut acara di Jogja, ia pakai pakaian adat Jogja. Ia bilang buat hormati warga setempat. Eh Anin di Vietnam pakai kaos bersablon Palu Arit buat rasa ke-Vietnaman-nya guna hormat dengan warga setempat.

Lalu apakah hanya karena memakai, apalagi hanya buat tujuan menghormati orang lain, benar-benar mencerminkan garis ideologi atau bahkan keyakinan seseorang? Apakah si Nelson Mandela benar-benar karena ia orang Indonesia? Apakah si orang Norwegia itu juga adalah sekonyong-konyong orang Indonesia hanya karena berpakaian adat dan berbahasa Indonesia? Apakah kawan Batak kita itu ujug-ujug berubah menjadi Jawa? Kawan-kawan Vietnam Anin tentu kemungkinan sangat besar senang, sebab Anin hormati mereka. Sama juga, kita senang sebab Nelson Mandela "mengiklankan" batik Indonesia. Kita senang mau-maunya si orang Norwegia itu pakai pakaian adat dan mahir berbahasa Indonesia pula. Konteksnya adalah saling menghormati. Logika sederhanaku soal keyakinan urusan hati. Siapa yang tahu hati seseorang.

Palu Arit sebuah lambang yang dipaham-ajarkan pemerintah Indonesia di sekolah-sekolah semenjak dini dengan asosiasi negatif. Ia lambang Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam versi sejarah "narasi resmi" yang dipaksakan pemerintah, partai ini dikonstruksi sebagai gerakan pemberontak yang berbahaya yang hendak menggulingkan dan mendirikan Indonesia dengan nafas komunisme pada 1948 di Madiun oleh tokoh-tokoh PKI. Karena ini adalah narasi pemerintah sebagai "pemenang" maka dengan mudah pemahaman ini menyebar dan dianggap satu-satunya kebenaran tunggal. Ini tercermin di situ Wikipedia misalnya. Di sana tercatat adalah Muso, tokoh PKI yang didukung Amir Sjarifuddin, Menteri Pertahanan saat itu, memporklamirkan Negara Soviet Indonesia pada 18 September 1948 yang ia sendiri sebagai presiden dan Sjarifuddin sebagai perdana menteri. Reaksi pemerintah adalah menumpasnya habis-habisan.

Singkatnya bahwa PKI adalah partai pemberontak yang hendak mengubah haluan negara menjadi komunis. Buntutnya adalah penumpasan tokoh-tokoh dan yang dianggap pengikut partai dan ideologi komunis secara besar-besaran terutama pada 1965. Sejak dan hingga akhir menjabat presiden, Soeharto telah melarang semua orang dan keturunannya yang terkait dengan ideologi komunis terhadap hak-hak warga negaranya. Siswa siapapun diwajibkan menonton film Pemberontakan G30 S/PKI yang selalu dipertontonkan setiap tanggal 30 Sepetember. Usaha stigmatisasi terhadap ideologi komunis oleh pemerintah ini sebegitu rupa dan tertanam di benak rakyat. Nalar sejarah masyarakat diperkosa puluhan tahun dengan perspektif tunggal. Imbasnya, jika siapa bicara atau apapun yang dianggap menyangkut ideologi komunisme maka akan berhadapan dengan rakyat yang mengidap sakit nalar yang sensitif.

Narasi Resmi ini adalah versi tunggal pemerintah. Pemerintah menolak banyak sumber lain yang berbeda bahkan dari para pelaku sejarah sekalipun. Bahwa pemerintah tidak akan pernah merevisi "kebenaran" tunggalnya dan tidak akan pernah menerima fakta lainnya. Misal saja bagaimana narasi Soemarsono dalam buku Revolusi Agustus Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah (Hasta Mitra, 2008) yang merupakan penuturan Soemarsono sebagai pelaku sejarah di seputar peristiwa Madiun ini. Tentang kesaksian lain, bahkan dari para pembunuh-pembunuh korban di Sumatera Utara yang sempat dinarasi-filmkan dengan Jagal atau versi judul Inggrisnya, The Act of Killing, juga Senyap. Dua film yang digarap Joshua Oppenheimer yang menghebohkan dan membikin gerah pemerintah dan sekelumit kelompok radikal pendukung pemerintah. Dua film tersebut me-reka ulang bagaimana eksekusi-eksekusi dilakukan dan siapa-siapa korban yang bahkan tak terkait dengan partai dan ideologi ini. Pemerintah sama sekali masih abai meskipun rejim reformasi telah berjalan sejak 1998.


***

Anin pakai kaos merah bersablon kuning palu arit menyala bercaping pula di Vietnam itu aku asik dan enak saja lihatinya. Apalagi ia juga tak suka bersolek. Kalau soal jatuh cinta padanya aku tak takut. Kenapa mesti takut kalau memang itu sesungguhnya. Bukankah Tuhan adalah Rahman Rahim. Aku tak bisa menolak anugerah-Nya.

Sejak Kamis malam 26 Februari hingga sekarang ini, aku mengunjungi kampus kelasnya. Jauh-jauh dan pagi sekali aku berangkat dari Jakarta ke kampus Undipku di Semarang. Entah dimana, Anin tak kulihat. Di pelataran hanya aku temui pampangan spanduk di depan gedung Planologi. Sebuah ucapan selamat atas menang kontes Puteri Indonesianya.

28 Februari 2015

Comments

Popular Posts