Peserta Galeri Tonggak
BIENNALE JAKARTA 2006
179 Pengurutan Nama di bawah ini berdasarkan Abjad
ABAS ALIBASYAH, Jakarta
Pelukis Abas Alibasyah, lahir di Purwakarta, Jawa Barat, tahun 1928. Pada masa Jepang ia belajar melukis di Keimin Bunka Shidoso di bawah asuhan Barli dan Hendra Gunawan. Setelah lulus dari ASRI (1955), ia mengajar di almamaternya dan menjadi Ketua Departemen Seni Rupa (1962). Setelah berhasil mengadakan reorganisasi ASRI menjadi Sekolah Tinggi , ia dipilih menjadi Ketua STSRI “ASRI” Yogyakarta . Tahun 1971 diangkat menjadi Sekretaris Direktorat Jendral Kebudayaan.
Pemerima Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1984) ini,
dalam menghadapi terpaan budaya Barat yang terbungkus dalam euforia modernisme pada akhir 1960-an sampai awal 1970-an, menerapkan pola dasar geometrik dalam mengabstraksi obyek-obyek. Dengan terus menggali perbendaharaan visual tradisi, di antaranya patung-patung etnis Nusantara, sebagai perwujudan konkrit dalam proses pergulatan mempertahankan nilai-nilai indegeneous. Sampai kemudian berhasil mencapai gaya pribadinya yang khas dan “mengindonesia” sampai sekarang.
Ketika DKJ menggelar biennale pertama 1974 bertajuk Pameran Besar Seni Lukis Indonesia, dan Abas menjadi salah satu pemenangnya, mendapat ‘kado' Desember Hitam, dari Hardi dan kawan-kawannya yang ketika itu menjadi mahasiswanya. Tak lama kemudian para mahasiswa kritis itu dikenai sangsi sekores (kelak bersama beberapa mahasiswa ITB dan IKJ, mereka mengibarkan bendera Gerakan Seni Rupa Baru).
Pelukis yang banyak bereksperimen dengan media batik dalam seni lukis modern Indonesia ini, aktif pameran di dalam dan di luar negeri.
back to top
ABDUL KHOLIM, Yogyakarta
back to top
AD PIROUS, Bandung
Pelukis dengan nama lengkap Abdul Djalil Pirous, lahir di Meulaboh, Aceh, 11 Maret 1933. Setelah lulus dari Departemen Seni Rupa ITB (1964), setahun kemudian mengajar di almamaternya hingga pensiun. Tahun 1969-1970 belajar graphic design dan printmaking pada The School of Art and Design, Rechester Insitute of Technology, AS. Tahun 1971 bersama beberapa teman membentuk jurusan Desain Grafis, Departemen Seni Rupa ITB. Setahun kemudian mendirikan grup Decenta yang bergerak di bidang desain dan seni. Aktif ikut pameran didalam dan diluar negeri.
Setelah meninggalkan gaya gurunya Ries Mulder, Pirous yang pernah menjadi anggota Komisi Nasional Indonesia untuk International Assosiation of Art (IAA), berhasil menemukan ciri khasnya sendiri, yakni karyanya yang bernafas spiritual islami. Pengungkapannya dalam lukisan lewat konstruksi struktur bidang-bidang dengan latar belakang warna yang memancarkan karakter imajinatif.
Dengan prinsip penyusunan itu, perupa ini sangat kuat sensibilitasnya terhadap komposisi dan pemahaman yang dalam berbagai karakter warna. Nafas spiritual suatu ketika muncul dalam imaji warna yang terang, saat yang lain bisa dalam kekayaan warna yang menggetarkan.
Sentuhan ragam hias etnik Aceh, yang memuat ornamen-ornamen atau motif Buraq juga memberi nafas sosiokultural yang islami dalam lukisannya. Sebagai puncak kunci nafas spiritual itu adalah aksentuasi kaligrafi yang melafaskan ayat-ayat suci Alquran.
Sebanyak 7 kali ia mengikuti biennale yang digelar DKJ : 1974, 1976, 1978, 1984, 1989, 1998 dan 2006. Dua kali diantaranya, yakni 1974 dan 1976, menerima penghargaan dari ajang biennale yang diberi nama Biennale Lukisan Indonesia .
back to top
AFFANDI, Yogyakarta
Maestro Affandi lahir di Cirebon , Jawa Barat tahun 1907, dan wafat di Yogyakarta , tahun 1990. Popularitasnya mencuat sejak zaman Jepang hingga tahun 1980-an, dan sampai sekarangpun masih tetap diperhitungkan sebagai salah satu aset penting seni rupa modern Indonesia .
Sebelum terjun penuh menjadi pelukis, tahun 1930-an -- dengan bekal pendidikan MULO dan AMS (tidak tamat) -- ia pernah menjadi guru, yang kemudian mempertemukannya dengan Maryati, seorang murid yang kemudian dipersuntingnya (1933). Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, hijrah ke Jakarta , terus ke Yogyakarta sampai akhir hayatnya. Tahun 1942-1949 aktif dalam organisasi seni lukis, baik di Yogya dengan Himpunan Pelukis Masyarakat dan Himpunan Pelukis Rakyat, maupun di Jakarta dengan Gabungan Pelukis Indonesia .
Setelah Pemulihan Kedaulatan, untuk pertama kalinya ia melawat keluar negeri dengan biaya sendiri. Atas bantuan pemerintah India , ia pameran keliling di 5 kota besar negeri itu. Sejak itu ia malang melintang ikut pameran bersama di Asia , Eropa, hingga Amerika Serikat. Tidak ketinggalan di Indonesia sendiri ia juga aktif pameran tunggal maupun bersama; termasuk ikut bienal yang diselenggarakan DKJ ( 1980, 1982, dan 2006).
Tahun 1969 Affandi menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI dan diangkat sebagai anggota seumur hidup Akademi Jakarta. Tahun 1974, memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari University of Singapura. Empat tahun kemudian mendapat Bintang Jasa Utama dari Presiden Soeharto.
Para pengamat menengarai Affandi, mulai berkarya dengan corak realis, kemudian berkembang kearah impresionis dan ekspresionis. Meski dalam sebuah wawancara ia mengaku seorang realis-naturalis. Tapi terlepas dari itu, karyanya adalah ekspresi empati pada penderitaan, tidak hanya manusia, binatang, tapi juga penderitaan benda-benda, sehingga menjadikan dirinya seorang humanis. Teknik plotot langsung dari tube cat dan usapan tangannya yang liar pada kanvas, menghasilkan gaya pribadi yang banyak diikuti pelukis sesudahnya.
Matahari, tangan dan kaki merupakan simbol kehidupannya. Matahari merupakan manifestasi dari semangat hidup. Tangan menunjukkan sikap yang keras dalam berkarya dan merealisir segala idenya. Kaki merupakan ungkapan simbolik dan motivasi untuk terus melangkah maju dalam menjalani kehidupan. Kalau dicermati, simbol-simbol itu merupakan kristalisasi dari pengalaman dan sikap hidup Affandi maupun proses perjalanan keseniannya yang keras dan panjang.
back to top
AGUS DJAJA, Jakarta
Pelukis Agus Djaja lahir di Banten, Jawa Barat, tanggal 1 April 1913 , wafat 1933. Belajar seni rupa di Akademi Seni Rupa Amsterdam . Ia ikut mendirikan Perhimpunan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi), dan sempat menjadi ketuanya (1937-1942). Namun entah mengapa, kalau orang bicara Persagi, yang teringat lebih dulu adalah S Soedjojono , sang juru bicaranya.
Agus Djaja juga pernah memimpin bagian seni-budaya organisasi bentukan pemerintah pendudukan Jepang, Poetera (1942-1945). Karya-karyanya pernah dipamerkan di TIM, Museum Pusat Jakarta, Stedelijk Museum Amsterdam, Sao Paolo Museum Brazil , dan lain-lain.
Seperti pelukis seangkatannya, karya-karya kakak pelukis Otto Djaja ini, berusaha menangkap semangat hidup rakyat Indonesia dalam berbagai peristiwa sehari-hari. Namun setelah hijrah ke Bali, dan tidak berada ditengah-tengah arus percaturan seni rupa modern di Tanah Air , ia banyak melukis tema-tema ‘ Bali ' yang umum diminati turis asing.
back to top
AGOES JOLLY, Jakarta
Perupa, penari dan pekerja teater Agoes Jolly lahir di Kediri , Jawa Timur, 17 Agustus 1959 , dengan nama lengkap Agoes Hari Rahardjo SA. Setelah belajar seni rupa di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSAR) Yogyakarta, tahun 1976-1980, ia belajar sambil bekerja di Studio Monumen Eddy Sunarso Yogyakarta tahun 1979-1980. Kemudian memperdalam pengetahuan seni rupanya di LPKJ/ IKJ, jurusan seni patung, tahun 1981-1986.
Agoes yang memulai kegiatan pameran seni rupanya tahun 1972 sampai sekarang, di Jakarta, Surakarta, Bali, Bandung, Yogyakarta, hingga Perth (Australia), dengan kecenderungan terakhir lebih banyak menggarap seni rupa kontemporer, dalam bentuk instalasi dan seni rupa pertunjukan. Pernah mengikuti program tukar kebudayaan Asia dan Eropa Summit , di Inggris, 1998.
Di bidang teater, dia sempat melawat ke India dan New York USA , tahun 1990 bersama Sardono W.Kusumo. Tahun 1992 menjadi staf ahli artistik pada pementasan Opera Tiga Dewa Teater Koma.
Pengalaman pada tari dan teater berpengaruh besar pada karya seni rupanya. Maka kemudian ia memilih seni rupa pertunjukan sebagai ideom berkeseniannya.
Menerima penghargaan Piagam Perunggu ‘Sankar' dari Shantiniketan India , ketika memenangkan lomba lukis anak-anak se dunia. Selain itu menerima Penghargaan Pratitha Adhi Karya untuk bidang sketsa, kolase dan patung, semasa SSRI. Pada Festival Teater Jakarta tahun 1993 ia meraih Penata Artistik Terbaik.
back to top
AGUS KAMAL, Yogyakarta
Pelukis Agus Kamal lahir di Pemalang, Jawa Tengah, tanggal 31 Juli 1956. Lulusan FSRD-ISI Yogyakarta, tahun 1986. Dalam peta seni lukis kontemporer Indonesia , karyanya dimasukkan dalam barisan ‘surealisme Yogyakarta '. Hasil penelitian Harry Sulastiono, ITB, menunjukkan bahwa Agus Kamal telah melakukan invensi teknik dengan graffito. Sedangkan didalam karya (yang diteliti saat itu) ditemui adanya ide tentang nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan yang berangkat dari permenungannya tentang beberapa peristiwa penting dalam hidup manusia seperti kelahiran dan kematian
Dalam Bienal Jakarta kali ini, ia mengetengahkan hasil permenungannya tentang uang Republik Indonesia (rupiah). Siapapun tahu, nasib “rupiah” senantiasa diombang-ambingkan oleh isu ekonomi, politik, dan sebagainya. Ia sampai kepada simpulan bahwa rupiah bagaikan hati rakyat lemah, yang luluh lantak diiringi ratapan deritanya. “Mudah-mudahan semua ini menggugah kesadaran spiritualitas kita untuk tidak mudah ditenggelamkan oleh isu uang sebagai berhala orang-orang yang mengaku modern,” harapnya.
Permenungan ulang alik antara realitas dan spiritualitas tersebut, mengantarkan karyanya selain punya ciri khas, juga mengumpulkan penghargaan dari berbagai pihak di dalam dan luar negeri. Antara lain Penghargaan Medali Emas dalam Biennale Seni Lukis II Yogyakarta (1990), Penghargaan Karya Terbaik Dies natalis I, ISI Yogyakarta (1985), dan Honourable Mention dalam XIX Prix International D' Art Contemporain de Monte Carlo- Monaco (1985) .
Perupa yang tinggal di Jl. Bantul KM 8, Lapangan Cepit, Pendowoharjo, Sewon, Yogyakarta ini, juga aktif berpameran. Antara lain Binnale Yogya VIII Yogyakarta (2005), Membaca Dunia Widayat di Museum Widayat (2004), Pameran Seni Rupa FKY-VIII di benteng Vredeburg Yogyakarta (2001) dan Pameran Lukisan Foto Realisme Indonesia di Edwin Gallery (2000).
back to top
ACHMAD SADALI, Bandung
Achmad Sadali (1924-1987) kelahiran Garut Wetan, Jawa Barat, adalah salah satu mahasiswa Ries Mulder di Departemen Seni Rupa ITB. Merujuk pada karya Mulder yang dengan proses geometrik sintetik gaya Jacques Villon, karya-karya muridnya cenderung pada bentuk-bentuk geometrik sejenis. Tapi perjalanan waktu dan pergulatan batin terus menerus mengantarkan para murid, termasuk Sadali, menemukan ciri khasnya sendiri.
Setamat ITB , ia melanjutkan belajar seni lukis di luar negeri. Tahun 1956, belajar di Departemen of Fine Arts, State University of Iowa , Iowa City , AS. Tahun 1957 belajar di Art Teachers College, Columbia University, New York, AS dan studi banding ke Belanda atas biaya STICUSA. Studi banding dilanjutkan 1977 ke Australia dan Lahore , Pakistan .
Ia mengajar di almamaternya sejak 1953 dan 1972 diangkat menjadi Guru Besar Tetap dibidang seni rupa. Karya-karya momunentalnya antara lain, dapat dilihat di Gedung DPR/MPR, PUSRI Palembang dan desain Salon Malaysia . Atas prestasi dan pengabdiannya, ia memperoleh Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1972). Dari 7 kali ikut biennale yang digelar DKJ, dua kali ia mendapat penghargaan, yakni pada 1974 dan 1978.
Dengan tanda segitiga, konstruksi piramida, lelehan emas dan guratan kaligrafi Alquran, karya-karya Sadali memancarkan spritualitas islami. Sekaligus memunculkan ekspresi kristalisasi perenungan tentang nilai-nilai religius, misteri dan kefanaan. Sebagai perupa dengan penghayatan muslim yang kuat, menyandarkan kreativitasnya pada Alquran, surat Ali Imron, ayat 190-191, yang intinya manusia dianugerahi tiga potensi, yaitu kemampuan berzikir, berfikir dan beriman untuk menuju ‘menuju ideal dan paripurna' ( Ulul-albab ).
Menurut Sadali, daerah seni adalah daerah zikir, makin canggih zikir manusia, makin peka mata batinnya. Gunungan Emas , merupakan salah satu karyanya yang diingat orang.
back to top
AHMAD SOPANDI, Jakarta
Setia mengolah tradisi, perupa Ahmad Sopandi, yang lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, tanggal 15 Februari 1958, secara konsisten mengangkat ikon, ornament, maupun simbol-simbol yang selama ini menjadi milik suku-suku di nusantara, ke dalam kanvas-kanvasnya. Medium yang digunakannya pun tidak jarang, diambil dari bahan-bahan alami.
Untuk mendapatkan ide-ide karyanya, biasanya ia terjun langsung ke tengah-tengah suku (komunitas) yang bersangkutan. Salah satu diantaranya, ia bertahun-tahun keluar masuk suku Badui, sampai akhirnya pada masa tertentu karyanya banyak mengangkat rajah dan simbol-simbol mistis lainnya.
Setelah menamatkan S1 seni rupa di ISI Yogyakarta (1981), Sopandi mengambil S2 di Universiti Pendidikan Sultan Idris , Malaysia (2002), lalu melanjutkan S3 di kampus yang sama (2005).
Staf pengajar di Universitas Negeri Jakarta (dulu IKIP), sampai sekarang tercatat telah 27 kali pameran tunggal baik dalam maupun luar negeri, dan lebih dari 75 kali pameran bersama; antara lain di Galeri Nasional Indonesia,Jakarta tahun lalu
back to top
ALEX LUTFI RAHMAN, Yogyakarta
Perupa asal Surabaya , Alex Lutfi Rahman, belajar seni rupa di STSRI “ASRI” Yogyakarta . Putra dramawan dan sastrawan Lufi Rahman ini, menjadi staf pengajar di almamaternya, yang kemudian menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta .
Mulai menekuni bidang seni lukis tahun 1979, saat duduk di bangku kuliah, di bawah bimbingan para dosen tekemuka di Indonesia seperti Fadjar Sidik, Widayat, Nyoman Gunarsa, Aming Prayitno, dan lainnya.
Awalnya Alex Lutfi lebih tertarik dengan kualitas serta keindahan barik, sehingga pada kurun waktu satu tahun itu ia mempelajari dan melukis dengan keindahan subject matter texture .
Banyak karya yang dihasilkan lewat studi, terhadap tradisi wayang rumput yang menjadi mainan di kalangan anak-anak dan para petani Jawa; ia pelajari dan ia angkat ke dalam lukisannya. Karya-karyanya tentang wayang rumput ini, kerap ia pamerkan di Yogyakarta, Bandung , Surabaya dan Jakarta , pada kurun 1980-an.
Tahun 1995, lukisan Alex berubah secara teknik, perupaan, tema hingga obyeknya. Fenomena sosial politik yang semakin keras, kasar, dan vulgar, pada masa mendorong karya-karyanya menjadi sarkastik, lewat tema babi berdasi.
Peraih penghargaan Pratisara Affandi Adi karya 1982,1983, karya-karyanya kini cenderung membidik berbagai peristiwa serta kejadian pada masa Orde Baru, pasca Orde Baru, dan proses reformasi hingga saat ini.
back to top
ALFI, Yogyakarta
Perupa Jumaldi Alfi lahir di Lintau, Sumatra Barat, tanggal 19 Juli 1973. Belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta . Kini tinggal di Kasihan, Bantul, DIY.
Pameran tunggalnya antara lain Re-Konstruksi ,[AIKON], Yogyakarta (1998); Alfi-lukis , Galeri Lontar, Jakarta (2001); Deru (Noise) , Bentara Budaya Yogyakarta ; Cover!Alfi , CCF, Yogyakarta (2002).
Sedangkan pameran bersamanya yang dimulai sejak 1998 antara lain berlangsung di Yogyakarta, Bandung dan Jakarta . Bersama tiga seniman Sumatra, berpameran di Chouinard Gallery, Hong Kong .
Finalis Indonesia Art Award 2003 ini, pada tahun yang sama dipilih oleh YSRI ikut pameran bertajuk Passion: Etno-Identity di Beijing dan Shanghai , China .
back to top
AMANG RAHMAN JUBAIR, Surabaya
Pelukis Amang Rahman Jubair (1931-2001), lahir di Surabaya , tanggal 21 November 1931 . Mulai tahun 1963 belajar melukis sendiri, kemudian bergabung di Sanggar Kelompok, di Surabaya.
Seniman yang kaya humor ini, tahun 1967 mengasuh Yayasan Pendidikan Kesenian Surabaya. Kemudian pada tahun yang sama, bersama pelukis OH Supono, mendirikan Akademi Seni Rupa (Aksera) Surabaya tahun 1967. Setelah itu, bersama seniman seangkatannya mendirikan Dewan Kesenian Surabaya (DKS) tahun 1971; sebagai dewan kesenian ke dua setelah Dewan Kesenian Jakarta, tahun 1968. Di DKS, tahun 1971 menjabat Sekretaris, disusul tahun 1984 menjabat Ketua. Disela kesibukannya berorganisasi, ia terus melukis dan pameran.
Karya-karya Amang Rahman, pada umumnya cenderung surealistik, dengan menekankan permainan ruang ilusif lewat pengulangan bentuk dan perspektif, sehingga menimbulkan irama dan bentuk-bentuk yang semakin jauh semakin kecil dan memberi kesan tanpa batas.
Gaya surealisme – yang ditekuninya secara otodidak tersebut – disebut oleh sebagian pengamat sebagai monolog dan dialog mistis mengenai pengalaman hidup, harapan dan pandangan hidup. Bagi Amang, melukis adalah sebagian dari ibadah.
Amang yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh pelukis kaligrafi di Indonesia , dan penyair, makin potensial di masa tua. Sering mengikuti pameran pada acara-acara penting di dalam dan di luar negeri. Dari 12 kali biennale yang digelar DKJ, Amang ikut sebanyak 9 kali, sekali diantaranya berhasil mendapat penghargaan.
Lukisannya dikoleksi antara lain Museum Affandi, Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, Pusat Kesenian Jakarta, Direktorat Jendral Kebudayaan, hingga kolektor-kolektor terkemuka di Indonesia.
back to top
AMING PRAYITNO, Yogyakarta
Pelukis Aming Prayitno lahir di Surakarta , Jawa Tengah, 9 Juni 1943. Lulusan STSRI ‘ASRI' Yogyakarta dan Koninklyk Academie voor Schoon Kunsten , Gent , Belgia. Sejak tahun 1971 hingga sekarang menjadi tenaga pengajar di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta .
Aming termasuk salah satu pelukis yang paling sering diundang untuk mengikuti biennale yang digelar DKJ. Dari 12 kali penyelenggaraan, tercatat 7 kali ikut serta (1974, 1980, 1982, 1984, 1989, 1996, 2006). Dewan Juri biennale I/1974 dengan nama Pameran Besar Seni Lukis Indonesia mensyahkan karya Aming , bersama AD Pirous, Widayat, Irsam dan Abas Alibasyah sebagai karya terbaik, telah memicu munculnya aksi ‘Desember Hitam' .
Dalam debut seni lukisanya yang merentang panjang sejak tahun 1970-an hingga sekarang, ia telah dua kali menggelar pameran tunggal: di Chase Manhattan Bank, Jakarta (1974) dan Galeri Millenium Jakarta (2004).
Selebihnya lebih sering pameran bersama di dalam dan di luar negeri. Antara lain Pameran bersama pelukis muda di Gent, Belgia (1976 ), Contemporary Asian Art Show di Fukuoka , Jepang (1981 dan 1985), Seoul Contemporary Art Show di Korea Selatan (1986), Pameran Biennale Seni Lukis Yogyakarta (1988, 1990, 1992, 1994, dan 1997), Pameran bersama IKAISYO (1990,1993,1996 dan 2000), Pameran KIAS di Amerika Serikat (1990-1991), Asean Art Festival di Yogyakarta (1992), Jenang Gulo Ojo Lali di Museum Affandi Yogyakarta (2003), Pameran Alumni ASRI (2002,2003,2004,2005), Art for Compassion , Rotary For Humanity, Jakarta (2005).
Selain penghargaan Seni Lukis Terbaik Biennale Seni Lukis Indonesia I (1974) dan IV (1980) , juga menerima penghargaan Raden Saleh Prize , untuk seni lukis terbaik Indonesia (1972), dan Seni Lukis Terbaik Biennale Seni Lukis Yogyakarta III (1992) dan IV (1994).
back to top
AMRI YAHYA, Yogyakarta
Pelukis batik dan kaligrafi Amri Yahya (almarhum), lahir di Palembang, Sumatra Selatan, tanggal 29 September 1939, wafat di Yogyakarta 2004.
Belajar seni lukis secara formal di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta (1963), dan IKIP Yogyakarta (1971). Melanjutkan ke Delft , Belanda (1980). Sejak tahun 1960, ia aktif pameran tunggal maupun bersama, di dalam dan luar negeri. Pernah menjadi anggota International Artist Association IAA-UNESCO Paris, dan Koordinator Pameran kaligrafi Mu'tamar Media Massa Islam se-Dunia I.
Lukisan batik dan kaligrafinya, berhasil menemukan ciri khasnya sendiri, sehingga memperkaya khasanah seni rupa di Tanah Air. Ia berpandangan batik adalah media ekspresi ‘khas' Indonesia . Oleh karena itu batik seharusnya mendapat tempat dalam dunia seni rupa terutama ISI, IKJ, ITB dan perguruan tinggi seni lainnya.
back to top
AMRUS NATALSYA, Jakarta
Amrul Natalsya lahir Medan , Sumatra Utara, 21 Oktober 1933. Belajar seni patung di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta . Sebagai pematung ia dikenal sangat kuat dengan medium kayu yang konsisten mengangkat tema-tema kemanusiaan, terutama perjuangan kehidupan masyarakat bawah.
Semangat seperti itu diam-diam tak pernah padam begitu saja di dadanya, meskipun kini rambutnya sudah memutih. Secara formal, semangat itu merupakan visi ideologi dari Sanggar Bumi Tarung (1963-1965) yang pernah dipimpinnya di Yogyakarta . Sanggar / studio ini milik Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Akibat kejatuhan PKI, ia pun ikut dipenjara selama 5 tahun (1968-1973) di Jakarta dan Tangerang. Meskipun demikian ia tidak pernah patah, dan terus berkarya dan pameran di berbagai tempat. Bahkan dengan jatuhnya Orde Baru di tangan reformasi, memberi kesempatan dia terpilih sebagai anggota Akademi Jakarta, yang berlaku seumur hidup.
Sejak tahun 1955 ia telah dikenal lewat karyanya yang monumental berjudul Orang-orang yang Tersita Haknya pada Senjakala . Dalam rentang waktu setengah abad lebih dalam berkarya , Amrus masih tetap mempertahankan teknik deformasi untuk mempetegas ungkapan penderitaan bagi karya-karyanya, juga memperluas tema. Sebutlah dari yang bersifat mitologis sepeti Perahu nenek Moyang sampai masalah-masalah aktual.
Dalam pada itu, secara khusus ia terus menggali “ada apa di balik perkampungan Cina” yang tersebar di berbagai kota di Indonesia . Karyanya tidak hanya menggambarkan tentang keindahan dan romantika bangunannya, tapi Amrus juga empati pada ketegangan, penderitaan dan perjuangan masyarakat Tionghoa; utamanya setelah terjadi peristiwa tragis 1998 dengan etnis Tionghoa sebagai korbannya. Karya-karyanya dihimpun Amir Sidharta dalam buku Chinatown Amrus Natalsya (2004). “Kalau karya seni saya tidak mengungkapkan kebenaran, lantas apa artinya seni?” ujarnya dalam buku itu.
back to top
ANUSAPATI, Yogyakarta
Pematung Anusapati lahir di Solo, Jawa Tengah, 29 September 1957 . Lulusan STSRI-ASRI Yogyakarta ini memperdalam seni rupanya di Praat Institute Brooklyn, New York , AS. Kini menjadi staf pengajar di ISI Yogyakarta .
Pada masa studinya di AS, ia bekerja sebagai pematung dan mendapat kesempatan mengikuti beberapa pameran di sana . Diantaranya di Praat Manhattan Gallery , New York dan Higgins Gallery, Broklyn , AS.
Patung-patung Anusapati memperlihatkan sentuhan minim dan sederhana. Materi kayu, biji-bijian, jerami – dan teknik pengolahannya – bersama-sama memperlihatkan citra teknologi sederhana seperti yang digunakan di lingkungan “seni rupa bawah” (meminjam istilah kritikus Sanento Yuliman almarhum). Terkadang bentuk patungnya juga memperlihatkan bentuk barang sehari-hari yang bisa digunakan di lingkungan pedesaan. Pendek kata, Anusapati dalam berkatya tidak mempersoalkan pengolahan bentuk.
Anggota pengurus Yayasan Seni Rupa Indonesia (YSRI) ini, aktif mengikuti pameran maupun triennale di dalam dan di luar negeri, antara lain di Yogyakarta, Jakarta (TIM, Galeri Nasional), New Delhi, Johannesburg (Afrika Selatan), Brisbane dan Perth (Australia), Cologne (Jerman), dan Singapura.
Tahun 1998, dalam Triennale II: Pameran Seni Patung Kontemporer Indonesia , yang digelar DKJ di TIM, karyanya mendapat penghargaan sebagai satu diantara tiga terbaik.
back to top
ARFIAL ARSAD HAKIM, Surakarta
Perupa Arfial Arsad Hakim lahir di Medan , 11 Juli 1950. Dosen dosen seni rupa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Seperti penampilan sehari-harinya, lukisan-lukisan pemandangan alam Arfial, tersaji dengan susunan bidang-bidang warna lembut, teduh, dan adem . Di tangan dia kehidupan begitu tentram dan damai, mak nyes, begitulah kata orang Solo.
Arfial, jangan salah Afrial, mula-mula belajar melukis di Sanggar Sekar Gunung, Medan (1968-1969). Selepas belajar di Jurusan Sipil, Fakultas Teknik UNSRI Palembang (1970-1971), ia merantau ke Jawa, menimba ilmu seni rupa di ITB (1972-1978). Sejak 1981 menetap di Solo, mengajar seni rupa di UNS. Pernah menjadi Ketua Program Studi/Jurusan Seni Rupa Murni di FSSR-UNS. Tahun 1984-1988 ia mengikuti program Magister Seni Rupa di FSRD- ITB, hingga meraih gelar Magister Seni.
Sambil mengajar, ia tetap melukis dan pameran di Solo, Jakarta , Bandung , Bali hingga di luar negeri sebanyak 80 kali. Diantarnya, Pameran Biennale Pelukis Muda Indonesia di TIM (1977, 1979), Pameran Biennale Seni Lukis Indonesia di TIM (1981, 1987 ), Pameran Pendidik Seni Rupa se Indonesia di Jakarta (1981 Pameran Keliling ASEAN (1991), Pameran Festival Istiqlal I Jakarta (1991), Pameran JADEX '92 di Jakarta Design Center (1992), Pameran bersama di Maybank Kuala Lumpur, Malaysia (1996), Pameran Seni Rupa Modern Nusantara di Galeri Nasional Jakarta (2001), Pameran Pelukis Surakarta di TBS,Solo (2003), Pameran Pesona Indonesia di Brunei Darussalam (2004) dan Pameran Solo dalam Sketsa di Balai Soedjatmoko, Solo (2005).
Penghargaan yang pernah diterima antara lain Pemenang III disain Monumen Martha Christina Tiahohu di Ambon, dan Finalis Kompetisi Seni Lukis Yayasan Seni Rupa Indonesia – Philip Morris (1997).
back to top
AS. KURNIA, Bali
Pelukis AS Kurnia lahir di Semarang, Jawa Tengah, tanggal 31 Juli 1960. Kini menetap dan berkarya di Ubud, Bali . Selain berkarya, ia termasuk rajin mengikuti kompetisi seni lukis di dalam negeri. Salah satu karyanya berjudul Alienasi, 2003 , yang digarap dengan media campuran, masuk dalam jajaran Kompetisi Nasional Karya Seni Rupa 2 Dimensi Philip Morris Indonesia Art Award 2003.
Ia aktif menggelar pameran bersama sejak 1979, yang dimulai dari kampong halamannya Semarang, lalu merambah ke Yogyakarta, Surakarta, hingga Surabaya, Magelang, Bali, Bandung, Jakarta, Singapura dan Belanda.
Di antaranya adalah pameran SAMA-SAMA, Oosterpoort, Groningen, The Nederlands; Seni Rupa Dua Angkatan di TIM; Biennale X Jakarta 1996 di TIM; YSRI-Philip Morris Indonesia Art Award 1999 di Jakarta; The Asian International Art Fair Singapura; CP Open Bienniale , Galeri Nasional 2003; Aku, Chairil, Aku Galeri Nadi Jakarta; dan pameran ilustrasi cerpen Kompas keliling Jakarta, Yogya, Malang, Bandung dan Denpasar.
Selama 17 belas tahun belakangan ini, Kurnia sudah 10 kali menggelar pameran tunggal di Yogya, Bali dan Jakarta . Khusus tahun 1989 ia mendapat penghargaan pemenang pertama kompetisi perlukis muda Indonesia .
back to top
ASRI NUGROHO PAKURIMBA, Surabaya
Pelukis Asri Nugroho Pakurimba lahir si Surabaya , 1952. Meski namanya pakai Asri, seperti nama perguruan tinggi seni di Yogya , ia seorang pelukis otodidak. Pendidikan formalnya SMA. Pernah dibimbing pelukis Bambang Sugeng dan OH Soepono. Selain itu lewat pergaulannya dengan sesama seniman Surabaya , Asri mendapat kesempatan belajar. Sebelum terjun sepenuhnya jadi pelukis, Asri bekerja sebagai pelukis poster film.
Pergulatan estetiknya kemudian mengantarkan Asri mencapai tema sosial yang dikaitkan dengan masalah ketuhanan dan pengalaman pribadi yang religius, yang dituangkan dalam perlambangan serba kontradiktif, dengan citra logam yang keras sekaligus lentur.
Asri pernah memenangkan Philip Morris Indonesia Art Award 1994, yang berhak menjadi salah satu wakil Indonesia dalam pameran dan kompetisi Philip Morris Asean Art Award 1994 di Singapura. Di daerahnya ia mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Surabaya (DKS).
Ia telah puluhan kali pameran lukisan di Surabaya , Malang dan Jakarta . Selain tetap menjadi pelukis, Asri beberapa tahun belakangan ini mengelola Galeri Gracia; di kota Surabaya yang belum banyak berdiri galeri seperti Jakarta .
back to top
ASTARI RASJID, Jakarta
Perupa Astari Rasjid, lahir di Jakarta , 26 Maret 1953. Tinggal di New Delhi, India (1957-1959), Rangoon, Burma (1969-1963), dan sejak 1976 sampai sekarang menetap kembali di Jakarta.
Setelah belajar Sastra Inggris di Universitas Indonesia (1973), sekolah fashion design di London,Inggris (1974-1976). Setelah berkecimpung di bidang mode, termasuk mengelola majalah mode, Astari melanjutkan belajar seni lukis di University of Minnesota, AS (1987) dan kursus seni lukis di Royal College of Art,London,Inggris (1988).
Sejak 1995 sampai sekarang aktif pameran bersama maupun tunggal, serta mengikuti berbagai kompetisi seni lukis dan biennale di Jakarta, Bali, New York, Hong Kong, Paris, Beijing, dll.
Sebagai perempuan perupa kontemporer, Astari memiliki kecenderungan kuat selain menjelajah teknik dan medium, juga mengusung tema-tema tradisi Jawa dengan semangat penghormatan sekaligus pertanyaan secara kritis, dalam konteks filosofi, tradisi, kedudukan perempuan, hingga kekuasaan. Lewat ikon dan simbol tradisi Jawa seperti tari Bedoyo, kursi raja, keris, wayang, pakaian adat, jimat dan lain-lain. Untuk itu tak jarang ia sendiri yang menjadi model di atas kanvas, sehingga menawarkan keindahan yang khas.
Dalam setahun (1999) ia menerima penghargaan dari Nokia Indonesia , Philip Morris Indonesia Arts Award, dan Winsor & Newton 's Award.
back to top
AWAN SIMATUPANG, Jakarta
Pematung Awan Parulian Simatupang, lahir di Jakarta , 24 Oktober 1967. Belajar seni patung di Fakultas Seni Rupa- Instutut Kesenian Jakarta (FSR-IKJ). Sejak 1997 turut serta dalam pameran bersama di Jakarta, di antaranya Pameran Alumnus IKJ, Metromini, dan pameran Inspired Image , Pameran EXPLO 92, Pameran T di Wijojo Center, British Council, Jakarta, dan pameran di Edwin Gallery.
Di luar itu, panerima Tempo Award 1991 ini, sering mengikuti berbagai pameran dan workshop di luar negeri. Antara lain pameran dan workshop Partisipasi dengan Anonio Ratti Foundation, Milan , Italia; Workshop Performance Art yang diorganisir seniman kontemporer terkemuka Allan Kaprow, Antonio Ratti Foundation, Como , Italia; Workshp dengan Contemporary Jewelry dengan Wilhem Mattar, Singapura.
Seperti seniman lain, Awan juga mengerjakan proyek di luar karya pribadi. Di antaranya membuat Marlboro Trophy , dan membantu membuat logo Universitas Indonesia , Depok.
back to top
BAMBANG BUJONO, Jakarta
Perupa Bambang Bujono, yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah, tahun 1947, dalam perjalanan hidupnya lebih dikenal sebagai salah seorang kritikus seni rupa dan wartawan.
Selama kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) tahun 1967-1968, tinggal di rumah Fadjar Sidik , perupa dan dosennya waktu itu. Tahun 1974, pameran berdua dengan Muryotohartoyo di Balai Budaya Jakarta .
Bambang menulis tentang seni rupa pada tahun 1970 di berbagai media di ibukota. Pindah dari Solo ke Jakarta , ia bekerja di majalah sastra Horison (1973-1978), menangani tata letak, kronik kebudayaan, dan lain-lain. Menjadi wartawan Tempo (1978-1994). Sebelum memimpin majalah D&R (1996-1999) ikut merintis tempointeraktif (1996) sebagai bentuk online majalah Tempo yang dibreidel 1994. Balik ke Tempo (2000-2002), kemudian bergabung dengan majalah bisnis Trust (2002-2005).
back to top
BAGONG KUSSUDIARDJA, Yogyakarta
Seniman serba bisa Bagong Kussudiardja (1928-2004) lahir di Yogyakarta tanggal 9 Oktober 1928. Menempuh pendidikan seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta , di bawah bimbingan Hendra Gunawan, Koesnadi dan Soediardjo.
Semasa hidupnya ia pernah menceritakan proses kreatifnya begini, “ Lukisan-lukisan saya itu tarian saya di atas kanvas, sebaliknya tarian-tarian saya itu lukisan saya di atas panggung.” Jadi tidak mengherankan bila selama hidupnya, ia tidak bosan-bosannya mengangkat tema tarian dalam karya-karyanya, di samping tema tradisi, hingga religiusitas.
Energi kreatif sebagai pelukis, koreografer, peñata musik, pemain film, pendidik ini, berjalan seiring. Energi koreografinya, mampu menciptakan karya-karya tari, yang kemudian berhasil menciptakan gaya tersendiri, dan mewabah ke seluruh penjuru Tanah Air lewat Padepokan Bagong Kussudihardja, yang jejaknya masih terasa hingga kini.
Ia meraih penghargaan untuk karya dan pengabdiannya dibidang seni, antara lain: Medali Emas dari Paus Paulus VI (1973), Satya Lencana Dwija Satya dari Pemerintah RI (1975), Asean Award (1987), dan penghargaan Biennale Seni Lukis Yogyakarta 1988 dan 1992. Dalam biennale yang digelar DKJ sebanyak 12 kali, Bagong diundang sebagai peserta sebanyak 6 kali, termasuk yang sekarang ini.
back to top
BARLI SASMITAWINATA, Bandung
Pelukis Barli Sasmitawinata, lahir di Bandung , Jawa Barat, tanggal 18 Maret 1921. Pada usia belasan tahun sketsa-sketsanya telah digunakan ilustrasi buku-buku sekolah oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal itu mengantarkan dirinya belajar melukis pada pelukis Belanda Jos Pluimentz, dan pelukis Itali Luigi Nobili, dua orang pendidik seni rupa modern di Bandung era 1930-an. Lalu mengembangkan bakat bersama Affandi ke Bali (1940-1942).
Setelah kemerdekaan, atas kerjasama pemerintah Indonesia-Belanda Barli dikirim belajar pada perguruan tinggi seni rupa Belende Kunien Amsterdam (1950). Setelah itu ia belajar lagi di Akademi Grande De La Chuinere Paris (1959)
Salah seorang anggota Kelompok Lima Bandung ini, ikut mendirikan seni rupa IKIP Bandung tahun 1961. Ia termasuk seniman yang percaya pada pendidikan seni rupa. Oleh karena itu juga sudah sejak 1948 Barli mendirikan Sanggar Jiwa Mukti bersama Karnedi dan Sartono. Upaya itu kemudian diteruskan di sanggar Rangga Gempol yang dibentuknya tahun 1956 sepulang dari belajar di Perancis.
Latar belakang pendidikan akademis seni rupa yang diperolehnya dari Belanda dan Perancis, tampak jelas dalam karyanya yang menunjukkan penguasaan teknik menggambar anatomi tubuh manusia secara tepat dan cermat. Berbagai figur orang di pasar hingga di tepi jalan, hingga pemandangan, sering menjadi pokok utama dalam kanvas-kanvasnya.
Karya-karyanya sering dipamerkan mulai dari Bandung , Jakarta , Eropa, Asia , Amerika Serikat hingga Rusia. Jejak perjalanannya terpajang di Museum Barli Bandung , yang didirikan tahun 1992.
Ia menerima penghargaan Satya Lencana Kebudayaan RI , Piagam Penghargaan dari Gubernur Jawa Barat dan Piagam enghargaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
Dalam pameran tunggalnya di Galeri Nasional (2004), memperingati ulang tahunnya ke-83, ia mendapat kado dari istri keduanya, berupa sebuah buku berjudul Kehidupanku Bersama Barli.
back to top
BASOEKI ABDULLAH, Jakarta
R. Basoeki Abdullah (1915-1993) yang lahir di Surakarta , Jawa Tengah, adalah anak pelukis Abdullah Suriosubroto. Ayah-anak itu sama-sama pelukis Mooi Indie . Jika ayahnya lebih dikenal dengan tema pemandangan, maka Basuki Abdullah, walaupun tetap dalam nafas romantisme tetapi mempunyai tema lebih luas.
Terjun ke dunia seni lukis berbekal pendidikan formal, disamping penampilannya yang selalu flamboyan. Ketika usia 18, ia belajar melukis di Academie voor Beeldende Kunsten di DenHaag (1933-1935). Kemudian melanjutkan studi ke Prancis dan Italia. Selain di Indonesia, karyanya pernah dipamerkan di Bangkok , Jepang, Singapura, Belanda, Inggris, Portugis, dan lain-lain. Kolektornya rata-rata para pembesar, di berbagai negara. Meski namanya menjulang keikutsertaannya dalam biennale yang digelar DKJ sejak 1974, ini yang pertama kali.
Pilihan konsep estetis Basuki Abdullah dari mitologi, sosok-sosok tubuh yang telanjang, sosok binatang, potret orang terkenal, perjuangan, ataupun hamparan pemandangan, walaupun semua dibangun dengan dramatisasi, namun semuanya hadir “ lebih indah dari warna aslinya.”
Hal tersebut pernah mendapat kritik tajam dari tokoh Persagi S. Sudjojono, sarat dengan semangat Mooi Indie yang banyak berurusan dengan kecantikan dan keindahan saja. Padahal pada masa itu, bangsa Indonesia sedang menghadapi penjajahan sehingga realitas kehidupannya sangat pahit. Namun kritik Sudjojono ini tidak mampu mematahkan kharisma Basuki Abdullah di tengah-tengah masyarakat luas. Terbukti dengan tetap mengalirnya berbagai penghargaan dari berbagai pihak, termasuk kelompok elite istana dari berbagai negara. Lebih dari itu karyanya sendiri melintasi berbagai masa dan tetap hidup dihati para pengagumnya sampai sekarang. Bahkan dalam setiap lelang lukisan di dalam dan luar negeri, karya Basuki Abdullah ikut serta hadir.
Perseteruannya dengan S.Sudjojono yang berlangsung cukup lama, baru “mencair” setelah pengusaha dan kolektor Ciputra mempertemukannya bersama pelukis Affandi. Kemudian ketiganya saling melukis wajah di atas satu kanvas, yang kemudian menjadi benda sejarah.
Sungguh di luar perkiraan semua orang bila pelukis kondang ini akhirnya harus mati terbunuh di kamar tidurnya oleh kebiadaban seorang pemuda. Pasti bukan sebuah kematian indah apalagi romantis, seperti karya lukisannya. Kini, bekas rumahnya tersebut, yang terletak di kawasan Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan, dijadikan Museum Basuki Abdullah.
back to top
BASUKI RESOBOWO, Belanda
Pelukis Basuki Resobowo lahir di Palembang , Sumatra Selatan, tahun 1916. Ia salah seorang anggota Persagi. Selama bekerja di pusat kebudayaan Poetera (1942-1945), ia mulai giat melukis dan bekerjasama dengan S Soedjojono , Agus Djaja, Basuki Abdullah. Selain melukis, ia rajin menulis esai untuk berbagai majalah. Ia bahkan pernah menulis naskah film berjudul Tamu Agung.
Karena situasi politik 1965, Basuki meninggalkan Indonesia , pergi ke Belanda, dan menetap di sana sampai pada masa tuanya sekarang ini. Meskipun terpisah dalam jarak waktu yang lama, Basuki masih menunjukkan teknik melukis dengan semangat Persagi.
back to top
BONYONG MUNNY ARDHIE, Surakarta
Perupa Bonyong Munny Ardhie, lahir di Malang , Jawa Timur, tanggal 21 Juni 1946. Termasuk salah satu tokoh Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) tahun 1975-1980, yang ikut menandatangani pernyataan Desember Hitam di TIM (1974). Mendalami seni rupa di STSRI-ASRI Yogyakarta (1968-1980), dan UNS Surakarta (1980-1983). Pengajar seni rupa di STSI Surakarta (1983-2002) ini, pernah aktif menjadi Anggota Dewan Kesenian Yogyakarta (1977-1982).
Sejak tahun 1970 aktif pameran bersama maupun tunggal baik lukisan, instalasi mapun performance art di berbagai kota di Tanah Air, antara lain Jakarta , Yogyakarta, Surabaya , dan Surakarta . Antara lain dalam Pameran GSRB, Pameran Kepribadian Apa, Pameran Nur Gora Rupa 1990 Instalasi , dan pameran Contemporary Art ‘Non Blok di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional Indonesia) Jakarta.
Karya-karyanya menampilkan keragaman media dan teknik, guna mengusung tema-tema kritik sosial. Bagi dia, karya seni bukan hanya suatu jeritan, gugatan ataupun luapan ekspresi. Tapi, lebih dari itu, laksana suatu aksi sosial.
back to top
BATARA LUBIS, Yogyakarta
Pelukis Batara Lubis (1927-1986) lahir di Hutagodang, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, tahun 2 Februari 1927. Ia menempuh pendidikan seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta dibawah bimbingan Affandi, Soedarso, dan Hendra Gunawan.
Tahun 1953, ia menjadi anggota tim pembangunan Tugu Muda Semarang. Tahun 1955 mengerjakan Museum CPM, di Kebon Sirih, Jakarta . Tahun 1976 mengerjakan Mozaik Hotel Ambarukmo. Tahun 1970 mengerjakan mozaik Gedung Kehutanan Banda Aceh. Selain itu, ia sering pameran di dalam dan luar negeri.
Karya lukisnya umumnya menampilkan suasana desa dengan gerobak sapi dan kegiatan orang-orang desa, permainan tradisional, pasar, hingga upacara adat di Sumatera Adat dan di Jawa. Kesemuanya itu ia hadirkan dalam wajah yang dipolakan menyerupai ragam hias, dengan warna-warna kontras, yang selama ini menjadi memori kolektif suku-suku di Tanah Air .
Pendekatan visualnya ini dapat dianggap sebagai upaya awal eksperimentasi corak dekoratif dalam seni lukis modern Indonesia .
back to top
BOYKE, Yogyakarta
Perupa Boyke Aditya, lahir di Pontianak , Kalimantan Barat, 25 Maret 1958. Belajar seni rupa di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI)-ASRI Yogyakarta, hingga meraih sarjana tahun 1985.
Sejak mahasiswa sampai sekarang, seringkali pameran bersama maupun tunggal. Mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, dalam Biennale 1989. Karya-karyanya merupakan komunikasi jiwa, dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari keadaan sekitar, perilaku-perilaku mahluk hidup, dan apa saja yang dialminya secara sadar maupun tidak. Sehingga antara mimpi dan realitas, sering menyatu dalam kanvasnya.
back to top
BUT MOCHTAR, Yogyakarta
Perupa dan pendidik ini nama lengkapnya Broertje Mochtar Soebandi lahir di Bandung, Jawa Barat, 30 Desember 1930, dan meninggal tahun 1996. Pada awalnya belajar seni rupa di ITB, di bawah bimbingan Ries Mulder dan Sumardja. Kemudian belajar di Rhode Island School of Design, Amerika Serikat. Ditambah belajar seni patung pada Jose de Creeft di New York 's Arts Studens League. Sebagai pendidik ia pernah memimpin ISI Yogyakarta. Sejumlah karya seni rupanya dikerjakan dengan pendekatan kubistik. Salah satu karya monumentalnya, patung perunggu di halaman Gedung DPR/MPR RI.
back to top
DANARTO, Jakarta
Seniman Danarto, lahir di Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940. Belajar seni lukis pada Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta (1958-1961). Dalam komunitas seni di Tanah Air , ia dikenal luas sebagai perupa, sastrawan, sutradara teater, peñata artistik film dan teater, dan pengamat seni. Terobosan-terobosan estetik dan tematik baru selalu ia tawarkan dalam hampir tiap bidang seni yang digelutinya.
Dedengkot Sanggar Bambu Yogyakarta ini , pada tahun 1973, mengejutkan publik seni rupa dengan pameran “Kanvas Kosong” di TIM, yang menggabungkan seni lukis, seni patung dan seni arsitektur. Karyanya ini belakangan disadarai banyak orang sebagai seni instalasi; yang pada waktu itu istilah tersebut belum digunakan dunia seni rupa.
Pada dekade yang sama, ia memelopori ‘puisi kongkrit' dan fenomena cerpen sufistik di Indonesia. Buku-bukunya yang telah terbit, antara lain Godlob (1975), Adam Ma'rifat (1982), Berhala (1987), Gergasi (1996), Asmaraloka (1999), dan Setangkai Melati di Sayap Jibril (2000). Karya-karyanya ini meraih penghargaan dari dalam dan luar negeri, antara lain Hadiah Buku Utama, SEA Write Award dari Pemerintah Thailand (1988), dan Profesional Fellowship dari Japan Fondation (190-1991).
Sampai sekarang masih aktif pameran bersama (dalam bentuk lukisan/ drawing) di TIM, Nadi Galery, Galeri Lontar, Taksu Gallery, dan Bentara Budaya. Pameran tunggalnya yang terbaru berlangsung di Kedai Kebun Yogyakarta (2003). Salah satu karyanya menjadi koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta .
Karya-karya drawingnya yang khas itu, kini masih sering muncul menghiasi cerpen-cerpennya sendiri maupun cerpen orang lain yang dimuat di harian terkemuka di Jakarta , maupun dalam buku-buku sastra mutakhir.
back to top
DA Peransi, Jakarta
Perupa DA Peransi (almarhum) lahir di Jakarta , tangal 19 Juni 1938. Belajar melukis otodidak dan pada Dr. J. Verkuyl serta Dr D.C. Mulder. Selain menggeluti dunia seni lukis, pria berpenampilan serius itu, juga aktif di bidang sinematografi dan penulisan. Kedua bidang yang disebut belakangan ini, terkesan lebih menonjol dibanding seni lukisnya. Meski demikian ia cukup aktif mengikuti pameran-pameran lukisan.
back to top
DAN HISMAN, Jakarta
Pelukis H. Dan Hisman Kartakusumah, lahir di Sumedang, Jawa Barat, 7 November 1942 . Belajar di Institut Teknologi Bandung , Jurusan Seni Lukis hingga tamat sarjana. Bekerja di Dinas Kebudayaan Pemprov DKI (1975-2003).
Peraih penghargaan Sorensen ini menggelar pameran tunggal Figur-figur Besi di Balai Budaya,Jakarta (1995), Volumetrik , di Galeri Cipta II TIM (1999), Transformasi Kawat Duri , lukisan dan instalasi, di Galeri Nasional,Jakarta (1999).
Selain itu sering kali ikut pameran bersama antara lain Biennale X, XI, di TIM Jakarta, dan pameran lukisan Contemporary Indonesia Art di The Royal Academy of Art Antwerp, Belgia.
back to top
DEDE ERI SUPRIA, Jakarta
Pelukis Dede Eri Supria lahir di Jakarta , 29 Januari 1956. Ia dikenal sebagai salah satu perintis lukisan realisme fotografi di Tanah Air. Berbekal pendidikan formal di Sekolah Menengah Seni Rupa Indonesia (SSRI). Sebelumnya pernah belajar secara khusus (1971-1975) kepada pelukis Dukut Hendronoto. Pada tahun 1977-1979 pelukis ini tercatat sebagai salah seorang pentolan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia .
Dengan gaya realisme fotografi yang telah melekat dari dulu hingga kini itu, Dede tak lelah-lelahnya mengangkat potret kehidupan di kota metropolitan, khususnya pekerja pabrik, buruh kasar, kuli bangunan hingga badut jalanan. Sehingga mencuatkan suasana kontradiktif metropolitan, antara pembangunan dan kemiskinan, konsumerisme dan kefakiran, antara senyuman dan tangis.
Selain pameran di TIM, Galeri Nasional dan di berbagai tempat di kota-kota besar di Indonesia , pelukis pendiam ini pernah menggelar pameran tunggal di Jepang dan Eropa. Termasuk mengikuti Trienniale of Contemporary Art di Brisbane , Australia .
Ia meraih sejumlah penghargaan dari dalam dan luar negeri. Antara lain General Award for The Art dari The Society for American Indonesia Frienship Inc (1978). The International Visitor's Program dari United States Information Service (USIS). Penghargaan Adam Malik (1986) dan Affandi Award (1993).
back to top
DJOKO PEKIK, Yogyakarta
Pelukis Djoko Pekik, lahir di Puwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, 2 Januari 1938. Belajar seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta (1958-1962).
Seringkali pameran bersama maupun tunggal. Antara lain di Magelang, Yogyakarta, Bali dan Jakarta . Dan karya-karyanya selalu nangkring di balai-balai lelang, dan dinding-dinding galeri dan kolektor.
Pameran tunggalnya di Galeri Nasional, pada masa reformasi, sempat menggegerkan menggegerkan publik seni rupa. Lantaran karyanya celeng besar yang tertangkap lalu di pikul, lalu diarak ramai-ramai, sangat asosiatif dengan nasib penguasa Orde Baru yang tumbang.
Sudah menjadi rahasia umum, lukisan-lukisan seniman yang pernah terlibat LEKRA ini sarat dengan tema sosial. Dengan berpihak kepada wong cilik, ia memenuhi kanvas-kanvasnya dengan obyek nasib tukang becak hingga buruh, lengkap dengan beban penderitaan, mimpi, hingga pertarungannya melawan modernisasi.
back to top
DULLAH, Solo
Pelukis naturalis Dullah lahir di Solo 1919, dan meninggal 1987. Ia aktif di berbagai sanggar dan organisasi seniman di masa pergerakan kemerdekaan di Yogyakarta dan Solo. Dimasa itulah ia tekun mengasah ketrampilan melukisnya bersama Affandi dan S. Soedjojono. Lukisan-lukisannya dari masa itu dapat dianggap sebagai dokumentasi kaum pergerakan kemerdekaan dalam bentuk sketsa dan lukisan.
Pada awalnya karya-karya Dullah bercorak realis dengan tema tentang pemuda dan rakyat. Belakangan ia cenderung pada gaya naturalis yang menampilkan ketrampilan teknik melukisnya yang cermat dan halus.
Dimasa pemerintahan Soekarno, Dullah mendapat kepercayaan menjabat sebagai pelukis Istana Kepresidenan RI . Pada masa itu ia berhasil menyusun buku Lukisan-lukisan Koleksi Ir.Dr. Soekarno, Presiden Republik Indonesia , sebanyak 4 jilid (1956, 1959). Atas jasanya, ketika Indonesia-RRC dalam waktu lama memutuskan hubungan diplomatik, buku ini menjadi “jimat” bagi inteletektual China yang tetap ingin mengikuti perkembangan seni lukis Indonesia.
back to top
DWIJO SUKATMO, Surabaya
Pelukis Dwijo Sukatmo lahir di Surabaya , tanggal 28 Agustus 1962. Belajar seni lukis secara formal di Akademi Seni Rupa (Aksera) Surabaya , tahun 1972. Ia menyelesaikan magister psikologi di Untag Surabaya . Sebagai pelukis professional ia telah lama menggantungkan hidup dari seni lukis.
Aktif pameran tunggal maupun bersama di dalam dan luar negeri. Termasuk di dalamnya Biennale International II Racibors , Polandia (2000). Dari 6 kali mengikuti biennale yang digelar DKJ, ia mendapat penghargaan Karya Utama pada Biennale XIII, Seni Lukis Indonesia 1989 . Disusul penghargaan yang lain, yakni Penghargaan Karya Pilihan Direktorat Jendral Kebudayaan Koleksi Museum Nasional Indonesia 1991, dan Penghargaan Seni dari Gubernur Jawa Timur 1993. Dwijo mendapat kehormatan diundang oleh Kerajaan Jordania dan berpameran di Museum Amman , tahun 1997. Karyanya menjadi koleksi Museum Seni Rupa Internasional di Amman.
Secara umum karya Dwijo cenderung menyentuh tataran empiris hingga filosofis, dengan simbol-simbol binatang sampai wayang. Subyeknya sering tumpang tindih, luruh, bahkan kabur, oleh lautan mozaik warna di atas kanvas yang umumnya berukuran besar. Tekniknya ini menjadikan karyanya khas.
back to top
EDDIE HARA, Swiss
Perupa Eddie HaRa (sengaja ditulis dengan huruf R besar), lahir di Salatiga, Jawa Tengah, tahun 1957. Ia menempuh pendidikan seni lukis secara formal di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta , selama tahun 1980-1989. Kemudian memperdalam ilmunya di Academie Voor Beeldende Kunst Enschede, Belanda, selama tahun 1989-1990.
Aktif pameran tunggal maupun bersama antara lain di Yogyakarta, Jakarta , Bali, Swiss, Belanda, Jerman, Kuba, Amerika Serikat , Thailand , Burma , hingga Australia . Sejak tahun 1997 ia bekerja dan menetap di Basel , Swiss. Meski demikian ia cukup sering pulang kampong untuk mengikuti perkembangan seni rupa di Tanah Air.
Karyanya secara umum menggambarkan sejenis makhluk ajaib dari negeri antah berantah dalam struktur deformasi yang radikal. Eddie adalah salah satu pendobrak gaya yang muncul dari ISI Yogyakarta, yang banyak menyerap pengaruh dari kelompok Cobra dan kemudian berhasil menemukan gaya dan corak Eddie haRa sendiri.
back to top
EDI SUNARYO, Yogyakarta
Pelukis, dan pegrafis, Edi Sunaryo, lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, tanggal 4 September 1951 . Sarjana seni lukis tamatan STSI “ASRI” Yogyakarta (1980) yang meraih magister bidang seni rupa murni ITB Bandung (1997) ini, mengajar di Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta . Selama mengabdikan diri di lembaga tersebut, ia pernah menjabat Ketua Jurusan dan Pembantu Dekan I - FSR.
Pemenang Pratisara Affandi Adi Karya 1975 dan 1979, aktif pameran sejak 1976 sampai sekarang, baik di dalam maupun luar negeri. Antara lain Pameran Pelukis Muda di TIM (1977), Pameran Seni Grafis Kontemporer di TIM (1982), Pameran Internasional Biennial ke 2 Seni Grafis di Museum of Modern Art, Wakayama, Jepang (1987), Pameran Seni Grafis di Italia (1990), Pameran Internasional Seni Rupa Kontemporer Gerakan Non Blok di Jakarta (1995), Pameran Kompetisi The 3 rd Kochi International Triennial Exhibition of Prints di Jepang (1996), Pameran lukisan Philip Morris Indonesian Art Awards V di Jakarta (1998), Pameran Lukisan di Moskow (2000), Pameran Seni Grafis 6 EME Triennale Mondiale D'Estampes Petit Format di Prancis (2003), Pameran Seni Rupa Passion: Etno-Identitas (Perkembangan Seni Rupa Indonesia Dekade Terakhir) di China (2003).
Pada pameran tunggalnya yang ke 4, di Museum Nasional Jakarta (2003), melakukan terobosan yang secara hati-hati telah dimulai sejak pameran tunggal ke-3 di MOOM Gallery Jakarta (2000).
Kolektor asal Magelang, Dr. Oei Hong Djien yang mengikuti dari dekat proses perubahan itu, mencatat bahwa Edi Sunaryo meninggalkan ‘citra primitif' nya yang abstrak dan tunduk kepada kaidah-kaidah baku dan kaku, menuju era baru dengan konsep ‘penuh bisa kosong dan kosong bisa penuh', di mana ia mulai menggunakan bentuk nyata yang lembut.
Edi yang sudah lama mahir dalam seni grafis, kadang memasukkan teknik grafis dalam lukisan cat minyaknya, sehingga membuat karyanya tambah menarik. Edi juga mengembangkan karyanya dengan menggunakan kolase.
back to top
EMIRIA SUNASSA, Jakarta
Almarhumah wanita pelukis Emiria Sunassa, pernah menjadi anggota organisasi kebudayaan nasionalis POETERA (Pusat Tenaga Rakyat) di bawah kepemimpinan Sukarno, yang di dalamnya terdapat seksi kesenian yang dipimpin oleh pelukis S. Soedjojono. Dalam wadah itu ia bergabung bersama Affandi, Basuki Abdullah, Dullah, Kartono Yudhokusumo, dan Suromo.
Bersama POETERA, Emiria aktif mengikuti pameran pada tahun 1943, di antaranya pernah pameran bersama 60 pelukis Indonesia di Jakarta. Salah satu karyanya berjudul Pengantin Dayak , yang dominan dengan warna merah jambu dan coklat tua, menjadi koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta.
back to top
ENTANG WIHARSO, Yogyakarta
Perupa Entang Wiharso, lahir di Tegal, Jawa Tengah, tanggal 19 Agustus 1967. Ia lulus dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta , tahun 1994. Karyanya pernah meraih predikat terbaik dalam penghargaan tahunan di kampusnya, tahun 1988 dan 1989. Ia juga pernah meraih Penghargaan Affandi (1994) dan kompetisi Indonesia Art Award (1996).
Dalam berkarya, ia ulang aling antara dua studionya, yang berada di Yogyakarta dan Rhode Island , AS. Hal itu, malah membuatnya produktif.
Salah satu pelukis kontemporer Indonesia ini, aktif pameran di dalam dan di luar negeri, antara lain Yogyakarta, Jakarta, AS, Hongkong, Spanyol, Kanada, Afrika Selatan, Inggris, India, Singapura dan RRC.
Karya-karyanya terhimpun dalam buku Nusa Amuk , Antena Projects, Yogyakarta, tahun 2001, yang terbit mengiringi rangkaian pamerannya di Yogyakarya, Jakarta dan Washington . Karya-karyanyanya menunjukan kecenderungan impresionistik, dengan permainan warna yang kuat, dan cat yang (tak jarang) tebal. Temanya mengedepankan realitas sosial yang terkadang sebagai bentuk protes dalam perspektif humanisme /HAM.
back to top
ERNA G. PIROUS, Bandung
Perupa Erna G. Pirous, lahir di Kuningan, Jawa Barat, 2 September 1941 . Lulusan seni rupa ITB Bandung ini, memperdalam ilmunya di Ecole des Beaux Art Paris (beasiswa satu tahun).
Meski tidak se menjulang suaminya perupa AD Pirous, Erna mempunyai tempat di kalangan perupa wanita di Tanah Air. Karya-karyanya merupakan proses batin dalam menyelami keberadaan suatu misteri dari alam, lingkungan kehidupan dan obyek-obyek tertentu.
Selain melukis ia berkarya dengan grafis. Dari sebuah karya grafisnya yang dikoleksi Dewan Kesenian Jakarta, Model (1971) dan lukisannya Wanita Bergaun Hijau (1989) yang dipamerkan dalam Biennale '89, Erna konsisten dalam menampilkan perempuan secara lembut, namun tatapan matanya sama-sama kosong.
back to top
FADJAR SIDIK, Yogyakarta
Pelukis dan pendidik seni Fadjar Sidik lahir di Surabaya, Jawa Timur, 8 Februari 1930, dan mengembuskan nafas terakhir tahun 2004 di Yogyakarta ; tempat ia berkarya, menimba dan membagi ilmu di almamaternya ASRI yang kini menjadi ISI Yogyakarta.
Tokoh penting ini, pada masa pertumbuhannya dulu pernah mendadar diri di Sanggar Pelukis Rakyat Yogyakarta , asuhan Hendra Gunawan dan Sudarso. Ketika sanggar kemudian berkembang ke arah faham kiri, ia hijrah ke Bali (1957 – 1960) . Di pulau dewata itu ia melukis alam dan kehidupan dalam gaya impresionisme. Namun setelah Bali berubah wajah karena deraan teknologi dan pariwisata, ia menjadi gelisah dan lebih tertarik melukis impuls-impuls murni perasaannya dengan bentuk-bentuk personal.
Keputusan untuk menciptakan bentuk-bentuk sendiri (yang disebut sebagai desain ekspresif) -- seperti bulatan, sabit, gugusan bentuk segi empat, geliat sulur garis hitam misalnya -- yang abtrak murni, tanpa merepresentasikan bentuk-bentuk apapun di alam, merupakan sikap purna dari pencarian dan pemberontakan estetiknya yang panjang. Sekaligus menempatkan dia sebagai agen perubahan dalam seni lukis modern Indonesia .
Semasa hidupnya sering pameran tunggal dan bersama di dalam dan luar negeri. Karyanya banyak dikoleksi museum dan kolektor .Tahun 1971 menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI . Anugerah lain yang tak ternilai harganya adalah rasa hormat yang dalam dari para mahasiswanya yang kini telah menjadi tokoh-tokoh seni rupa di tingkat nasional maupun internasional.
back to top
FARIDA SRIHADI, Bandung
Pelukis Farida Srihadi, yang terlahir di Baturaja, Sumatra Selatan, 9 Juli 1942 dengan nama lengkap Sitti Farida – Nawawi, ditambah Srihadi setelah menikah dengan pelukis Srihadi Soedarsono. Lulusan Seni Rupa ITB Bandung (1973), mendapat beasiswa di Gerrit Rietveldt Kunstacademie, Amsterdam (1976-1978); The University of London, Dept. of Education, London , Inggris (1978-1979; The Ohio State University, Dept. of Arts , AS (1979-1980); dan meraih Master Filsafat (MHum) dari Universitas Indonesia .
Ia pernah mengajar honorer di Dept. Arsitektur, ITB (1975); mengajar di Universitas Trisakti , Jakarta (1975); dan sejak 1980 sampai sekarang mengajar di IKJ Jakarta .
Farida yang pernah mengikuti Biennale '89 Pameran & Kompetisi Seni Lukis Indonesia ke VIII di TIM, memulai debut pamerannya tahun 1975, hingga sekarang telah pameran tunggal dan bersama berkali-kali di Jakarta , Bandung , Kuala Lumpur , Bangkok , dan Belanda. Diluar itu ia aktf menjadi pembicara berbagai seminar, juga menulis seni rupa dan arsitektur. Karya-karyanya cenderung mengangkat tema alam, dengan pendekatan menangkap esensi.
back to top
FIRMAN LIE, Jakarta
Perupa Firman Lie, lahir di Jambi, 14 November 1961 . Dia menempuh pendidikan seni rupa di Jurusan Seni Grafis Fakultas Seni Rupa IKJ Jakarta (1981-1985). Sejak 1986 tercatat sebagai staf pengajar seni rupa di almamaternya.
Banyak sekali mengikuti pameran grafis maupun seni lukis yang diikutinya, baik di dalam maupun di luar negeri. Karya-karya grafisnya, diantaranya menggunakan teknik etching dan screen printing.
Dalam beberapa kesempatan pameran di Jakarta , ia menampilkan karya kontemporer yang mengolah tradisi.
back to top
F. M. WIDAYANTO, Jakarta
Perupa dan keramikus F.M. Widayanto lahir di Jakarta, 23 Januari 1953. Mengajar di IKJ (1990-1996). Pada saat ini ia berada di deretan paling depan, dalam barisan seniman keramik di tanah air yang menginjakkan kakinya pada dua dunia sekaligus: seni dan mass product. Lulusan S1, Jurusan Keramik Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB) 1981 ini, tahun 1983 mendirikan Studio Keramik Marryan's Clay Work di Ciawi, Bogor, disusul tahun 1990 mendirikan Studio Keramik F Widayanto Clay Statement di Tapos, Bogor.
Selama 20 tahun rentang waktu proses kreatifnya, Widayanto yang pernah menggelar pameran sampai Singapura , Australia , AS, melakukan penjelajahan baik dalam hal gagasan, tema, teknik hingga bentuk. Namun sejauh-jauh penjelajahannya, khususnya dalam hal tema dan ide, ia tidak mau lepas dari kekayaan tradisi dan ranah perempuan.
Adapun rentetan penjelajahannya tergambar dengan jelas pada perjalanan kegiatan pameran tunggalnya selama 18 tahun belakangan ini. Pameran Wadah Air di Erasmus Huis Jakarta (1987), Pameran Loro Blonyo , di Mercantile Club, Jakarta (1990); Pameran Topeng di Bank Universal, Jakarta (1990); Pameran Ganesha Ganeshi , di Bentara Budaya Jakarta (1993); Pameran Ukelan , di The Regent Hotel, Jakarta (1995); Pameran Topeng , 16 th National Craft Acquisition Award, Museum and Art Gallery of Notherm Territory, Darwin, Australia (1996). Pameran Golekan , di Bentara Budaya Jakarta (1997); Pameran Mother&Child , di Galeri Nasional Indonesia,Jakarta (2000); Pameran Kendi-kendi, di Restoran & Gallery Koi, Jakarta (2000); Pameran Ceramic Inspiration , di Hotel Sari Pan Pasific,Jakarta (2001); Pameran Dewi Sri , di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2003), dan Pameran Wanita Kipas , di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2005).
back to top
FREDDY SOFYAN, Bandung
Perupa Freddy Sofyan, lahir di Bandung , Jawa Barat, 1947. Belajar melukis di Studio Rangga Gempol, dibawah bimbingan pelukis Barli (1970-1975), belajar seni grafis di Red Point, Bandung (1998), dan menambah wawasan kesenian di Negeri Belanda, Jerman dan Prancis.
Sejak 1994 lima kali menggelar pameran tunggal, antara lain Kosa Mayarupa, Galeri Cipta II TIM (1999), Merekah Karena Waktu , Sheraton Bandung (2000). Disamping itu, ia sering pameran bersama di Bandung , Jakarta , Bali, hingga Singapura , Malaysia , dan Belanda. Juga berkolaborasi dengan seniman dalam dan luar negeri mengadakan pertunjukan seni rupa.
Karya-karyanya dominan dua dimensional, menggunakan media campur. Semula dengan bahan serbuk marmer, tanah, dan terakhir dengan logam/ seng bekas; untuk diberi makna dan nilai keindahan yang baru.
back to top
G. SIDHARTA SOEGIJO, Yogyakarta
Seniman pendidik Gregorius Sidharta Soegijo, lahir di Yogyakarta 30 Noperber 1932. Belajar melukis dan mematung di Sanggar Pelukis Rakyat di Yogyakarta (1949-1950). DIlanjutkan ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta (1950-1953). Kemudian di Akdemi Jan van Eiyk, Maastrich, Belanda (1953-1957). Mendapat ijasah kesarjanaannya dari Seni Rupa ITB tahun 1975.
Pernah sebentar mengajar di ASRI, namun kemudian hengkang ke Bandung mengajar di Departemen Seni Rupa ITB Bandung , gara-gara perbedaan ideologi yang tajam ketika itu dengan rekan-rekan sejawatnya; yang kebanyakan kekiri-kirian.
Setelah pensiun dari ITB, pendidik yang pernah juga ikut membesarkan Jurusan Seni Rupa LPKJ (sekarang IKJ) Jakarta , balik kekampung halaman Yogyakarta . Di kota itu, terus aktif berkarya, sambil memimpin Asosiasi Pematung Indonesia (API), yang ia dirikan bersama para pematung muda dengan semangat membuat terobosan infra struktur maupun kemacetan perkembangan seni patung modern di Tanah Air.
Sebelum memimpin API, pernah memimpin Pelukis Indonesia Muda (PIM) di Yogyakarta; Sekjen Komite Nasional untuk International Association of Art (IAA), Ketua Umum Liga Seni Rupa Indonesia (LSI) di Bandung.
Karya-karyanya yang berupa patung monumental di Jakarta antara lain dapat dilihat pada Tumbuh dan Berkembang, Tonggak Samudra, Mekatronik (singkatan mekanik dan elektronik). Pada tahun 1988, karyanya terpilih untuk disertakan dalam Taman Patung Olimpiade, Seoul , Korea Selatan. Taman ini diisi sebanyak 181 patung dari 66 negara.
Berbagai penghargaan yang pernah diterima antara lain, Penghargaan BMKN (1952), Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1982), Penghargaan Patung Terbaik dari DKJ (1986), dan Penghargaan 2 nd Asean Award for Culture, Communication and Literary Works .
back to top
GENDUT RIYANTO, Jakarta
Perupa dan perancang grafis Gendut Riyanto, lahir di Solo, Jawa Tengah, 1 Desember 1955, dan meninggal di Bekasi, Jawa Barat, 29 Desember 2003. Belajar seni rupa di STSR “ASRI”. Ketika masih kuliah dibangku kuliah tersebut, ia menjadi pentolan Kelompok Kepribadian Apa (disingkat Pipa).
Gendut dan teman-teman di Pipa inilah yang langsung merespon Gerakan Seni Rupa Baru (GSRI) di paruh kedua tahun 1970-an dulu. Jika GSRB intinya ingin menggugat “konvensionalisme” dan kemapanan seni rupa kala itu, maka Pipa seperti “jembatan” yang menghubungkan GSRB dengan generasi berikutnya, taruhlah nama-nama yang terkenal sekarang seperti Dadang Christanto, Edy Hara, dan Heri Dono.
Awal tahun 1980-an, Gendut pindah ke Jakarta . Ia bersama beberapa perupa lain beberapa kali pameran di beberapa hotel. Sehari-hari ia bekerja sebagai perancang grafis. Gendut juga membuat ilustrasi cerpen, cover majalah, dan “puisi rupa.”
back to top
HANAFI, Jakarta
Pelukis Hanafi, lahir di Purworejo, Jawa Tengah, tanggal 5 Juli 1960. Lulus Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta (1999). Pernah mengikuti wokshop A Cross Ocean , mengenai kerja kolaborasi antar disiplin seni di Toronto , Kanada.
Hingga kini telah menggelar pameran tunggal lebih dari 20 kali, di Jakarta, Bali, Kuala Lumpur, Singapura, Toronto dan Barcelona. Disamping itu ia aktif mengikuti pameran bersama di berbagai kota .
Penghargaan yang pernah di terima yaitu dari Philip Morris Indonesia Art Award (1997), Indofood Art Award (2001), dan Golden Palette Ancol , Jakarta (2005).
Lukisan-lukisan Hanafi yang umumnya berukuran besar, di dalamnya cenderung mengangkat obyek atau benda-benda di lingkungan kita sehari-hari, mulai dari gong, wajan penggorengan, kelopak mata, hingga sepatu yang di “ close-up” kadang secara ekstrim. Obyek atau benda-benda yang kasat mata tersebut, umumnya dikepung oleh belantara bidang-bidang warna, garis-garis yang berfungsi sebagai kontur maupun aksen, kadang-kadang juga grafiti dan simbol-simbol lain untuk mengusung makna-makna personal. Tak jarang juga, ia menghiasi kanvasnya dengan citra abstrak.
back to top
HANDRIO, Yogyakarta
Pelukis Handrio, lahir di Purwakarta, Jawa Barat, 8 September 1926 . Tamatan HIS, MULO, Taman Guru ini, belajar melukis di sanggar Pusat Tenaga Rakyat, Keimin Bunka Shidoso, dibawah bimbingan pelukis Basuki Abdullah, Agus Djajasoeminta, S.Soedjojono, dan Ken Yoshioko.
Seniman yang memilih tinggal di Yogyakarta ini aktif pameran, di antaranya di TIM, dalam biennale yang digelar DKJ 1989.
Di balik karya-karya abstrak geometrisnya, dengan warna-warni yang meriah, Handriyo ingin mengemukakan pengalaman indrawi yang dicerapnya secara bebas, untuk melahirkan arti maupun pengalaman baru.
back to top
HARDI, Jakarta
Perupa Hardi, dengan nama lengkap R.Soehardi Adimaryono, lahir di Blitar, Jawa Timur, tangal 20 Mei 1951. Ia pernah belajar di Akademi Seni Rupa (Aksera) Surabaya , tahun 1970, kemudian di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta , tahun 1971-1974. Gara-gara menandatangani pernyataan Desember Hitam pada puncak pengumuman biennale pertama di TIM, tahun 1974 , ia kena skors, sehingga angkat kaki dari ASRI sebelum tamat. Salah satu tokoh penting Gerakan Seni Rupa Baru (GRSB) ini, kemudian melanjutkan kuliah di Jan Van Eyck Academie Maastricht , Belanda.
Gara-gara karya grafisnya yang berjudul Suhardi, Presiden RI 2001 yang dipamerkan di TIM, pada akhir 1970-an, Hardi ditahan oleh Polda Metro Jaya. Atas bantuan Wakil Presiden RI Adam Malik, ia bebas kembali.
Dalam karier seni lukisanya Hardi tak pernah terpaku pada satu gaya . “Saya bebas menentukan yang saya lukis, karena saya majikan yang merdeka,” pasalnya. Pada tahun 1970-an hingga 1980-an, dalam pameran-pamerannya Hardi selalu tampil garang dengan karya-karya protes sosial. Di antaranya tentang penjual koran di perempatan lampu merah yang dikejar polisi. Pada masa itu, karya-karyanya bersemangat memotret dari sisi yang buram, sekaligus sebagai pembelaannya terhadap wong cilik dan nilai-nilai HAM yang belum banyak didengungkan orang.
Namun pada paruh 1990-an sampai sekarang, Hardi yang pernah memimpin Himpunan Pelukis Jakarta (HIPTA), pindah ke tema “aman”, mulai dari penari, pemandangan, Tanah Suci, potret tokoh, hingga dunia binatang. Dalam pameran kolaborasinya dengan seorang fotografer, dan ahli cetak foto digital, Hardi menawarkan ‘Neo Pop Art Indonesia' lewat tema Presiden SBY; yang memicu pro kontra.
Selain melukis, ia piawai menulis dan berbicara seni budaya hingga politik di media massa . Tahun 1999 tercatat sebagai tokoh Who's who Asia di Jepang, melengkapi pamerannya di Tokyo , Jepang.
back to top
HARDIMAN RADJAB, Jakarta
Pematung Hardiman Radjab, lahir di Malang , Jawa Timur, 13 Juli 1960. Menyelesaikan studi di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Fakultas Seni Rupa dan Desain, dengan mayor kria kayu.
Pameran tunggal , Serikat Barang, di Galeri Cipta II, TIM, Jakarta (2002). Sedangkan untuk pameran bersamanya yang dimulai sejak duduk bangku mahasiswa (1981) hingga sekarang, berlangsung di berbagai tempat di Jakarta , antara lain CP Open Bienniale, Interpelation , Galeri Nasional, Jakarta (2003). Selain itu bersama kelompok Metromini, maupun para pematung alumni IKJ.
Tahun lalu ia menggarap diorama untuk pavilion Indonesia di Jepang. Juga melibatkan diri dalam beberapa produksi pertunjukan Teater Koma, untuk lakon Republik Bagong, Presiden Burung-burung , dan Sang Kala.
back to top
HARJIMAN, Yogyakarta
Pelukis Harjiman, lahir di Taman Sari, Yogyakarta , tanggal 21 Februari 1954. Belajar pendidikan seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta . Ia pernah meraih penghargaan Wendi Sorenson Memorial Fund dari AS dan Pratisara Affandi Adhi Karya.
Dalam peta seni lukis di Tanah Air , ia termasuk salah satu pelukis yang memperkaya seni lukis modern Indonesia dengan karya-karyanya yang bercorak dekoratif. Sejumlah karyanya berhasil memanfaatkan kesan barik yang kaya pada seluruh bidang gambar berwarna tanah, yang merekam kesibukan di perkampungan nelayan hingga di pelosok desa.
back to top
HARIJADI SUMADIDJAJA, Yogyakarya
Almarhum pelukis Harijadi Sumadidjaja (1919-1997) lahir di Ketawang Rejo, Kutoarjo, Jawa Tengah, 25 Juli 1999. Ia mulai melukis dan membuat patung sejak usia 17 tahun dan tetap setia dengan pendekatan realis sampai akhir hayatnya.
Harijadi yang juga pelukis mural ini, tahun 1965 pernah dikirim oleh Bung Karno, Presiden RI pertama, unuk belajar mengenal museum di Meksiko.
Kecenderungan yang menonjol dari lukisan Harijadi adalah pemilihan warna yang cenderung gelap tapi tidak hitam. Gelap yang ditimbulkan oleh campuran warna-warna oker, coklat, hijau, dan biru. Pada karya-karya yang bercorak impresionistis hingga pada perkembangannya kemudian yang cenderung ke realisme, lukisan Harjadi (obyeknya) cenderung bergerak.
back to top
HARYADI SUADI, Bandung
Pegrafis dan pelukis Haryadi Suadi lahir di Cirebon, Jawa Barat, tanggal 20 Mei 1939. Tahun 1969 memperoleh gelar sarjana seni rupa dari Fakultas Seni Rupa dan Desain – Institut Teknologi Bandung (ITB). Semasa kuliah karya-karya karikaturnya tersebar di berbagai media cetak.
Haryadi sering mengikuti pameran di dalam dan luar negeri, serta cukup sering mendapat penghargaan. Tahun 1967 menerima penghargaan dari ITB atas karya seni grafisnya. Tahun 1970, saat ikut pameran Best Woodcut '23 rd Sozo Bijutu Exhibition Tenoji Museum , Osaka , Jepang karya grafisnya juga menerima penghargaan. Tahun 1982, saat ikut pameran Biennale Seni Lukis di TIM, Jakarta , lukisannya terpilih dalam jajaran terbaik. Tahun 1986, pameran lukisan kaca di Galeri Lontar. Pameran CP Open Bienniale di Galeri Nasional Indonesia , Jakarta , tahun 2003. Dan tahun 2004 mengikuti pameran The 17 th Asian International Art Exibition Deajeon Municipal Museum of Art Korea .
Karya-karya lukisan maupun grafis Haryadi Suadi, cenderung menggabungkan antara isi tradisional (Timur) dan kemasan modern (Barat).
back to top
HEDI HARIYANTO, Yogyakarta
Perupa Hedi Hariyanto, lahir di kota dingin Malang , 1962. Belajar seni rupa di Fakultas Seni Rupa dan Desain – Institut Seni Indonesia (FSRD-ISI) Yogyakarta , tahun 1983-1990.
Pamerannya selalu menarik perhatian orang. Misalnya, ia pernah menghebohkan Yogyakarta dengan karya eksperimentalnya yang diberi tajuk Destructive Image, yang digelar di kawasan strategis Malioboro, DIY.
Setahun kemudian, 1992, dengan karyanya Teror Produk , Hedi membungkus rumah dengan kertas bekas kemasan, sehingga kembali mengejutkan banyak orang. Sekedar catatan, karya ini merupakan bagian dari pameran Binal di kota budaya tersebut. Pada tahun yang sama, ia mengikuti pameran Jakarta Art and Design Expo (JADEX '92) di Jakarta. Tahun 1993 melahirkan karya Transisi dari media campuran, dan tahun 1995 membuat sebuah installation view bertajuk Tontonan Sepanjang Hari.
Secara umum, Hedi terampil mengolah berbagai bahan, untuk merealisasikan idenya yang dipetik dari pemikiran dan perenungannya tentang konflik, kekerasan, transisi sosio-kultural, dan hal yang sedang berkembang di tengah masyarakat.
back to top
HENDRA GUNAWAN, Bandung
Pelukis, pematung dan organisator seni Hendra Gunawan (1918-1983), lahir di Bandung , Jawa Barat, tanggal 11 Juni 1918. Meskipun pernah mengajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta , ia sendiri seniman otodidak. Mulai melukis sejak masih sekolah di H.I.S. baru serius , sejak belajar melukis pemandangan kepada Wahdi S, dan mendapat petunjuk-petunjuk dari Affandi dan Giorgi Giseken, tentang seni rupa moderen.
Pada masa revolusi, karya-karyanya merupakan rekaman jalannya revolusi, yang mendorong semangat perjuangan bangsa. Ia pun mengambil bagian dalam mendirikan Pusaka Sunda, Pelukis Front dan Pelukis Rakyat Yogyakarta. Selain melukis, ia banyak membuat patung monumental di Yogyakarta, Surabaya dan Semarang .
Tahun 1967-1968 ia dipenjara karena keterlibatannya dalam Lekra, yang menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia . Tapi penjara sama sekali tidak memadamkan semangatnya dalam melukis. Sejumlah karya-karya terbaiknya justru lahir saat di dalam penjara.
Dengan warna-warna cemerlang, Hendra banyak melukis sosok perempuan yang berdada montok dan berbadan sintal, ibu dan anak-anak, yang dipenuhi guratan garis-garis yang bergaya hiasan. Oleh karena itu, pendekatannya itu bisa dianggap sebagai pembuka jalan kepada corak dekoratif dalam seni lukis modern Indonesia . Seperti dituturkan kritikus Sudarmadji (alm), ciri utama lukisan-lukisan Hendra, terletak pada pengggambaran bentuk figur-figur manusia yang mengacu pada profil wayang kulit. Tangan selalu digambar lebih panjang dan kaki nampak perkasa.
Kini oleh kolektor utamanya, pengusaha Ciputra, karya-karya lukisan Hendra banyak yang digubah menjadi patung untuk dipajang pada ruangan terbuka. Sementara karya-karyanya yang lain banyak meramaikan biro lelang di dalam dan luar negeri, disamping jadi obyek pemalsuan.
back to top
HENDRAWAN RIYANTO, Bandung
Perupa kontemporer Hendrawan Riyanto, lahir di Yogyakarta , 15 Januari 1959. Selain mendalami seni keramik baru, saudara kandung Garin Nugroho ini, semasa hidupnya menjadi dosen pada Program Studi Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain - Institut Teknologi Bandung (ITB), yang tak lain adalah almamaternya.
Ia meninggal tak lama setelah usai pameran tunggal di Bentara Budaya Jakarta, bertajuk Naliko NING Semeleh – pasrah dalam keheningan – akhir Februari 2004.Pamerannya terakhir ini merupakan retrospeksi atas karya-karya sejak tahun 1992 – 2004, yang mencari titik keseimbangan antara pembelajaran Barat dan permenungan Timur.
Bentuk-bentuk karya Hendrawan delapan tahun terakhir tersebut mengacu pada eksplorasi obyek-obyek komunal seperti genta, bubu, huruf, rerajahan, serta berbagai bentuk yang mengacu tanda-tanda yang mudah diapresiasi umum. Selain tanah liat yang dibakar, ia sering kali menggunakan medium kayu, batu, bambu dan logam; terkadang medium tersebut dicampurkan satu dengan yang lain. Sering juga ditambah dengan perangkat elektronik, sehingga karyanya menjadi sebuah seni rupa pertunjukan. Misalnya, salah satu karya Hendrawan berjudul Mandala Peteng , yang berbahan kayu dan logam, berwujud cungkup (rumah) yang di dalamnya bisa berputar.
Sebelum pameran di Bentara Budaya tersebut, Hendrawan pernah mengikuti CP Open Bienniale 2003, di Galeri Nasional, Jakarta ; juga di Denmark , Netherlands dan Vinice Beinnale Italy .
back to top
HENDRO SUSENO, Yogyakarta
Sebagai wong Yogyakarta asli, pelukis Hendro Suseno, yang lahir di kota gudeg tanggal 24 Oktober 1962, belajar melukis secara formal di ISI Yogyakarta hingga tamat. Kesenian sudah menjadi jalan hidup pria yang kokoh dalam berpendirian maupun bersikap ini.
Selain melukis di atas kanvas, Hendro juga menggambar di atas kertas, serta membuat ilustrasi di Koran nasional. Untuk menuangkan gejolak batinnya, ia sering mencampur berbagai medium ke dalam kanvas.
Hingga sekarang sering menggelar pameran tunggal maupun bersama didalam dan di luar negeri, antara lain HAM Burger Yogyakarta; Melik Nggendong Lali di Bentara Budaya Yogyakarta; Urip Mung Mampir Ngombe di Bentara Budaya Yogyakarta; BazArt, Fort Vredeburg, Yogyakarta; Gallery Millenium Jakarta; dan Passion Etno-Identity di Beijing – Shanghai (RRC).
Kredo kreatif Hendro dalam berkarya adalah, art is an unimanginable that originates from life. seni adalah suatu unimanginable yang memulai dari model yang hidup.
back to top
HENK NGANTUNG, Jakarta
Mantan Gubernur DKI Jakarta (1964-1965) yang berdarah Manado, dengan nama lengkap Hendrik Joel Hermanus Ngantung, lahir di Bogor, Jawa Barat, tanggal 1 Maret 1921. Belajar melukis pada Prof. Rudolf Wenhart, dari Wina, yang pada saat itu tinggal di Bandung . Pada saat Henk tinggal di kota kembang (1937-1941), berkenalan dengan pelukis Affandi.
Mulai tahun tahun 1940 pindah ke Jakarta . Mengikuti pameran yang diselenggarakan oleh Bataviaache Bond van Kunstkringen, Jakarta . Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), menjadi illustrator surat kabar Jepang Yumiuri Shimbun, Jakarta .
Sejak kemerdekaan hingga Orde Lama, ia aktif dibidang perjuangan, seni lukis, sastra, hingga politik (pemerintahan). Pernah bergabung dengan Laskar kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Membuat sket jalannya perundingan Linggar Jati, Renville, Kaliurang, Negara Indonesia bagian Timur, dan lain-lain. Menjadi anggota kelompok ‘Gelanggang' pimpinan Chairil Anwar. Menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Hingga menjadi anggota juri Tugu Nasional (Monas), anggota MPRS, dan Anggota Front Nasional Pusat. Selama Bung Karno berkuasa, ia banyak dilibatkan pembangunan patung-patung di Jakarta , yang jejaknya masih dapat kita lihat sampai sekarang.
Kekuatan sket-sketnya, mengantar karya-karya lukisannya kuat juga secara anatomis dan perwatakannya. Ia meninggal seusai pameran tunggal di Ancol, tahun 1990-an.
back to top
HENING SWASONO
back to top
HERI DONO
back to top
HILDAWATI, Jakarta
Seniman keramik Hildawati Soemantri, lahir 26 November 1945 . Belajar seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB) tamat tahun 1971, dilanjutkan ke MFA Prett Institute, 1976, dan meraih gelar doktor di Cornel University, AS (1995) dengan thesisnya tentang seni patung keramik Majapahit . Ia mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) sampai akhir hayatnya, 17 Januari 2003.
Sejak 1970-an pernah beberapa kali melakukan pameran, di antaranya Nuansa Indonesia di TIM dan Wisma Seni P dan K (sekarang Galeri Nasional) 1987, Kalagyan di Hotel Sahid (1985), dan ditempat-tempat lain seperti Citibank, Kartika Chandra, hingga Balai Seni Rupa, Jakarta . Pada pamerannya terakhir di Galeri Cemara 6 (2003), ia seperti masih berteriak "seni keramik dimarjinalkan!"
Selama hidupnya ia penentang gigih persepsi yang melihat seni rupa di dunia tradisi non-Barat sebagai craft yang cuma menampilkan keindahan permukaan ( decorative art), termasuk di dalamnya seni keramik hanya kerajinan, yang derajatnya lebih dari seni rupa.
Dengan kapasitasnya sebagai kurator independen, antara tahun 1980an-1990an ia menggalang para pekeramik Indonesia , menggelar pameran-pameran besar keramik. Selain untuk meluaskan pandangan-masyarakat tentang seni keramik sebagai media ekspresi dan tidak memandang rendah seni keramik, juga untuk mengenalkan semua dimensi seni keramik
Dimata pengamat karya-karya Hildawati cenderung memasuki jalur perkembangan seni rupa kontemporer. Ia mengakses pemikiran-pemikiran seni rupa kontemporer untuk merombak persepsi pada perkembangan seni keramik. Namun, dalam mengembangkan pemikiran-pemikirannya yang lebih mendasar Hildawati cenderung bertumpu pada bingkai pemikiran visual art.
back to top
IDA HADJAR, Yogyakarta
Perempuan pelukis Ida Hadjar, lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 19 Juni 1942, dan meninggal pada tahun 2003. Lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta ini, sempat mengajar di almamaternya. Selain itu ia pernah mengajar batik di Ann Arbor Art Association di Michigan, Amerika Serikat.
Semasa hidupnya, ia seringkali menggelar pameran tunggal maupun ikut pameran bersama di dalam maupun di luar negeri, antara lain di Yogyakarta, Jakarta, keliling ASEAN dan Washington, DC, Amerika Serikat.
Penerima penghargaan Canting Emas ini, karya lukisannya cenderung dekoratif, dengan goresan garis-garis yang tegas dan spontan, membingkai obyek-obyeknya. Pilihan warnanya bergerak antara coklat, hitam, putih, merah, dan hijau. Mengangkat tema-tema nelayan, perempuan dan anak, termasuk didalamnya kasih sayang.
Salah satu karyanya terbaiknya menjadi koleksi Yayasan seni Rupa Indonesia (YSRI).
IPE MA’ARUF, Jakarta
Pelukis sketsa Ipe Ma’aruf, lahir tanggal 11 November 1938 di Bandar Olo, Padang, Sumatra Barat, dengan nama lengkap Ismet Pasha Ma’aruf. Ia belajar melukis pada Affandi, Surono dan S.Soedjojono, dan pernah menjadi mahasiswa luar biasa di ITB Bandung.
Ia dikenal sebagai ilustrator dan penggambar sketsa yang mengagumkan, dengan senjata utamanya garis yang lentur dan peka menangkap karakter sosok yang digambar; kebanyakan orang-orang biasa yang bersahaja. Ia sering menggantikan pena dengan benda tajam yang digoreskan di atas papan licin. Tekniknya ini, menghasilkan jejak garis yang impresif, setelah papan licin tersebut digosok dengan warna hitam. Hasilnya kadang-kadang berasa seni grafis.
Ipe kadang menggantikan pena dengan nyala korek api. Untuk menyelesaikan satu gambar, sosok orang misalnya, biasanya membutuhkan banyak sekali batang korek api. Sebab setiap batang korek api yang habis dibakar-goreskan untuk membuat garis, maka harus disusul bakaran batang korek api berikutnya, sampai sosok yang diinginkan muncul. Jejak garis korek api tersebut biasanya berwarna kecoklatan hingga kehitaman, tergantung intensitas kegosongan yang diinginkan.
Seniman yang selalu tampil sederhana ini, aktif pameran tunggal maupun bersama sejak tahun 1950-an, di Jakarta ( antara lain TIM, Balai Budaya, Galeri Lontar dan Galeri Milenium) hingga Surabaya. Pernah bekerja sebagai ilustrator majalah anak-anak Kawanku , dan penerbit Pustaka Jaya.
IPONG PURNAMA SIDHI, Jakarta
Perupa Ipong Purnama Sidhi, lahir di Yogyakarta, 5 Februari 1955. Tamat pendidikan seni lukis di STSRI-ASRI Yogyakarta 1981. Sejak 1972 Ipong telah mengikuti beberapa pameran di dalam maupun luar negeri. Pernah diundang sebagai seniman tamu di Jurusan Seni Grafis, Universitas Stockholm, Swedia, untuk mendalami seni grafis (1996).
Seniman yang pernah menjadi desainer surat kabar, buku dan majalah ini, beberapa tahun belakangan menjadi Pengelola Bentara Budaya Jakarta. Disamping itu ia tetap berkarya: membuat ilustrasi buku, ilustrasi cerpen untuk surat kabar, menulis kritik seni rupa, menulis pengantar di katalog pameran, dan pameran lukisan di berbagai kota di Tanah Air. Mulai akhir 2005-2006, ia bersama Yusuf Susilo Hartono, Deddy PAW, dll. mengadakan pameran keliling di Galeri Elcanna Jakarta, Museum Barli Bandung dan Galeri Semarang.
Ipong juga mendalami bidang kuratorial. Di antaranya pernah menjadi salah seorang kurator di Galeri Nasional, dan Biennale Bali 2005. Semasa remaja pernah menerima penghargaan dari lomba lukis yang diadakan dalam rangka Olimpiade Munchen (1972).
IDA HADJAR, Yogyakarta
Perempuan pelukis Ida Hadjar, lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 19 Juni 1942, dan meninggal pada tahun 2003. Lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta ini, sempat mengajar di almamaternya. Selain itu ia pernah mengajar batik di Ann Arbor Art Association di Michigan, Amerika Serikat.
Semasa hidupnya, ia seringkali menggelar pameran tunggal maupun ikut pameran bersama di dalam maupun di luar negeri, antara lain di Yogyakarta, Jakarta, keliling ASEAN dan Washington, DC, Amerika Serikat.
Penerima penghargaan Canting Emas ini, karya lukisannya cenderung dekoratif, dengan goresan garis-garis yang tegas dan spontan, membingkai obyek-obyeknya. Pilihan warnanya bergerak antara coklat, hitam, putih, merah, dan hijau. Mengangkat tema-tema nelayan, perempuan dan anak, termasuk didalamnya kasih sayang.
Salah satu karyanya terbaiknya menjadi koleksi Yayasan seni Rupa Indonesia (YSRI).
back to top
IPE MA’ARUF, Jakarta
Pelukis sketsa Ipe Ma’aruf, lahir tanggal 11 November 1938 di Bandar Olo, Padang, Sumatra Barat, dengan nama lengkap Ismet Pasha Ma’aruf. Ia belajar melukis pada Affandi, Surono dan S.Soedjojono, dan pernah menjadi mahasiswa luar biasa di ITB Bandung.
Ia dikenal sebagai ilustrator dan penggambar sketsa yang mengagumkan, dengan senjata utamanya garis yang lentur dan peka menangkap karakter sosok yang digambar; kebanyakan orang-orang biasa yang bersahaja. Ia sering menggantikan pena dengan benda tajam yang digoreskan di atas papan licin. Tekniknya ini, menghasilkan jejak garis yang impresif, setelah papan licin tersebut digosok dengan warna hitam. Hasilnya kadang-kadang berasa seni grafis.
Ipe kadang menggantikan pena dengan nyala korek api. Untuk menyelesaikan satu gambar, sosok orang misalnya, biasanya membutuhkan banyak sekali batang korek api. Sebab setiap batang korek api yang habis dibakar-goreskan untuk membuat garis, maka harus disusul bakaran batang korek api berikutnya, sampai sosok yang diinginkan muncul. Jejak garis korek api tersebut biasanya berwarna kecoklatan hingga kehitaman, tergantung intensitas kegosongan yang diinginkan.
Seniman yang selalu tampil sederhana ini, aktif pameran tunggal maupun bersama sejak tahun 1950-an, di Jakarta ( antara lain TIM, Balai Budaya, Galeri Lontar dan Galeri Milenium) hingga Surabaya. Pernah bekerja sebagai ilustrator majalah anak-anak Kawanku , dan penerbit Pustaka Jaya.
back to top
IPONG PURNAMA SIDHI, Jakarta
Perupa Ipong Purnama Sidhi, lahir di Yogyakarta, 5 Februari 1955. Tamat pendidikan seni lukis di STSRI-ASRI Yogyakarta 1981. Sejak 1972 Ipong telah mengikuti beberapa pameran di dalam maupun luar negeri. Pernah diundang sebagai seniman tamu di Jurusan Seni Grafis, Universitas Stockholm, Swedia, untuk mendalami seni grafis (1996).
Seniman yang pernah menjadi desainer surat kabar, buku dan majalah ini, beberapa tahun belakangan menjadi Pengelola Bentara Budaya Jakarta. Disamping itu ia tetap berkarya: membuat ilustrasi buku, ilustrasi cerpen untuk surat kabar, menulis kritik seni rupa, menulis pengantar di katalog pameran, dan pameran lukisan di berbagai kota di Tanah Air. Mulai akhir 2005-2006, ia bersama Yusuf Susilo Hartono, Deddy PAW, dll. mengadakan pameran keliling di Galeri Elcanna Jakarta, Museum Barli Bandung dan Galeri Semarang.
Ipong juga mendalami bidang kuratorial. Di antaranya pernah menjadi salah seorang kurator di Galeri Nasional, dan Biennale Bali 2005. Semasa remaja pernah menerima penghargaan dari lomba lukis yang diadakan dalam rangka Olimpiade Munchen (1972).
back to top
IRIANTINE KARNAYA, Jakarta
Pematung Iriantine Karnaya, lahir di Rangkasbitung, Banten, tanggal 9 Januari 1950. Lulus sebagai sarjana seni rupa ITB Bandung tahun 1975. Kini mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FT-UI).
Keprihatinnya terhadap eksistensi pematung di Tanah Air, mendorong dirinya bersama kawan-kawannya mendirikan Asosiasi Pematung Indonesia (API). Dengan asosiasi ini, ia aktif menggelar pameran bersekala nasional.
Selain membuat patung tunggal dari berbagai bahan dan tema, Iriantine juga membuat karya publik dan instalasi. Karya publiknya yang berjudul Flower Power, yang pernah ditampilkan dalam Pameran API 2001 di Galeri Nasional, telah menjadi koleksi Museum Sharjah, Emirate Arab.
Sejak 1971, ia aktif membuat relief, mural, menjadi juri lomba seni rupa, pembicara seminar, hingga pameran aktif pameran di dalam dan di luar negeri. Di antara pamerannya bertajuk Women and Art a Global Perspektive 2002, Sharjah Emirat Arab; Pameran Asosiasi Pertukaran Seni Internasional Indonesia-Jepang ke IV di Rudana Gallery Bali dan WTC Jakarta; dan Pameran bersama pematung Belanda-Jakarta.
Kecenderungan patung-patung Iriantine tidak sepenuhnya non-representasional. Dalam arti patung-patung yang terkesan abstrak, tidak sama sekali lepas dari citra,metafora, penggambaran, renungan. Masalah bentuk, yang pada tradisi modern merupakan masalah sentral, pada patung Iriantine hanya menjadi masalah bahasa, atau masalah medium.
Ia menerima penghargaan dari WHO untuk karyanya Kasih Sayang (perunggu, 1997), dan Trienale II DKJ di TIM 1998 untuk karyanya Gula dan Semut (perunggu, 1995).
back to top
IRSAM, Jakarta
Pelukis Irsam lahir di Klaten, Jawa Tengah, 24 Juni 1942. Irsam menempuh pendidikan seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakart, tahun 1959-1965. Setelah itu mengajar di almamaternya dan Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta, selama dua tahun, hingga 1967. Kemudian pindak bekerja sebagai Kepala Seksi Seni Lukis dan Grafika pada Direktorat Kesenian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI di Jakarta.
Selama menjadi pejabat, hingga menikmati masa pensiun beberapa tahun belakangan ini, pelukis berkumis melintang ini, aktif mengikuti berbagai pameran di dalam dan luar negeri.
Pada umumnya, lukisan-lukisan Irsam banyak mengangkat tema kenangan masa lampau, impian-impian lewat sosok perempuan, ibu dan anak, dibuat dengan corak dekoratif, yang menuntut ketekunan, kesabaran dan ketelatenan yang sama tingginya dengan pembatik (tulis).
Dia pernah mendapat hadiah dari ajang Biennale Seni Lukis Indonesia yang digelar di TIM. Dan patut dicatat, dari 12 kali biennale yang digelar oleh DKJ, 9 kali diantaranya ia diundang sebagai peserta. Sama seringnya dengan pelukis Amang Rahman dan Nuzurlis Koto, keduanya dari Surabaya.
back to top
ISA PERKASA, Bandung
Perupa kontemporer Isa Perkasa, lahir di Majalengka, Jawa Barat, 1964. Belajar grafis di Fakultas Seni Rupa dan Desain – Institut Teknologi Bandung (ITB), tamat tahun 1993. Mengikuti workshop woodblock print dan pembuatan kertas di Tsuna, Jepang, 1997.
Karyanya berjudul Indonesia Kini Sedang Luka, menerima penghargaan Philip Morris ASEAN Art Award, di Hanoi, Vietnam, 1998. Pameran tunggalnya antara lain Joking with Mirrors, di CCF Bandung (1996); Happenings on Happenings, di Taman Budaya Jawa Barat, Bandung (1997); dan ditempat yang disebut belakangan ini tahun 1999 ia menggelar pameran tunggal lagi.
Sedang pameran bersamanya antara lain Bandung Printmaking, JDC, Jakarta (1992); Biennale Jakarta 1993,di TIM, Jakarta (1993); Woodblock Prints, di Kobe dan Tsuna, Japan (1998); ASEAN Art Award, Opera House, Hanoi, Vietnam (1998); dan Pancaroba, di Oakland, U.S.A. (1999).
back to top
ITJI TARMIZI, Sumatra Barat
Pelukis Itji Tarmizi, lahir di Lintau, Tanah Datar, Sumatra Barat, tahun 1935, dan meninggal di Jakarta, 2001; saat pameran tunggal pertama sekaligus terakhir dihadapan publik seni lukis di Jakarta.
Murid Hendra Gunawan ini, menjadi anggota termuda Pelukis Rakyat di Yogyakarta. Tahun 1955 pameran bersama Pelukis Rakyat di Jakarta. Setelah itu, melakukan perjalanan ke China dan Rusia untuk berobat, sekaligus dimanfaatkan untuk belajar melukis.
Dalam situasi genting penumpasan PKI tahun 1965, Itji meninggalkan Yogyakarta kembali ke Sumatra. Lantaran anggota Pelukis Rakyat tak luput menjadi sasaran, karena kelompok tersebut selama berdirinya didukung oleh Lekra, antek PKI. Maka sejak itu namanya hilang. Baru setelah Indonesia berubah, pada masa reformasi beberapa kali sketsa-sketsanya muncul dalam pameran. Ketika usianya sudah 70 tahun, Itji muncul kembali pameran tunggal pertama di Jakarta. Sayangnya, 23 November, atau 4 hari setelah pamerannya dibuka untuk public, ia mengembuskan nafas terakhir.
back to top
IVAN SAGITO, Yogyakarta
Perupa Ivan Sagito, lahir di Malang, Jawa Timur, 13 Desember 1957. Menamatkan pendidikan seni rupa di Fakultas Seni Rupa dan Desain- Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1985). Tinggal dan berkarya di Yogyakarta. Selain melukis, ia juga membuat patung.
Pameran tunggalnya Hidup Bermuatan Mati di CP Art Space Jakarta (2005), Red Mills Gallery, Vermont,USA (2003), Freezing the Time, Nothern Territory University Gallery (2000), dan Duta Fine Art Gallery, Jakarta.
Sedangkan dari puluhan kali pameran bersamanya antara lain 21st and beyond, Edwin’s Gallery Jakarta (2005), CP Open Bienniale, Galeri Nasional, Jakarta (2003), Osaka Triennale, Osaka,Jepang (2001), Melik Nggendong Lali, Ulang tahun Basis 50, Bentara Budaya Yogyakarta (2001) Soul Ties –Art from Indonesia, Singapura Art Museum, Singapura (1999), Bienalle Seni Lukis DKJ di TIM (1987, 1989, 1996,1998).
Ivan menerima penghargaan Karya Lukisan Terbaik dari Biennale DKJ (1987, 1989), Medali Perak, The Osaka Triennale,Jepang (1996), dan Mainichi Broadcasting System Prize, The Osaka Sculpture Triennale, Osaka, Jepang.
Pelukis yang masuk dalam barisan ‘surealisme Yogya’ ini, salah seorang dari sedikit pelukis yang secara serius dan dalam mengolah ide-ide tentang realitas manusia dan kemanusiaan sehari-hari, serta kefanaannya; tanpa bermaksud menyampaikan komentar sosial, dengan kecenderungan bahasa ekspresi realistik.
back to top
IWAN KUSWANNA, Tasikmalaya
Perupa Iwan Kuswanna, lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Oktober 1960. Menempuh pendidikan seni rupa di Sekolah Menengah Seni Rupa (1980), dilanjutkan ke Institut Kesenian Jakarta (1981-1983), dan Jan Van Ejck Akademie Belanda (1984-1986).
Ditengah para pelukis daerah hijrah ke kota besar, Iwan justru tetap setia hidup di kampung halaman, ditengah-tengah famili dan sanak-saudara. Rumahnya terletak di Jl. RE Martadinata, Tasikmalaya.
Bagi Iwan melukis adalah ibadah. Tidak melukis berarti tidak menjalankan ibadah. Melukis juga proses belajar. Karena itu jika tidak melukis, maka ia merasa tidak belajar. Melalui sejarah seni lukis, ia belajar untuk memutuskan corak lukisannya , dengan garis dan warna yang terus berubah.
“ Sekarang aku di puncak gunung sepi,” begitu ia mengaku. “ Taka ada kolektor. Tak ada galeri. Hidupku seperti seekor laba-laba. Menunggu dalam sarang-sarang. Lalat lewat kumakan. Capung lewat kumakan. Karena aku ingin menemukan obyektivitas, intensitas, orijinalitas.Tiga orientasi ini aku harus temukan…. Lukisan-lukisanku juga cermin jiwaku…”
Perupa yang pernah menerima medali emas dari DKJ 1983, telah sering pameran didalam dan di luar negeri, antara lain Pameran Tunggal Keliling Negeri Belanda (1986-1987), Pameran Tunggal di Erasmus Huis, Jakarta (1990), Pameran Seni Lukis di Gedung Seni Rupa Depdikbud, Gambir, sekarang Galeri Nasional (1991), Europa Ceramik Work , Den Bosch Belanda (1992) , Pameran Tunggal di Galeri Cemara Jakarta dan Tasikmalaya (2000), dan Pameran Tunggal di Tasikmalaya (2002).
back to top
I MADE SUKADANA, Bali
Pelukis I Made Sukadana, lahir di Amiapura, Bali, 12 Maret 1966. Ia belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Prestasinya sudah cukup menonjol sejak mahasiswa dengan memperoleh penghargaan Karya Sketsa terbaik tahun 1987-1988 dari fakultasnya. Selain itu memperoleh hadiah Lempad dari sanggar Dewata Indonesia pada tahun 1992. Finalis kompetisi seni rupa Indonesia Art Award 1997, 1998 ini mendapat penghargaan dari Menteri Pariwisata tahun 1998.
Karya-karyanya sering tampil dengan sapuan warna pekat dan ekspresif, hampir memenuhi seluruh ruang kanvas, banyak melukiskan tema-tema pewayangan dan mitologi Hindu.
back to top
JEIHAN, Bandung
Pelukis Jeihan Sukmantoro, lahir di Solo, Jawa Tengah, tanggal 26 September 1936. Pelukis yang telah mapan dengan karya-karya figuratif perempuan bermata bolong ini, di masa tuanya sekarang ini justru melakukan pemberontakan terhadap dirinya sendiri, dengan memasuki wilayah seni lukis abstrak dan patung.
Pasalnya, hendak menyatukan imaji-imaji, simbol-simbol dan filosofi budaya timur, yang padat esensi dan makna hidup. Karya-karyanya terbarunya ini muncul dalam pameran bersama di Galeri Cipta 2 TIM, bulan silam.
Jeihan belajar seni rupa di ITB Bandung. Telah malang melintang pameran tunggal maupun bersama sejak 1958, di dalam hingga luar negeri. Lukisan-lukisannya yang mengangkat para perempuan bermata bolong, yang umumnya tampil diam mencitrakan suasana meditatif, memadukan alam mistik timur dan alam analitis Barat.
Karya-karya perempuan mata bolong Jeihan telah menjadi koleksi para kolektor hingga pengusaha di dalam dan luar negeri. Juga meramaikan pasar lelang seni rupa di dalam dan di luar negeri.
back to top
JERRY T, Jakarta
Perupa Jerry T lahir di Bogor, tanggal 8 Juli 1962. Menyelesaikan pendidikan seni rupa hingga meraih gelar sarjana di Fakultas Seni Rupa dan Desain IKJ.
Menggelar pameran tunggal antara lain di Galeri Cipta II TIM, Australian Embassy Gallery, Ganesha Gallery di Bali. Selain itu aktif pameran bersama di beberapa kota dan negara diantaranya pada kegiatan pameran ASEAN di Brunai Darussalam, The Japan Foundation Jakarta, Museum Nasional-Jakarta, Biennale X di TIM, hingga Galeri Lontar.
back to top
JIM SUPANGKAT, Jakarta
Perupa Jim Supangkat yang menjadi salah satu tokoh kunci Gerakan Seni Rupa Baru (GRSB), lahir di Ujung Pandang 2 Mei 1948. Belajar arsitektur di Universitas Parahyangan,Bandung (1969-1971), belajar seni rupa di ITB Bandung (1970-1975), studi lanjutan tentang estetika dan filsafat seni di Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta(1974—1975)dan pascasarjana Psychopolis Art-Academy, Den Haag, Belanda (1978—1979).
Pernah menjadi redaktur di Majalah Aktuil, Zaman dan Tempo, sebelum akhirnya mengundurkan diri (termasuk sebagai perupa), guna berkonsentrasi penuh sebagai kurator dan konsultan seni. Semasa masih berkarya, ia cenderung menggunakan media campuran.
Tulisan seni rupanya tersebar di berbagai media cetak di dalam dan luar negeri (Art and Asia Pacific, Australia dan Asian Artnews Hong Kong). Juga pada katalog pameran hingga buku-buku berbahasa Indonesia maupun Inggris, antara lain Introspeksi di Balik Wajah Affandi; Wanita dalam Lukisan Jeihan; Indonesia New Art Movement; A Brief History of Modern Indonesian Art; Indonesian Modern Art and Beyond.
Jim yang sering tampil sebagai pembicara di berbagai seminar di tingkat nasional maupun internasional, termasuk pendiri CP Art Space yang berada di AS maupun di Jakarta. Ia sering menjadi kurator pameran kontemporer di dalam dan luar negeri. Prakarsanya menggelar CP Open Biennale 2005 di Jakarta -- sebagai kelanjutan 2003 -- menyisakan persoalan hukum dengan adanya tuduhan pornografi terhadap salah satu karya peserta pilihannya. Sementara perkaranya masih menjadi urusan penegak hukum, Jim telah memutuskan tidak bakal menggelar CP Bienalle lagi. Sayang!
back to top
DJONI TRISNO, Jakarta
Pelukis Djoni Trisno, yang dikenal juga sebagai aktor , adalah anggota Pelukis Rakyat pimpinan Hendra Gunawan. Dalam pameran 1955 di Jakarta, ia termasuk pelukis yang menarik perhatian sejarawan seni Claire Holt (penyusun buku klasik Art in Indonesia: Continuities and Change), sejajar dengan Batara Lubis, Abas Alibasjah, dan Itji Tarmizi.
Dalam sebuah lukisan cat minyaknya Menghadang Konvoi (1961), yang menjadi koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta atas sumbangan kolektor Surabaya Ki Sunaryo Umar Sidik, menggambarkan suasana perjuangan.
back to top
KABOEL SUADI, Bandung
Perupa Kaboel Suadi lahir di Cirebon, Jawa Barat, tanggal 7 November 1935. Kini menikmati masa pensiun, setelah puluhan tahun mengajar di almamaternya, Jurusan Seni Rupa dan Desain ITB Bandung.
Saat memperdalam ilmu seni rupa di Honschule fur Bildende Kunste, Jerman (1968-1969) ia membikin sketsa, yang beberapa tahun kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku atas bantuan BJ Habibie.
Kaboel telah aktif bepameran seni lukis maupun grafis sejak 1962 sampai sekarang, baik tunggal maupun bersama, di Bandung, Jakarta, Sinagpura, Kuala Lumpur, Tokyo, New York, Berlin, Pusan, Hannover, hingga Bangkok.
Karya-karya grafis maupun lukisannya, baik diatas kanvas maupun kaca seorang modernis ini tak henti-hentinya mengolah tradisi, terutama Sunda dan Cirebon, dengan bahasa visual yang universal.
Ketika masih aktif mengajar, selain di ITB, beberapa kali menjadi dosen tamu di IKJ, Trisakti dan di Jerman. Beberapa penghargaan diperolehnya dari Deutscher Akademischer Austauschdienst I dan II (1967 dan 1990).
back to top
KARTIKA AFFANDI, Yogyakarta
Pelukis Kartika Affandi, lahir di Jakarta, tanggal 27 November 1934. Lulus Taman Dewasa di Lembaga Pendidikan Taman Siswa, Jakarta. Belajar melukis kepada sang ayah, pelukis Affandi, dan S.Soedjojono. Kemudian ia memperdalam seni rupa di Universitas Shantiniketan, India (1950-1952).
Selain itu ia juga pernah mengenyam pendidikan di sebuah akademi seni rupa di Wina, Austria, untuk teknik pengawetan dan restorasi. Ketrampilannya ini penting, terutama dalam kaitan dia sebagai pengelola Museum Affandi di Yogyakarta, yang mau tak mau lukisan peninggalan almarhum yang tiada tara nilainya, memerlukan perawatan yang profesional.
Seperti juga sang ayah, Kartika selain menggunakan teknik plotot, juga senang melakukan perjalanan di dalam dan ke luar negeri, untuk melukis berhadapan obyek secara langsung. Pada pameran retrospeksinya di Galeri Nasional, tahun 2004, untuk merayakan usianya 70 tahun, Kartika (hendak) menegaskan bahwa karyanya mempunyai ciri tersendiri, dibanding papinya.
Semasa papinya masih hidup, ia sering pameran bersama, maupun tunggal. Selain di Jakarta dan Yogyakarta, ia pernah pameran di Paris, Roma, Bangkok, Australia, dll. Sering menerima penghargaan seni dari dalam dan luar negeri.
back to top
KARTONO YUDHOKUSUMO, Bandung
Pelukis dekoratif Kartono Yudhokusumo, lahir di Medan, Sumatra Utara, 1924, dan wafat di Bandung 1957, akibat kecelakaan speda motor. Sejak kecil ia tumbuh dalam lingkungan kesenian. Ayahnya seorang guru seni rupa di Jawa Tengah; yang juga seorang pemimpin kesenian Ketoprak, sekaligus penulis lakon dan pelukis layar panggung.
Kartono sekolah SMA di Jakarta, salah satu gurunya Syafei Sumardja, yang kelak kita kenal sebagai dekan seni rupa pertama ITB. Sejak usia 7 tahun sudah melukis pemandangan alam. Belajar dari guru-guru orang Jepang maupun Belanda, antara lain Yazaki, Bossardt, Rutgers, Akatsuka, Ernest Dezentje. Tahun 1943 pernah pameran di Jakarta , disponsori Poetera.
Tahun 1945, pindah ke Yogyakarta, menikah dengan bintang film Nurnaningsih, bercerai 1952. Tahun 1946-1948 bergabung dengan SIM, di Solo dan Yogya. Dalam masa sulit itu ia berdagang kayu dan arang bakar. Sebentar meminpin Sanggar Tunas Muda di Madiun, lalu hijrah ke Bandung, mengajar seni lukis di Sanggar Seniman (1952) yang disponsori Jawatan PDK. Belum sempat menikmati beasiswa Ford Fondation, ke AS, keburu meninggal.
Karya-karya Kartono, banyak dikoleksi Presiden Soekarno, dan komunitas Skandinavia di Indonesia. Karya-karyanya yang melintasi zaman, memberi sumbangan penting bagi seni rupa di Tanah Air, sebagai perintis dekoratif, yang kemudian diikuti Widayat dan lain-lain.
back to top
KOMRODEN HARO, Yogyakarta
Pematung Komroden Haro, lahir di Baturaja, Palembang, Sumatra Selatan, 26 Mei 1966. Sejak kecil senang membuat mainan sendiri. Setamat SMA, ke Jawa, melanjutkan kuliah di Jurusan Seni Patung, FSRD-ISI Yogyakarta.
Anggota Asosiasi Pematung Indonesia (API) ini, sering mengikuti pameran bersama, antara lain di Gallery Canna dan Gallery 678 Jakarta, Gallery Langgeng Magelang; dan di Galeri Nasional (bersama API) 2003.
Patung Komroden belakangan cenderung kearah kria, yang selalu nampak ramai dan berwarna. Dari bentuk-bentuk kayu dibangunnya pelbagai citraan yang membuka berbagai tafsir. Menurut pengamat, Komroden menggunakan pendekatan seni rupa bawah (low art) yang, dalam perkembangan seni kontemporer internasional, kerap dipakai sebagai alat provokasi dan kritik terhadap dominsi arus utama.
back to top
KRISNA MURTI, Bandung
Perupa Krisna Murti lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 49 tahun yang lalu. Meraih gelar sarjana seni rupa dari FSRD-ITB Bandung tahun 1981. Di almamaternya, ia menjadi asisten dosen Prof Sadali. Di bawah bimbingan Prof But Mochtar ia melakukan penelitian kerajinan di FSRD-ITB.
Tahun 1980-an ia menjelajah kolase dan tekstur, seperti yang pernah dipamerkan di CCF Bandung. Perupa yang pernah mengikuti Biennale Seniman Muda Indonesia di TIM dan kompetisi Seniman Muda di ITB Bandung ini, pada tahun 1990-an merambah ke dunia instalasi dan seni rupa video. Kreativitas dibidang ini, dipertunjukan dalam karyanya yang dipamerkan dalam pertunjukan 12 Jam dalam Kehidupan Penari Agung Rai di Studio R 66 Bandung. Juga dalam instalasinya Obyek dari Kampung Nagrak, di Aula Barat ITB. Karya ini pula yang diusung ke TIM saat mengikuti Bienniale Seni Rupa Jakarta IX 1993/1994 di TIM. Ia menggunakan media lesung tua, monitor televisi, ranting pohon, sekam padi, biji-bijian, dan api.
Karya-karya video instalasinya menampakkan kecenderungan menyentuh persoalan, tidak hanya seni semata, tapi meluas ke ranah psikologis, sosiologis, antropologis, hingga politis. Karya terbarunya yang mengangkat soal TKW di negeri jiran, yang melukiskan tegangan: di satu sisi mereka ‘merayakan’ tubuhnya dalam kemodernan, sementara disisi lain – dalam pekerjaan domestik —tubuh itu di dalam kendali majikan.
back to top
KOEBOE SARAWAN, Malang
Pelukis Koeboe Sarawan, lahir di Malang, 29 Juni 1961. Seusai belajar batik di Surakarta (1983), ia menempuh pendidikan seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1985).
Karya-karyanya yang masuk dalam gaya ‘Surealisme Yogya” itu, cenderung menghadirkan absurditas kehidupan manusia dalam jaringan ruang sosial – masyarakat yang sering kali tak terpahamkan. Disajikan dalam suasana mencekam, sepi, dengan penguasan teknik realisme yang baik.
Sampai sekarang telah seringkali pameran bersama di dalam negeri, antara lain, Citra Realistik Indonesia, Galeri Nasional,Jakarta (1995), Biennale Seni Lukis di TIM ( 1996, 1998), Philip Morris Indonesia Art Award, Galeri Nasional, Jakarta (2000), pameran bersama di Puri Art Gallery, Malang (2002), Still Life, Raka Gallery,Bali (2004), Pameran bersama Kelompok Holopis Kuntul Baris, di Balai Pemuda,Surabaya (2005), dan 21st and beyond Edwin’s Gallery,Jakarta (2005).
back to top
KOESNADI, Jakarta
Perupa Koesnadi (almarhum) dikenal juga sebagai fotografer dan kritikus yang handal. Lahir di Kaliangkrik, Magelang (Jawa Tengah), tanggal 1 April 1921. Setelah belajar melukis secara otodidak, tahun 1942-1944 belajar melukis di Keimin Bunka Shidoso, Jakarta, dengan bimbingan Basoeki Abdullah.
Pernah menjadi dosen di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, 1950-1966. Sambil menjadi Ketua Redaksi Majalah Budaya, Yogyakarta (1954-1963). Tahun 1963 mendapat leaders grant dari Pemerintah AS untuk mengadakan studi perbandingan.
Mantan dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini, pada tahun 1977 menerima penghargaan dari Pemerintah RI sebagai pelukis dan Pembina seni rupa Indonesia.
Karya-karya lukisannya, cenderung berwarna lembut, seperti penampilannya. Bertolak belakang dengan bahasa tulisannya, yang tak jarang lugas, sehingga memerahkan telinga.
back to top
KUSWADJI
LAKSMI SITORESMI, Yogyakarta
Perupa Laksmi Sitoresmi lahir di Yogyakarta, 9 Mei 1974. Belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1997-1999).
Sejak 1987, telah sering pameran lukisan dan gambar, di Yogyakarta, Bandung, Magelang, Jakarta, hingga ke luar negeri (Jepang). Adapun pameran tunggalnya, antara lain Bahasa Lukis Sebagai Terapi, di Lembag Indonesia-Perancis,Yogyakarta (1999); dan Dunia Laksmi di Bentara Budaya Jakarta (2004).
Laksmi sejak remaja gemar mengikuti kompetisi seni lukis hingga baca puisi, sehingga dirumahnya menumpuk banyak penghargaan. Antara lain dari memenangi Kompetisi Internasional Seni Lukis Anak dan Remaja di Chili (1988) ; Medali emas dalam pameran lukisan Indonesia-Jepang di Tokyo (1988), sepuluh besar dalam pameran lukisan Imajinasi tentang Negaraku di India (1990). Juga menjadi finaliss kompetisi Philip Morris Indonesia Art Award dan Nokia Art Award Indonesia (1999).
Lukisan Laksmi cenderung mengangkat kisah dan pengalaman pribadi, baik itu endapan memori masa lalu, semenjak balita hingga dewasa; maupun pengalaman keseharaian sebagai istri, ibu rumah tangga dan anggota masyarakat biasa.
back to top
LEE MAN FONG, Jakarta
Pelukis Lee Man Fong lahir di Guangzhou, Canton, China, 1913, dan meninggal di Jakarta, tahun 1988. Salah satu jasanya yang sangat bermanfaat bagi dunia seni rupa Indonesia adalah ketekunannya dalam menyusun 5-jilid buku Koleksi Seni Rupa Presiden Soekarno. Buku tersebut sangat membantu dalam menggambarkan seni rupa modern Indonesia, sehingga menjadi pegangan para peneliti, kritikus, kolektor, pedagang lukisan hingga biro lelang di dalam dan di luar negeri (terutama komunitas seni di RRC selama terputus hubungan diplomatiknya dengan Indonesia).
Lee Man Fong menetap di Jakarta, sejak berusia 19 tahun (1932), setelah beberapa tahun belajar melukis di Singapura. Ia memulai kariernya dengan bekerja di biro iklan dan pelukis komersial.
Sebelum kemerdekaan, tepatnya tahun 1941, ia mengunjungi Bali untuk melukis. Hasilnya dipameran di Jakarta, dalam pameran tunggalnya yang pertama.
Tahun 1947, ia mendapat grant dari Pemerintah Belanda untuk belajar seni lukis di Holland, dan tinggal disana sampai tahun 1952. Pada masa itu ia banyak melakukan perjalanan dan pameran tunggal di berbagai tempat. Sepulang dari Belanda, Lee Man Fong aktif pameran tunggal maupun bersama di berbagai kota di Tanah Air.
Karya-karyanya yang dibuat dengan ketrampilan teknis tinggi, dengan mengambil obyek perempuan Bali, menyiratkan keindahan yang tak lekang oleh waktu, bahkan melintasi ruang kebangsaan dan bahasa.
back to top
LIAN SAHAR,Yogyakarta
Pelukis Lian Sahar, lahir di Aceh, tahun 1933. Pendidikan seni rupa diperolehnya dari Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI)Yogyakarta dan ITB Bandung.
Kiprah seni lukisnya dimulai tahun 1956, dan berlangsung hingga sekarang. Ia aktif mengikuti pameran di dalam hingga luar negeri, antara lain pameran keliling Asia Tenggara, AS hingga Jepang.
Pelukis yang amat menyukai medium cat air dan akrilik di atas kertas ini, juga membuat patung serta relief untuk beberapa kantor dan museum di Indonesia. Dalam pameran Biennale II yang digelar di TIM tahun 1976, ia termasuk yang mendapat penghargaan sebagai pelukis terbaik dari DKJ.
back to top
LUCIA HARTINI, Yogyakarta
Pelukis Lucia Hartini yang akrab disapa Tini, lahir di Temanggung, Jawa Tengah, tanggal 10 Juni 1959. Menimba pengetahuan seni rupa di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR),Yogyakarta.
Karya-karyanya yang masuk dalam mazab surealisme Yogyakarta, bersumber dari fantasi, imajinasi dan pengejawantahan spontan alam bawah sadar, dengan simbol-simbol seperti batu karang, kuda, perempuan, wajan, awan, atau cakrawala yang penuh benda-benda langit. Di tengah semua itu, tak jarang hadir simbolisme kehidupan perempuan atau sosok perempuan yang tampak sendiri di tengah dunia yang luas dan galau.
Dalam setiap kali pamerannya, baik tunggal, bersama maupun dalam biennale, Hartini menghadirkan karya-karyanya melalui teknik melukis realis-fotografis yang serba cermat dan teliti, terutama kalau sudah melukis impresi air laut atau karang. Gagasan-gagasan imajinatifnya seringkali aneh, ganjil, liar dan mencengangkan.
back to top
MADE WIANTA,Bali
Perupa Made Wianta lahir di Apuhan, Baturiti, Tabanan, Bali, tanggal 20 Desember 1949. Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Denpasar,Bali (1967-1969). Melanjutkan di Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI” (1970-1974). Lalu bekerja di Brussel,Belgia (1974-1977). Penggenggam Ksatria Award dari Museum Rudana, Ubud Bali, tahun 1996 mendapat penghargaan honorary professor dari Academy Internationale Greci-Marino, Itali.
Sejak 1976 sampai sekarang, telah puluhan kali pameran tunggal di dalam dan diluar negeri, antara lain di Jakarta (TIM, Galeri Canna, Galeri Santi), Yogyakarta, Surabaya, Bali, Rusia, Jepang, Singapura, Belgia, hingga Perancis.
Juga sering diundang mengikuti pameran bersama, termasuk di dalamnya biennale, antara lain +Positive, Kunst Merano Arte, Biennale Italy dan Art Summit, Jakarta (2004), Venezia Biennale, Italy (2003), Langkawi International Festival of Art (LIFA) Langkawi, Malaysia (2000), Jakarta Art &Design Expo 1992, Jakarta (1992), Festival Seni Indonesia di AS ‘KIAS’ (1990), ASEAN Paining Graphics Arts and Photography (Manila, Singapura, Kuala Lumpur, Jakarta,Bangkok).
Karakter dan karya –karya Made Wianta berbeda dibanding lukisan Bali pada umumnya yang naratif. Karena itu ia dituduh “berkhianat pada nilai-nilai masyarakat Bali.” Meskipun tuduhan itu tidak seluruhnya benar, sebab kalau ditengok lebih dekat, gagasannya masih tetap Bali, dimana dia memenuhi bidang kanvas: unit-unit ikonik/ sub ikonik dari karya abstraknya berpola bentuk repetitip yang mengingatkan kita pada pola-pola figuratif lukisan tradisional Bali.
Lukisan-lukisan Wianta secara ambigu menyodorkan spirit dan bentuk sangat individualistik; yang menghadapkan dirinya pada tatanan global dari masyarakat modern masa kini. Lukisannya, termasuk kaligrafi, tidak punya konteks dengan simbolisme Bali tetapi berfokus pada bentuk dan warna, biasanya secara abstrak.
back to top
MAHYAR, Yogyakarta
Ditelinga anak muda sekarang, nama pelukis Mahyar termasuk asing. Dia dilahirkan di Cikampek, Karawang, Jawa Barat 15 November 1948. Mengenyam pendidikan seni rupa secara runtut, sejak usia muda. Pada tahun 1965 – 1968 belajar di SSRI Yogyakarta, jurusan seni lukis . Tahun 1969 – 1976 di FSRD seni lukis STSRI Yogyakarta. Tahun 1981 – 1976 di FRSD seni lukis ISI Yogya.
Selama 30 tahun (1965 – 1995) Mahyar sudah pameran bersama sebanyak 112 kali, baik di dalam dan di luar negeri. Mulai 1976 –1993 mengadakan pameran tunggal diberbagai kota di Indonesia dan manca Negara,seperti Itali dan Guyana .
Pada tahun 1969 mendapat penghargaan karya terbaik bidang studi seni lukis sketsa, gambar bentuk ornament dan ilustrasi dari sekolah seni rupa Indonesia di Yogyakarta
back to top
MAKHFOED, Surabaya
Cak Foed, begitulah kawan-kawan dekatnya biasa menyapa Makhfoed, pelukis kelahiran Surabaya, Jawa Timur, 10 Mei 1942. Dari 12 kali penyelenggaraan biennale DKJ, dengan nama yang berbeda-beda akan tetapi substansinya sama, ia ikut sebanyak 6 kali (1974, 1976, 198, 1996, 1998, 2006).
Sejak kecil dia sudah menyukai seni lukis. Namun, baru tahun 1968 ketika masuk Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera), ia mulai mengakrabi dunia seni rupa. Dan, memasuki tahun 1970-an, ia total di seni rupa itu.
Lukisan-lukisannya yang cenderung surealis dengan mengeksplorasi simbol-simbol subyektif untuk menyatakan sebuah (catatan) perjalanan, hadir dengan warna-warna yang tak jarang berat, kelam, dan menyimpan misteri. Dalam banyak kanvasnya, ia selalu menghadirkan bayangan-bayangan sosok perempuan terbang dan menari-nari ataupun menyembul dari lubang , bagaikan bidadari dalam kisah-kisah klasik. Mungkin sosok perempuan itu, berkaitan dengan kerinduannya yang tak pernah putus pada seorang ibu yang melahirkan dirinya. Sosok ibu yang telah meninggalkan dirinya sejak usianya baru satu tahun.
Pelukis sederhana yang menerima penghargaan International Professional of The Year 2004 tersebut, sejak tahun 1972 telah malang melintang berpameran tunggal maupun bersama di Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, Bali, hingga Manado, Sulawesi Utara. Beberapa di antaranya pameran tunggal seni lukis di DKS Surabaya (1994), di Bentara Budaya Jakarta (2001), di Museum Ronggowarsito, Semarang (2004). Finalis Philip Morris Art Award 1996 ini, pernah juga pameran bersama di luar negeri, di antaranya pada Festival Pekan Seni Ipoh, Malaysia (1999), setelah tahun sebelumnya tampil di Pameran South East Asian Paintings SOTHEBY’S di Singapura.
back to top
MARIDA NASUTION, Jakarta
Pegrafis Marida Nasution, lahir di Jakarta, tanggal 2 Januari 1956. Sarjana seni rupa lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), jurusan seni grafis (1981), kini mengajar di almamaternya, disamping aktif pameran di dalam dan luar negeri.
Ia suka berjalan menyusuri berbagai kawasan kumuh, membuat potret, untuk bahan garapannya kemudian. Dan dari karya-karyanya selama ini, menampakkan jejak kepedihan kaum papa di kota besar yang ia tangkap dan ungkapkan lewat sejumlah karya seni grafis dan instalasinya.
“Saya merasa simpati kepada kepada masyarakat kalangan bawah yaitu para pengemis dan masyarakat bawah yang hidup tersisih di kota besar,” yang melatari sebuah karyanya Kehidupan, berupa instalasi grafis yang sudah menjadi koleksi Galeri Nasional Indonesia,Jakarta sejak 1998.
Selain menggarap seni grafis dua dimensi, ia juga menggarap instalasi. Karya-karya dwimatranya, rata-rata dibuat dengan ukuran "standar" digarap dengan cetak saring, photo etching, etsa, aquatint, serta paduan berbagai teknik.
Sejak 1984, ia aktif pameran di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Bali, hingga Korea, Jerman (Barat), Yugoslavia, Swedia, Nederlands, Italia, dan lain-lain. Dari tujuh pameran tunggalnya antara lain Pameran Instalasi Grafis dan Grafis Harkat Perempuan di Galeri Nasional (2001), dan Pameran Tunggal Instalasi dan Seni Grafis Opera Biru di Museum Nasional Jakarta.(2004).
Penghargaan yang pernah diterima Marida berupa medali khusus dari pameran Pan Pacific Art Seoul, II Mediteranian Biennale Graphic Art Athena, Biennale of Grafic Arts LJUBIJANA Yugoslavia (Slovenia), dan dari Galeri Nasional Indonesia.
back to top
MOCHTAR APIN, Bandung
Perupa dan sastrawan Mochtar Apin,(1923-1994) lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, 23 Desember 1923. Pendidikan formal ditempuh di Perguruan Tinggi Kesusastraan Jakarta (1946-1948). Juga di Balai Pendidikan Universitas Guru Seni Rupa Fakultas Teknik Indonesia di Bandung, sekarang ITB (1948-1951). Setelah itu melanjutkan belajar ke luar negeri:
unstnijverheid School, Amsterdam (1951-1952), Ecole Nationale Superieure des Beaux Arts, Paris (1953-1957) dan di Deutsche Akademie der Kunste, Berlin (1957-1958).
Setelah kenyang belajar, Mochtar Apin menjadi tenaga pengajar tetap di FSRD-ITB sejak 1959. Karya-karyanya sering dipamerkan dalam pameran tunggal maupun bersama, di beberapa kota di Tanah Air, maupun di beberapa kota di Eropa antara lain Amsterdam, Swiss, Paris juga di kawasan Asia antara lain Jepang dan Bangkok.
Sampai akhir hayatnya ia menjabat sebagai Guru Besar di Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB Bandung. Karya-karya di masa tuanya, banyak mengekplorasi tema perempuan telanjang. Oleh kritikus Jim Supangkat, kemudian diterbitkan kedalam sebuah buku berjudul Tubuh-tubuh Provokatif.
“Berbeda dengan perupa modernis yang mencari terobosan baru dalam berkarya, Mochtar Apin justru melakukan terobosan sebaliknya, kembali ke ideom lama. Pemikiran dan penjelajahan pada karya-karya ini lebih dekat dengan pengujian kadar komunikasi sebagai bahasa ungkapan (ideom) seni rupa,” kata Jim.
back to top
MUDJITHA, Yogyakarta
Boleh jadi komunitas seni rupa sekarang ini tidak mengenal siapa Mudjitha. Perupa ini lahir di Jember, Jawa Timur, 4 Desember 1934. Belajar melukis di ASRI (1955-1960) jingga memperoleh gelar Diploma I dan II. Kemudian melanjutkan kembali hingga tahun 1968 berhasil meraih gelar Sarjana Muda untuk bidang dekorasi dari STSRI “ASRI” Yogyakarta.
Namanya berkibar pada tahun 1970-an, setelah berkiprah bersama rekan-rekannya dalam Sanggar Batik Banjar Barong Yogyakarta, dan banyak melakukan pameran di dalam dan di luar negeri.
Dari dua lukisan batik yang dikoleksi Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, karya tahun 1974 dan 1976, menunjukkan upaya Mudjitha mencari pembaruan tradisi dengan pendekatan modern.
back to top
MULYADI W, Jakarta
Pelukis Mulyadi W, lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 22 Agustus 1938. Belajar seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta (1955-1960). Tahun 1959 turut mendirikan Sanggar Bambu bersama Sunarto PR dan kawan-kawan. Tahun 1972, dipercaya kawan-kawannya menjabat Ketua Sanggar Bambu.
Mulai tahun 1970 sampai sekarang aktif pameran didalam hingga luar negeri. Meski sudah tidak muda lagi, ia aktif mengikuti kompetisi seni lukis yang ada di Tanah Air, dengan ‘lawan-lawannya’ para pelukis muda dari berbagai pelosok. Menerima penghargaan dari Indofood Art Award 2002.
Karya-karya Mulyadi, dari tahun 1960- sekarang, cenderung mengangkat sosok-sosok perempuan hingga anak-anak, dalam tema keseharian, dengan pendekatan realistik, dengan terus mengadakan pembaruan disana-sini, termasuk penggarapan barik. Kadang karyanya mengajak kita melongok kedalam diri sendiri, tapi juga mengajak kita tertawa mengenang masa kecil. Meskipun semua itu bukan lahir karena konsep. Ia melukis apa yang terpikir dari apa saja yang terekam di kepala dengan corak yang di dapat dari sepanjang penghayatannya sebagai seniman.
back to top
MOELYONO, Tulungagung
Perupa Moelyono, setelah lulus dari belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, memilih kembali dan berkarya di kampung halamannya, Desa Winong, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulung Agung, Propinsi Jawa Timur.
Meski tinggal di kampung, melalui berbagai jaringan yang ia punyai, perupa yang penah mengajar di sekolah menengah swasta itu tak pernah sepi dari kegiatan seni dan kemasyarakatan, termasuk didalamnya pameran di berbagai kota. Pameran terbarunya berlangsung di Bentara Budaya Jakarta (2006). Dekade 1990-an, ia pernah pameran drawing hitam putih di Galeri Lontar, Jakarta, dan pada pasca reformasi ia menggelar pameran instalasi Orde Batu; untuk menggambarkan kekerasan semasa Orde Baru.
Pak Moel, sapaan akrabnya, mendirikan kelompok seni rupa lingkungan yang bisa menerapkan gerak seni rupa yang mengangkat dan memecahkan praktik problem sosial masyarakat (praksis dialogis). Kegiatannya dalam hal ini antara lain membimbing anak-anak (usia SD) mampu memecahkan masalah kemiskinan sendiri dengan cara menjual gambar-gambar mereka, yang di cetak menjadi kartu pos. Uang hasil jualan bisa untuk mengatasi hidup anak-anak sendiri sehari-hari.
Praktik kesenian Moelyono, tidak berhenti pada keindahan. Bagi dia, seni rupa sebagai media penyadaran untuk mendorong perubahan sosial.
back to top
MURYOTO HARTOYO, Jakarta
Perupa Muryotohartoyo lahir di Yogyakarta, 1 Maret 1942. Alumnus STSRI “ASRI” Jurusan Seni Lukis ini, dikenal sebagai salah satu eksponen Gerakan Seni Rupa Baru (1973-1979) yang merupakan sebuah tonggak seni rupa Indonesia setelah era Persagi (1938-1942).
Konsep berkaryanya saat itu – melukis adalah main-main – sempat menjadi bahan perdebatan sengit di media massa antara dua kritikus besar pada zamannya, yaitu Kusnadi dan Sudarmadji. Menurut Kusnadi kalau konsepnya main-main hasilnya ya main-main. Lalu dengan geram menuding Sudarmadji tidak (berani) memberi pendapat atas kemerosotan ide maupun hasil karya ini. Namun dalam sanggahannya Sudarmadji mengaku telah menyindir bekas mahasiswanya itu lewat tulisan di Sinar Harapan. Intinya, karena konsepnya main-main, maka pengamatan serius kurang diperlukan.
Sesungguhnya konsep Muryoto tersebut lahir sebagai penentangan terhadap konsep seni lukis ‘jiwa ketoknya’ S.Soedjojono yang telah dijadikan jimat banyak orang. “ Bagi saya menulis adalah main-main. Persoalan tersebut tidak perlu harus dilakukan penuh haru, penghayatan, memadu rasa, serta dengan pernyataan jiwa (ekspresi) yang mendalam, nggekeng atau serius! Tetapi tepat apabila dikatakan , dilakukan secara santai, seperti melobangi kanvas, corat-coret sambil menutup mata atau memasang apa saja di atas atau disatukan dengan kanvas. Pokoknya melukis tidak ada lebihnya dengan makan minum atau memecahkan telur untuk campuran bikin martabak.”
Tahun 1960-an sampai 1970-an ia aktif pameran bersama, antara lain Pameran Muhibah Keliling Sanggar Bambu di Jawa dan Madura (1961-1965), Pameran berdua dengan Bambang Bujono di Balai Budaya (1972), Pameran Besar Seni Lukis - Bienal DKJ (1974 -1980), Pameran Kelompok ASRI dan ITB, sebagai embrio GSRBI (1974), Pameran Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia di TIM Jakarta (1975).
Pasca GSRB, ia mencurahkan waktunya untuk mengajar seni rupa, berceramah, dan duduk di Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006). Dan dalam Biennal Jakarta 2006, ia akan mengaktualisasi kembali konsep lamanya : melukis adalah main-main.
back to top
NARSEN AFATARA, Surakarta
Perupa Narsen Afatara, lahir di Surabaya, Jawa Timur, 11 Juli 1950. Lulusan STSRI “ASRI” Yogyakarta (1978) dan Pasca Sarjana (S2) Universitas Gajah Mada Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1991) ini, telah lama mengabdikan diri sebagai dosen di UNS Surakarta, Jawa Tengah.
Untuk mengungkapkan ide-idenya, Narsen tidak cukup menggunakan bahasa seni lukis saja. Beberapa tahun belakangan ini, karya-karyanya cenderung menggunakan mix media, bahkan berujud performance art. Publik seni di Jakarta, masih ingat dengan baik salah satu karyanya berjudul Power , yang tampil dalam Pameran Seni Rupa Kontemporer – Festival Istiqlal II 1995.
Karya instalasi bercampur dengan pertunjukan tari dan musikalisasi tembang-tembang religius itu, mencoba menggambarkan sebuah kekuasaan, lengkap dengan sebab akibatnya, saat itu.
Kegiatan pamerannya antara lain Pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat /KIAS (1991), Pameran Multi Media Nawagatra, Taman Budaya Jawa tengah,Solo (1994), Pameran Internasioanal Performance Art Seni Rupa Kontemporer Istiqlal II di Gedung Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional) 1995, Performance Art/Kolaborasi Festival Seni Surabaya (1996), Pameran di Museum Seni Lukis Klasik Bali Nyoman Gunarsa (2000), Pameran Anugerah Adipura Citra Raya Jakarta (2004).
Semasa kuliah di kota gudeg, ia berhasil meraih Penghargaan Affandi Prize “ASRI” Yogyakarta (1976) dan Karya Terbaik “ASRI” STSRI Yogyakarta (1978).
back to top
NASHAR, Jakarta
Nashar (1928-1994) adalah pelukis yang dengan intens mencari esensi obyek-obyek manusia, alam dan lingkungan, tetapi esensinya adalah bagaimana ia mengungkapkan totalitas jatidiri. Perjuangan kreativitas Nashar dirumuskan lewat kredo ‘Tiga Non’, seperti termuat dalam buku Surat-surat Malam (1976).
Pertama, Non konsep, maksudnya ketika mulai melukis ia belum punya gambaran, konsep, bahkan gaya apa yang mau dipakai. Ia hanya mengandalkan keinginan jiwa dan intuisi pada sat itu. Kedua, Non obyek. Ia percaya bahwa suasana intens dalam melukis akan mendorong untuk mendpatkan suatu bentuk atau obyek sendiri dalam kanvas. Ketiga, Non teknis. Dalam melukis ia tidak berangkat dari pola teknis. Teknis akan menyesuaikan dengan citra dalam berkarya.
Tahun 1970-an, pelukis kelahiran Pariaman, Sumatra Barat, yang pernah menjadi mengajar seni rupa di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), mencapai totalitas abstaksi dalam karya-karyanya.
Tiak hanya lukisannya yang fenomenal, sikap hidup Nashar juga fenomenal. Sikap asketik dan non komporomis sering dianggap mengabaikan kesehatan dan keluarganya. Sampai akhirnya ia “kalah” dan mengembuskan nafas pada tahun 1994.
Semasa hidupnya, Nashar aktif pameran. Pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1973-1976) dan kemudian menjadi Pengurus Harian Kesenian Jakarta periode 1981-1984. Ketika Biennale 1993/1994 kurator Jim Supangkat lebih memberi tempat pada seni rupa kontemporer, ia marah dan menuduh Jim sedang melakukan pembunuhan pada seni lukis Indonesia. Waaupun tuduhan itu sampai sekarang tidak terbukti.
back to top
NASIRUN, Yogyakarta
Pelukis Nasirun lahir di Cilacap, Jawa Tengah, 1965. Ia menjalani pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, hingga meraih gelar sarjana seni rupa tahun 1994.
Karyanya terpilih sebagai finalis dalam acara Philip Morris – Indonesia Art Award 1996 dan 1997. Penghargaan lain yang pernah diterima adalah Sketsa dan Seni Lukis Terbaik ISI Yogyakarta, McDonald Award pada Lustrum ISI ke X.
Ia aktif berperan, baik tunggal maupun bersama, sejak tahun 1993 sampai sekarang, antara lain di Yogyakarta, TIM, Galeri Nasional, galeri-galeri di Jakarta, Bentara Budaya Jakarta dan Yogyakarta, CP Open Biennale 2003.
Dalam karya-karyanya, Nasirun sering mengangkat suasana malam lengkap dengan kisah-kisah pertunjukan wayang hingga mitologi, menggunakan warna gelap dan pekat. Kepekatan dan ketebalan cat memunculkan kesan guratan dan barik pada permukaan lukisannya.
back to top
NASYAH DJAMIN, Jakarta
Seniman Nasyah Djamin (almarhum), lahir di Perbaungan, Deli, Sumatra Utara, 1924. Dikenal luas sebagai pelukis, pemain teater dan sastrawan. Belajar melukis tahun 1944 pada seorang Jepang, Kikuo Matushita, di Medan. Dilanjutkan 1946, belajar melukis di Seniman Indonesia Muda (SIM) di bawah bimbingan S.Soedjojono, Affandi dan Sudarso.
Tahun 1945, sebelum merantau ke Jawa, mendirikan organisasi pelukis Angkatan Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Medan. Sejak tahun 1952 bekerja pada bagian Kesenian Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Jakarta; yang memberi peluang ia aktif pameran di dalam dan luar negeri.
Penerima Hadiah Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1971) ini, hijrah ke Yogyakarta, sambil terus aktif berkarya, ia menjadi pegawai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sampai pensiun. Di kota itu pula, seniman yang pernah menerima penghargaan dari BMKN itu, mengembuskan nafas terakhir.
Lukisan-lukisannya cenderung puitis, dan menempatkan manusia sebagai bagian dari alam yang luas. Kemistisan karya-karya Nasyah Djamin tidak hanya terletak pada warna, tapi juga dalam perbandingan ukuran manusia (selalu digambar kecil) ditengah alam yang begitu luas, pohon, rumput dan bunga begitu besar, cakrawala laut pun begitu perkasa.
back to top
NINDITYO ADIPURNOMO, Yogyakarta
Perupa kontemporer AL Nindityo Adipurnomo, lahir di Semarang, Jawa Tengah, 1961. Setelah lulus dari FSRD-ISI Yogyakarta, memperdalam ilmunya di Rijksakademie van Beeldende Kunsten, the Nederlands. Mendapat kesempatan residensi antara lain di Fukuoka Asian Art Museum (2002), dan Amsterdam Graphic Studio (2006). Kini bersama perupa Mella Jaarsma (istrinya), dan kawan-kawannya, mengelola Galeri Cemeti.
Nindityo termasuk salah satu perupa kontempor yang berada di barisan depan seni rupa Indonesia masa kini. Ia aktif menggelar pameran tunggal maupun bersama di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Filipina, Belanda, Jerman hingga Amerika Serikat, dengan melibatkan curator nasional/internasional. Menampilkan lukisan, patung, instalasi dan mixed media.
Lewat tema konde (Jawa) antara lain jenis gelung tekuk, Nindityo ingin “mengatakan berbagai hal” dengan cara “mencubit”, menertawakan, hingga mengagumi budayanya sendiri (Jawa) yang complicated. Tidak dengan bahasa ngoko atau bagongan, yang langsung dan kasar, tetapi tetap saja dengan gaya orang Yogya, kromo halus, dengan banyak kiasan. Justru disitulah ia memberi ruang kepada apresiator untuk melihat apa yang ada dibalik , misalnya kondenya yang diperbesar secara ekstrim, menjadi 300 cm X 250cm X 90 cm, yang terbuat dari besi, rambut (kepala sampai kemaluan).
Penggenggam penghargaan Pratita Affandi Adi Karya 1988 ini, tahun lalu mendapat penghargaan dari luar negeri, John D.Rockefeller 3rd Award 2005.
back to top
NOOR SUDIYATI AGUNG, Yogyakarta
Perupa Noor Sudiyati Agung, lahir di Magelang pada 14 November 1962. Pada tahun 1983 belajar di Jurusan Kriya Kayu STSRI “ASRI” (kini FSRD ISI-Yogyakarta). Namun minatnya besar pada seni keramik. Tamat dari ISI, ia nyantrik, magang, di studio Keramik Agung Oka, di desa Munggu, Kapal, Bali. Pada 1990, Noor bersama suaminya Agung Aninditiawan, mendirikan studio "Keramik Kreatif". Melakukan berbagai eksperimen untuk pengembangan teknik maupun gagasan dalam karya keramik-nya. Noor yg baru saja merampungkan pendidikan master bidang seni rupa di ISI-Yogyakarta, adalah pengajar di almamaternya.
Sejak 1984, ia seringkali melakukan pameran bersama di berbagai kota di Tanah Air, diantaranya, di Jakarta: Pameran seni rupa Biennale Seni Lukis di TIM, Pameran seni rupa kontemporer, Pameran seni rupa keramik ekspresif, keduanya di Depdikbud, Gambir; Festival Istiqlal I, Pameran seni keramik di Edwin Gallery, Pameran seni keramik di Bank Universal.2001, dan pameran tunggal Tanah ke Tanah di Galeri Lontar.
Di Semarang: Pameran seni rupa Nasional. Di Yogyakarta: Pameran seni rupa di Senisono, Pameran seni rupa di Bentara Budaya, pameran seni keramik di Hotel Ambarukmo, Pameran FKY III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, Pameran Ajiyasa, FSR ISI, Pameran SSYawalan 1997, Biennale Seni rupa V, pameran seni keramik Nasional, Pameran Festival Kesenian Indonesia, Pameran di Galeri Ardiyanto. Surabaya: Pameran Seni Kriya Genteng Kali. Dan Bali: Pameran tunggal di Kinnara Galeries, Nusa Dua.
back to top
NUNUNG WS, Jakarta
Pelukis Nunung WS, lahir di Lawang, Jawa Timur, 9 Juli 1948. Memperoleh pendidikan seni rupa di Akademi Seni Rupa (Aksera) Surabaya (1967) dengan para gurunya antara lain Amang Rachman dan M Daryono. Melanjutkan belajar kepada pelukis Nashar.
Sejak tahun 1970 sampai sekarang aktif mengikuti pameran bersama maupun tunggal. Selain itu bersama suaminya, pelukis M Sulebar Sukarman, sering menangani berbagai event seni rupa. Memperoleh penghargaan dari DKJ (1978) dan Krida Wanodya sebagai karya terbaik seni rupa (1994). Pelukis yang pernah aktif di kelompok Nuansa ini, sekarang banyak berkarya di Yogyakarta.
Karya Nunung yang abstrak itu cenderung mengekspresikan kembali apa yang pernah dilihat, dirasakan, di alam ini , lewat warna. Lukisannya tidak mau terikat bentuk, bahkan lebih jauh dari itu ia masuk dan mengabstraksikan terhadap bentuk itu sendiri. Sehingga ia bisa membebaskan diri, menyapukan berbagai warna yang diinginkan.
back to top
NUZURLIS KOTO, Surabaya
Perupa Nuzurlis Koto, lahir di Lasi, Bukit Tinggi. Sumatra Barat, 15 Agustus 1946. Pernah belajar seni lukis di bawah bimbingan pelukis terkemuka Wakidi. Kemudian hijrah ke Jawa Timur. Tahun 1967 belajar seni rupa di Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera); sebuah institusi pendidikan seni yang telah banyak melahirkam seniman Surabaya, meskipun belum pernah sekalipun menghasilkan lulusan sampai akhirnya tutup awal 1970-an.
Ia telah puluhan tahun malang melintang berkarya dan mengadakan pameran lukisan maupun patung, baik di Surabaya, Jakarta maupun kota-kota lainnya. Pernah sekali pameran tunggal seni patung di Lembaga Indonesia Amerika (LIA) Surabaya. Dalam konteks biennale yang digelar DKJ, Nuzurlis termasuk ke dalam tiga perupa yang paling banyak ikut serta, yakni 9 dari 12 kali penyelenggaraan.
Karya-karya lukisan maupun patungnya cenderung abstrak, namun jejak representasinya masih terasa kuat di balik pilihan tema dan obyeknya. Adapun pilihan warna dalam karya-karya lukisannya dominan keras dan menyengat, bagai matahari kota Surabaya.
Atas dedikasi dan ketekunannya berkarya, Nuzurlis Koto mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Timur.
back to top
NYOMAN ERAWAN, Bali
Perupa, dan pemain seni (rupa) pertunjukan I Nyoman Erawan, lahir di Sukawati, Bali, 27 Mei 1958. Lulusan ISI Yogyakarta ini hidup sebagai perupa profesional, di kampung halamannya Dlodtangluk, Bali.
Karya-karyanya, sejak 1980-an memperjelas bahwa ‘pencarian corak keindonesiaan’ telah sampai pada ‘penemuan nafas segar’ dalam salah satu belahan peta seni rupa modern Indonesia. Meski tak kuasa lepas dari wilayah kemenduaan (ambigu) – sekaligus menjadi kekuatan bahasa rupanya – kehadiran Erawan menambah catatan panjang bagiproses pencarian dan penemuan yang ditempuh para perupa generasi sebelumnya sejak penghujung tahun 1930-an hingga awal 1970-an.
Dalam seperempat abad proses kreatif seni rupanya, ia telah menggelar puluhan kali pameran bersama dan tujuh kali pameran tunggal lukisan maupun instalasi, didalam dan luar negeri. Pameran tunggalnya Pralaya Prosesi Kehancuran dan Kebangkitan di Bentara Budaya Jakarta (2003) mendapat tanggapan ramai di media massa.
Tahun 1979 ia bermain teater asuhan Ikranegara di TIM. Setelah itu ia banyak bermain dalam seni (rupa) pertunjukan, yang popular disebut performance art, sebagian besar berlangsung di Bali.
Untuk kiprahnya tersebut ia diganjar 11 penghargaan dari berbagai pihak. Setelah penghargaan pertama First Prize ‘The Philip Morris Group of Companies’, Indonesia Art Award 1994; disusul penghargaan Winsor and Newton,Inggris; Lempad Prize untuk Seni Lukis dari Sanggar Dewata Indonesia; Penghargaan dari Masyakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dalam Milleni-Art Menyongsong Millenium III; Piagam Penghargaan Wija Kesuma 2004, dari Pemda Kabupaten Gianyar-Bali; Penghargaan Astra Otoparts Art Award 2005 sebagai Time Achievment , Bali Biennale 2005.
back to top
NYOMAN GUNARSA, Bali
Pelukis Nyoman Gunarsa, lahir di Banda Klungkung, Bali, tanggal 15 April 1944. Belajar seni rupa di Sekolah Tinggi Seni Rupa – (STSRI) “ASRI “ hingga tamat tahun 1976. Menjadi dosen di ISI Yogyakarta, sampai tahun 1994 mengundurkan diri untuk fokus melukis dan mengelola Museum Nyoman Gunarsa di kampung halamannya.
Tahun 1967 menggelar pameran tunggal di Museum Nasional, Jakarta. Disusul puluhan kali pameran tunggal berikutnya di TIM Jakarta, Art Center Bali, Yogyakarta, hingga berbagai galeri di Singapura, Malaysia, Polandia, Belanda, Paris, Jerman, Swiss, Jepang dan AS. Selain itu Nyoman Gunarsa juga aktif mengikuti puluhan kali pameran bersama, di antaranya bareng Sanggar Dewata Indonesia berpameran di Jakarta, Yogyakarta dan Bali. Maupun di luar itu ikut pameran KIAS (1981), Biennale Sao Paulo, Brasil (1983), dan Bali Art Festival PKB XXV
Penerima Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI (2003) ini, sampai sekarang mengantongi banyak penghargaan diantaranya tahun 1976 dan 1978 terpilih sebagai pelukis terbaik Indonesia versi DKJ, Affandi Adi Karya ISI Yogya (1976) dan Biennale Yogyakarta(1984).
Karya-karya lukisan dan sketsa (drawing)-nya sejak sebelum maupun pasca stroke, cenderung konsisten mengangkat tema Bali (tarian, dan perempuan), dengan ciri khasnya sendiri. Hal ini laras dengan pandangannya dalam mencipta bahwa nilai-nilai seni budaya Indonesia merupakan sumber inspirasi. Lukisan yang baik, katanya, haruslah memiliki kriteria artistik, ekspresif, kreatif, mempribadi, dan bertaksu.
back to top
NYOMAN NUARTA, Bandung
Pematung Nyoman Nuarta, lahir di Tabanan, Bali, 1951. Belajar mematung di Fakultas Seni Rupa dan Desain – Institut Teknologi Bandung (ITB) hingga meraih gelar sarjana (1976).
Nyoman yang namanya berkibar sejak 1970-an dalam arena seni rupa di Tanah Air, mengembangkan gagasan seni patungnya dengan memberi ruang yang besar pada kecenderungan figuratif. Karya-karyanya perjalanan ulang alik antara menyerap tradisi dengan cara pandang masa kini. Ia mengambil cerita dari tradisi atau budaya leluhurnya (Bali), tapi juga menimba gagasan dari kehidupan modern.
Pameran tunggalnya yang berlangsung sejak 1989 sampai sekarang yaitu Menembus Ruang dan Waktu, Galeri Nasional, Jakarta (1989), Menguak Tabir Kawat, Jakarta (1990), Kalamatra, Galeri Nasional,Jakarta (1995), Reflection, Bali (1999), Sekala dan Niskala, Edwin’s Gallery (2000), Reality and Bion, Washington DC, USA (2002), UWCA, Singapura (2003), Solo Exhibition, Plaza Indonesia,Jakarta (2003).
Adapun pameran bersamanya telah berlangsung puluhan kali di Jakarta, Bandung, Paris, New York, India, Jepang, Pilipina, Swiss, hingga Italia.
Ia termasuk salah satu dari sedikit pematung yang sering mendapat kesempatan membuat patung monumen antara lain Monumen Proklamator Indonesia di Jl. Proklamasi, Jakarta (dibuat bersama G Sidharta Sugiyo), Monumen Jales Viva Jayamahe di Surabaya, Arjuna Wijaya di Jakarta, dan Garuda Wisnu Kencana, Bali.
Penghargaan diperoleh antara lain dari Pemerintah Indonesia untuk Monumen Proklamasi (1979), dari Gubernur DKI untuk Arjuna Wijaya (1987), Nanyang Academy of Fine Art Singapore (1989), Pemenang Kompetisi Patung Monumen Nasional Indonesia (1995) dan APEC Sculpture Garden, Philipina, dari Kedutaan Indonesia di Manila.
back to top
NYOMAN SUKARI, Yogyakarta
Pelukis Nyoman Sukari, lahir di Karangasem, Bali, 1968. memperdalam seni lukis di Fakultas Seni Rupa dan Desain-Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, jurusan seni lukis.
Aktivitas pameran bersama Sanggar Dewata. Selain itu mengikuti pameran Festival Mahasiswa Seni se-Indonesia, pameran Philip Morris Indonesia Art Award, dan pameran-pameran lainnya yang berlangsung di Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Bali, hingga Darwin (Australia).
Sejumlah penghargaan yang pernah diterima antara lain Hadiah Sketsa Terbaik dari SMSR Denpasar (1989), Penghargaan Sketsa dan Seni Lukis Terbaik dari FSRD-ISI (1990), Penghargaan Pratisara Affandi Adi karya (1994), dan finalis Philip Morris Indonesia Art Award.
Karya-karya lukisan Sukari menampakkan kecenderungan surealitas yang hadir ke dalam dunia realitas. Ia menggambarkan dewa-dewa, ruh-ruh yang jauh, supra manusia, bayi yang belum ada dalam kandungan, atau hewan-hewan purba yang tak pernah dilihatnya. Imajinasinya itu digambarkannya dalam sapuan-sapuan cat yang ramai berkelebat, dan guratan-guratan diatas cat basah.
back to top
NYOMAN TUSAN, Bali
Tubuh boleh di mana saja, hati tetap Bali. Begitulah pelukis Nyoman Tusan, lahir di Tejakula, Bali, tanggal 10 Januari 1933. Meski ia lama tinggal dan bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, lukisan-lukisannya tidak pernah berhenti menggali falsafah hingga obyek tradisi Bali, termasuk di dalamnya Cili. Maklum, Bali tempat ia lahir, dan Bali menjadi tempat ia pulang menghadap Dewata.
Semasa hidupnya, Nyoman Tusan kuliah di Departemen Seni Rupa ITB Bandung. Tahun 1976-1977 mengikuti kuliah pada Koningklijke Academi voor Schone Kunsten di Geut, Belgia. Pernah menjadi dosen tidak tetap di Universitas Udayana, Bali, tahun 1966-1974.
Sejak duduk dibangku kuliah, ia telah aktif mengikuti pameran di dalam dan di luar negeri. Karya-karyanya antara lain menjadi koleksi Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
back to top
OESMAN EFFENDI, Jakarta
Kehadiran pelukis Oesman Effendi (1919-1985) asal Sumatra Barat, yang akrab dipanggil OE dalam jagad seni rupa, menandai era individualitas. Bersama Nashar dan Zaini, sering disebut pelukis “tiga serangkai” dari seberang (Pulau Jawa), yang memiliki visi maupun riwayat hidup yang seiring.
Pada waktu ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta pada masa revolusi kemerdekaan, mereka termasuk para pelukis yang mengalihkan aktivitasnya keluar dari Jakarta dan bergabung ke kota revolusi Yogyakarta. OE masuk sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM) yang berpindah-pindah dari Madiun, Solo, dan Yogyakarta.
OE bersama tiga serangkainya, kemudian keluar dari sanggar SIM Yogyakarta yang dirasakan semakin hanyut pada ideologi kerakyatannya, yang cenderung
politis dan kekiri-kirian. Lalu balik kembali ke Jakarta.
Ketika berada di Yogyakarta, tahun 1950-an itu, katakanlah di tengah kepungan seni lukis berorientasi kerakyatan tersebut, OE cenderung pada seni lukis abstrak. Ia melakukan eksperimen-eksperimen dengan warna dan garis, terutama dengan media cat air dan pastel. Tujuan utamanya tak lain untuk (terus) mencari kemerdekaan pribadi.
Sesudah tahun 1960, OE semakin intens dengan dunia abstrak, sehingga alam dan obyek-obyek hanya tinggal esensi yang diungkapkan lewat ritme visual. Dalam ritme itu ia mengekspresikan karakter-karakter medidatif, puitis, dramatik, dan magis lewat garis dan warna. Pencapaian ini dimulai lewat proses perjuangan sikap kesenian yang soliter dari lingkungan sosiokulturnya. Ia juga mendalami tasawuf, sehingga menambah intensitas spiritualitas karya-karyanya. Sehingga beberapa pengamat menyebutnya sebagai pelopor seni lukis abstrak Indonesia.
Selama hidupnya OE telah sering pameran. Antara lain, diundang Dewan Kesenian Jakarta mengikuti bienal pertama 1974, 1976 1978, 1982, dan pada Biennale Jakarta 2006 sekarang ini. Jadi, dari 12 kali biennale, 5 kali ia ikut. Pada tahun 1976 tersebut ia termasuk salah satu pemenang Penghargaan Lukisan Terbaik pada Pameran Biennale Indonesia.
back to top
O.H. SUPONO, Surabaya
Pelukis dan pematung Surabaya yang bernama lengkap Raden Ogeng Heru Supono , lahir di kota pahlawan, 14 Juli 1937, meninggal tahun 1991. Mulai melukis sejak SMA, tahun 1955. Pernah belajar di Akademi Kesenian Surakarta, Jurusan Seni Rupa. Ia juga pernah bergabung dalam kelompok Sanggar Angin Surabaya.
Semasa hidup sering mengikuti pameran di kota-kota besar di Indonesia, Asean hingga Eropah. Lukisannya banyak dikoleksi oleh kolektor maupun instansi di dalam dan luar negeri.
Supono, oleh teman sejawatnya dikenal sebagai seniman yang tekun dan terus mencari berbagai gagasan baru dan teguh dalam bersikap. Selain mengangkat tema nostalgia, ia tertarik mengangkat tema binatang hingga Borobudur. Khusus Borobudur, ia menaruh kekaguman luar biasa, tidak hanya karena tiada taranya di dunia ini, tapi juga kandungan isi yang ada pada reliefnya. Itulah sebabnya ia sambil melukis juga berguru pada candi itu.
back to top
OSCAR MATULLOH, Jakarta
Fotografer Oscar Matulloh, lahir di Surabaya, Jawa Timur, 17 Agustus 1959. Pengajar di Jurusan Film dan Fotografi Institut Kesenian Jakarta (IKJ), memulai karier jurnalis foto, sebagai wartawan tulis merangkap fotografer di Lembaga Kantor Berita Nasional Antara. Kematangan dan keuletan di lapangan, serta peluang yang diperoleh dari tempat kerjanya, menjadikan Oscar kini mengepalai Galeri Foto Jurnalistik Antara, yang terletak di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Di bawah kepemimpinannya, galeri foto tersebut kini menjadi medan ekspresi yang penting bagi fotografer profesional, maupun para kader-kader fotografer.
Kalau sebelumnya karya-karya fotonya hanya untuk dimuat di media massa, mulai tahun 1999 ia gelar melalui sebuah pameran tunggal maupun bersama, yang mendapat respon gegap gempita dari komunitas fotografi maupun media massa. Pernah menggelar pameran tunggal, antara lain Karnaval, di Galeri Lontar, Jakarta (1999),The Art of Dying, CP Art Space, Washington DC, AS (2002), dilanjutkan di Bentara Budaya Jakarta dan Chansons Peripheriques, Galeri CCF, Jakarta (2003). Pada tahun yang sama, ia diundang mengikuti biennale internasional CP Open Bienniale, di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
back to top
OTTO DJAJA, Jakarta
Pelukis Otto Djaja (1916-2002) dilahirkan di Rangkas Bitung, Banten. Anggota Persagi dan SIM ini, pada zaman pendudukan Jepang mendapat pendidikan ketentaraan untuk perwira Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor, Jawa Barat. Pada masa revolusi dengan pangkat Mayor TNI ia ikut maju ke medan tempur. Setelah proklamasi mendapat kesempatan belajar di Rijksacademie van Beeldende Kunsten Amsterdam dan Universiteit van Amsterdam, Faulteit Letteren en Wijsbegeerte. Selain itu ia juga mengikuti studi keliling ke negeri Belanda, Belgia, Perancis, Itali dan Swiss.
Pada zaman Jepang, Otto menjabat sebagai wakil ketua bagian Seni Rupa, Pusat Kebudayaan di Jakarta. Pernah mengikuti Exposition le Grand Prix de Peinture en Monaco di Monte Carlo, mendapat predikat Mention Honorable, dan pameran bienale di Salo Paolo, Brasilia. Selama hidupnya sering pameran di Jakarta, maupun di Melbourne, Australia. Untuk biennale yang digelar DKJ, Otto pernah ikut tahun 1974, 1978, lalu absen lama, baru kemudian 2006 diundang kembali.
Lukisan Otto dengan figur-figur naif, warna cerah dan goresannya yang linier, dapat menangkap jiwa kehidupan masyarakat, dan dibungkus humor yang satiris. Ia suka mengangkat tema sindiran tentang kemunafikan lingkungan sosial. Misalnua dalam karyanya tentang tema resepsi, suasana pasar kain batik, atau adegan praktik perdukunan. Agar kritiknya yang tajam itu tidak terlalui melukai perasaan, Otto menggunakan tokoh-tokoh Punakawan dari dunia pewayangan, dan legenda-legenda tradisional.
back to top
PANDE GDE SUPADA, Bali
Perupa Pande Gde Supada, lahir di Singaraja, Bali, tanggal 8 Maret 1949. belajar seni rupa dijalaninya di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, Jurusan Seni Lukis.
Karya-karya salah satu pendiri Sanggar Dewata di Yogyakarta ini, banyak mencitrakan tema dan obyek yang ada dalam keseharian masyarakat Bali, seperti wayang dan berbagai perlambang dari khasanah perlengkapan sesaji yang bersemangat religiusitas Hindu.
Tema-tema pewayangan tersebut digarap dengan teknik realisme yang menggambarkan plastisitas bentuk, disertai penebalan tekstur yang ornamentik.
Ia aktif aktif pameran di berbagai kota di Tanah Air. Dan karya-karyanya banyak menghiasi dinding kolektor dan institusi, antara lain Bentara Budaya Jakarta.
back to top
PANDE KETUT TAMAN, Yogyakarta
Pelukis berdarah Bali, Pande Ketut Taman, lahir di Gianyar, 9 April 1970. Belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, hingga meraih gelar sarjana seni (1998). Setelah lulus, ia memilih tidak kembali ke kampung halaman, melainkan menetap tinggal di Bantul, Yogyakarta.
Dalam berkarya ia kerap membuat figur orang secara deformatif dengan medium cat minyak di atas kanvas, maupun dengan media campuran.
Ia sering menggelar pameran tunggal di dalam dan di luar negeri, di antaranya di Sika Gallery, Bali (1999), di Museum del Kulturen Basel, Swiss (2001), di Langgeng Gallery, Magelang (2002). Selain itu juga aktif ikut pameran bersama antara lain Biennale Yogyakarta (1999), Philip Morris Art Awardss, Jakarta (1999), dan bersama Yayasan Seni Rupa Indonesia pameran di Beijing dan Shanghai, China (2003).
back to top
PINTOR SIRAIT, Bali
Pematung berdarah Indonesia-Jerman, Pintor Sirait, lahir di Braumsweig, Jerman, 1962. Belajar seni liberal di University of Nevada, Reno (UNR) Amerika Serikat. Di AS ia pernah bergabung dengan kelompok perupa yang mempromosikan semangat multikulturalisme. Sekembalinya di Indonesia, sempat mengikuti workshop di Jurusan Seni (Patung) FSRD-ITB.
Sejak 1991 aktif pameran tunggal maupun bersama, di beberapa kota di Jakarta, Bali, Singapura, dan Eropa.
Kara-arya Pintor mencerminkan suatu keberagaman yang tak hanya memperlihatkan penjelajahan tapi juga gagasan. Tak hanya ruang galeri, tapi juga ruang publik dan ruang kehidupan itu sendiri. Misalnya, pada Bienniale Seni Rupa Jakarta IX, 1993/1994, ia menampilkan karya instalasinya pada publik Jakarta. Ia juga pernah membuat instalasi ruang dengan efek cahaya, serta patung-patung konstruktif untuk ruang terbuka.
Penerima penghargaan The 6th Symposium d’Art Plastique dari Pemerintah Prancis ini, ikut menangani sejumlah Monumen 66. Bersama Michael Sarich, Yen-Chung dan Dei Flint membangun mural yang disponsori oleh C.I.T.Y 2000 dan The Reno Development Agency, Reno, NV-USA.
back to top
POPO ISKANDAR,Bandung
Bapak “jago” dan “kucing” Popo Iskandar (1929-2000) kelahiran Garut, Jawa Barat, sebelum belajar seni rupa di ITB (1954) sampai meraih gelar sarjana, ia lebih dahulu belajar melukis pada pelukis Angkama, Hendra dan Barli.
Selain melukis, ia mengabdikan diri di jalur pendidikan. Pernah menjadi guru SMP, SPG, asisten dosen di almamaternya, kemudian diangkat menjadi doawn Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung – sekarang berganti menjadi Universitas Negeri Bandung-- sampai pensiun.
Popo yang rajin menulis masalah seni dan budaya di media massa terbitan Bandung, Yogyakarta dan Jakarta, tahun 1970 diangkat menjadi anggota Akademi Jakarta hingga wafat. Pada ahun 1979 membuka museum pribadi di Bandung. Aktif pameran di dalam dan luar negeri, termasuk 4 kali ikut biennale yang digelar DKJ : 1982, 1984, 1998 dan 2006.
Dalam ranah seni lukis, ia dikenal sebagai pelukis yang sangat esensial dalam menangkap obyek-obyeknya. Dengan tetap mengembangkan berbagai unsur visual lain dan cara pengolahan. Hal itu dapat dilihat misalnya dalam pengolahan tekstur, efek-efek teknik transparan, maupun pengolahan deformasi dan komposisi obyek-obyeknya.
Popo juga melakukan penggalian psikologis untuk menampilkan esensi dan ekspresi obyek yang dilukis, sehingga karakter obyek bisa diungkapkan secara khas. Dalamserial obyek kucing, ia menggali esensi berbagai gerak kucing: jinak, lucu, indah, hingga misterius. Dengan obyek ayam jago dan kuda ia bisa menampilkan kejantanan, hingga kegagahan. Dari berbagai serial obyek-obyek itu, yang paling femomenal dan akhirnya menjadi ciri adalah obyek kucing.
Oleh pengamat Popo diletakkan sebagai seorang modernis yang berhasil meletakkan azas kemurnian kreativitas individu dalam karya-karyanya.
back to top
PRATOMO SUGENG, Jakarta
Pratomo Sugeng mempunyai dua nama lain, yakni Pringgo Utomo alias Geng Tjwan Tek. Lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 1946.Perjalanan hidupnya untuk menjadi seorang pelukis ditekuni dengan tekad dan kemauan yang keras. Niat ingin belajar seni rupa di ASRI tidak pernah kesampaian. Disamping karena peraturan pemerintah saat itu yang tidak mengizinkan para siswa dari sekolah Tionghowa belajar di sekolah milik Negara. Lagi pula baru kelas dua SMA, ia sudah berhenti, karena sekolahnya ditutup menyusul peristiwa G30S/PKI 1965.
Lalu ia belajar melukis pertama kali kepada pelukis R. Hadi. Dilanjutkan belajar pada jago pelukis realis-naturalis Dullah sejak 1973-1978, mulai di Himpunan Budaya Surakarta, Solo, Jawa Tengah, sampai di sanggar Pejeng, Bali. Setelah tinggal di Madiun, Singosari, Malang dan Pandaan, Jawa Timur, pada awal 1990 hijrah ke metropolitan Jakarta. Tidak seperti kebanyakan murid Dullah, ia terus mencari jalannya sendiri; terutama jalan visual yang mempribadi.
Dalam usianya yang tidak muda lagi, ia tetap bersemangat mengikuti kompetisi seni lukis yang ada di Tanah Air. Tidak sia-sia, tahun 2002, karyanya terpilih sebagai salah satu finalis Indofood Art Award.
Impian untuk bisa menggelar pameran tunggal, baru terwujud pada tahun 2004, di Nadi Gallery, Jakarta, ketika usia Pratomo menginjak usia 58 tahun. Pameran tersebut bertajuk Retorika Pe(r)sona. Dari pameran ini, namanya kemudian masuk dalam peserta Summit Event Bali Biennale (SEBB) 2005, serta lima pameran bersama dalam sepanjang tahun kemarin., yakni di Edwin’s Gallery, Vanessa Art House, Gallery Canna, dan Ancol.
back to top
PRIYANTO S, Bandung
Kartunis Priyanto Sunarto, yang popular Pri S, lahir di Magelang, 10 Mei 1947. Sejak 1973 menjadi staf Staf Pengajar di FSRD-ITB Bandung. Sejak 1978 menjadi dosen , dan bekerja sebagai kartinus majalah Tempo (1977-1994, 1998 - sekarang). Ia juga sering berceramah dan menggeluti desain.
Hingga sekarang, salah satu kartunis penting di Indonesia ini, telah sering pameran, diantaranya Pamer'74 (1974). Pameran Konsep (1976), Pameran & Diskusi Keliling Gambar bebas "Persegi", Jakarta, Bandung, Yogya, Solo (1978,1979-1980,1981), Pasaraya Dunia Fantasi (1987), Pameran & workshop kartun di Kualalumpur (1989), Pameran & ceramah kartun di Tokyo (1991). Pameran & ceramah kartun di Surabaya (1992), Pameran keliling gambar bebas Segi Enam Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya (1995-1996), Pameran gambar Artrologia (2005)
Disamping itu, ia melakukan ekperimen bebas, diantaranya eksperimen buku Puisi Kongkret O puisi Sutardji Calzoum Bachri (1973), Evaluasi & reorganisasi (disoreintasi) Peta Bumi Indonesia Baru (1977), Proyek Pasir ( Curiosity ) Hak Azasi Pasir dan Migrasi Pasir ke 80 alamat pos (1987-1988), Bioskop Eksperimental Gambar Toong ( Voyeurism ) Jakarta, Bandung, Medan, Yogya (1982-1984). Bioskop eksperimental Sineraya Bioskop 5 Dimensi (information Boom ) Bandung (1987).
back to top
RITA WIDAGDO, Bandung
Pematung dan pendidik, Rita Wizemann, lahir di Rottweil Jerman, tanggal 26 November 1938 . Setelah menikah dengan Widagdo, seorang desainer asal Solo, Jawa Tengah, maka namanya menjadi Rita Widagdo. Meninggalkan Jerman pindah ke Indonesia tahun 1965, ketika situasi politik di negeri ini memanas disusul peristiwa berdarah G 30 S/PKI. Ia menjadi warga Negara Indonesia sejak tahun 1980.
Lulusan Staatliche Akademie der Bildenden Kunste, Stutgard, Jerman dengan gelar Meisterschuler , setingkat master ini, di Tanah Air barunya, selain tetap mematung juga mengajar di ITB. Bersama G Sidharta Soegiyo dan But Mochtar, membina jurusan seni (patung) FSRD ITB.
Seiring perjalanan waktu, Rita yang penampilan luarnya selembut putri Solo tapi hatinya sekeras baja, dikenal sangat berpengaruh di lembaga tersebut. Keberadaannya mempertegas garis modernisme, warisan Ries Mulder, pada lembaga pendidikan itu.
Pameran tunggalnya di Galeri Nasional, tahun lalu, yang diprakarsai oleh Galeri Nadi, menggambarkan sebuah perjalanan kreatifnya selama puluhan tahun. Sebagian besar karyanya merupakan pengolahan bentuk-bentuk geometris yang tidak mencitrakan sesuatu, kecuali yang nampak pada patung itu sendiri. Meskipun tidak tertutup kemungkinan apresiasiatornya mengasosiakan dengan apa yang ada di alam.
Ia banyak mengerjakan karya-karya publik, di antaranya patung logam di Kebayoran Baru; patung aluminium di Labuan, Banten; patung aluminium anodized di Graha Wonokoyo, Surabaya ; patung aluminium di Kelapa Gading; hingga relief di plaza Depdikbud (kini Depdiknas) Jakarta , dan Mahagong di TIM. Memperoleh penghargaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
back to top
ROEDJITO, Jakarta
Seniman Roedjito (Mbah Djito), lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 21 Juni 1932. Kuliah di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia (1954-1957). Mulai belajar melukis secara otodidak dari tahun 1956. Ia salah satu pendiri Jurusan Seni Rupa LPKJ (sekarang IKJ), dan pernah menjabat Lektor di FSP-IKJ. Pernah belajar seni di East West Centre Hawai, USA (1970).
Selama hidup amat jarang pameran lukisan. Yang lebih sering adalah menghadiri pembukaan pameran lukisan orang lain. Sekali-kalinya (pernah) pameran tunggal, setelah itu mati (2003).
Pameran tunggalnya di Galeri Cipta 2 TIM itu menampilkan karya-karya hitam putihnya yang rata-rata berukuran kecil ( sebesar kaset atau disket), yang dikerjakan dengan pena diatas kertas, dalam rentang waktu tahun 2000-2002, atau sejak pulang dari ibadah haji.
Kepada pers ia menyebutnya karyanya, sebagai ‘dzikir', mengingat kebesaran Allah. Karya-karya tersebut, kemudian dipamerkan ke berbagai kota , atas prakarsa sahabat-sahabatnya . Sebagian karyanya dihimpun dalam sebuah buku Renung , 2003.
Dibanding pelukis, Mbah Djito lebih dikenal sebagai penasihat, perancang produksi, peñata artistik, set hingga lampu yang handal, di bidang teater , tari dan film. Pernah memperoleh Hadiah Seni Depdikbud (1993) dan Penghargaan Gatra Dja'far Bushiri (1996).
back to top
ROSID, Bandung
Pelukis Rosid, lahir di Parigi, Ciamis, Jawa Barat, 15 Februari 1969. Tamatan SMA ini, setelah belajar seni rupa di SOS (1989-1991), ia bergabung dengan Studio R 66 (1991-1993), lalu belajar pada pelukis Rudy Pranajaya (1994). Bergabung dengan Studio Redha dan Studio Tatang Ganar (1997-1999), dilanjutkan dengan Workshop Seni Rupa di Bengkel Sunaryo; kesemuanya di Bandung .
Atas saran Sunaryo, Rosid berusaha mengclose-up obyek yang telah difoto sebelumnya itu, ke atas kanvas ukuran besar, yang digarap dengan medium utama pensil hitam, sehingga hasilnya mengejutkan. Sejak pameran tunggal di Selasar Sunaryo Bandung (2002), berangsur-angsur posisinya semakin diperhitungkan.
Rosid telah melakukan pameran bersama sejak 1989, di Bandung, Jakarta , Magelang hingga di Museum Korea . Sedangkan untuk pemeran tunggalnya sejak 1997, selain di Selasar Sunaryo, berlangsung di CCF Bandung , Galeri Hidayat, Artmedia, Studio Segenggam Peduli, hingga Edwin's Gallery.
back to top
ROELIJATI, Jakarta
Pelukis Siti Roelijati Soewarjono lahir di Jombang, Jawa Timur, tahun 1930. Janda almarhum kritikus seni rupa terkemuka Dan Soewarjono ini, pada tahun 1950 belajar di Akademi seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta .
Pameran-pameran tunggalnya diadakan di Jakarta pada rentang tahun 1960-an. Selain itu ia mengikuti pameran bersama di beberapa kota besar di Jakarta, sampai luar negeri.
Saran mantan Mensos Maria Ulfah, waktu itu, mendorong dia membuka kursus melukis. Sampai akhirnya Roelijati menemukan sistem pengajaran seni lukis untuk pemula 6 minggu perpaket.
Ketersentuhannya atas pesan Hendra Gunawan, dosennya di ASRI, maka Roelijati sejak 1987, sering membuat sket dari balik kaca taxi tentang buruh-buruh kasar yang sedang membangun saluran kabel telpon, jembatan Semanggi, hingga pembongkaran kawasan. Untuk merampungkan satu obyek, bisa muter-muter 5-6 kali. Gara-gara itu ia pernah di tilang dan hampir kena derek. Disamping obyek jalanan tersebut, ia juga senang melukis suasana di café.
Tahun 1994 mendapat penghargaan Karya Terbaik Krida Wanodya dalam bidang seni rupa dari Meneg Peranan Wanita RI . Karyanya dikoleksi Bung Karno, Adam Malik hingga Museum Seni Rupa DKI Jakarta.
back to top
RUDI ISBANDI, Surabaya
Perupa senior Surabaya , Rudi Isbandi lahir di Yogyakarta , 2 Januari 1937. Belajar melukis pada Sudiardjo dan Hendra Gunawan, di Sanggar Pelukis Rakyat, Yogyakarta , tahun 1950-1953. Setelah itu ia mengembang diri dalam pergaulan antar seniman.
Aktif di Dewan Kesenian Surabaya (DKS) tahun 1980-1983, dan menjadi anggota redaksi Buletin DKS, Surabaya . Penulis buku-buku seni rupa dan artikel seni di berbagai surat kabar dan majalah ini, pemikiran dan proses kreatifnya banyak dipengaruhi filosof Jawa Suryomentaram.
Sejak tahun 1950-an hingga sekarang ia masih rajin pameran, di dalam dan di luar negeri. Antara lain di Surabaya, Jakarta , Amerika Serikat, hingga Mesir. Tahun 1978 ia diundang DKJ untuk ikut biennale di TIM. Dan tahun lalu, ia diundang mengikuti biennale The 9 th Cairo International Biennale , Egypt . Di daerahnya, Rudi mendapat penghargaan dari Gubernur Propinsi Jawa Timur, sebagai Pengembang Seni Kontemporer (1985).
Lukisannya tahun 1970-an – 1980-an, cenderung menggali ritme dan warna, hingga mencapai kesempurnaan intuitif yang jujur, spontan dan bersahaja. Namun belakangan, ia menjelajah dengan medium instalasi dan mixed media yang justru verbal.
back to top
RUSLI, Yogyakarta
Pelukis Rusli lahir di Medan , Sumatera Utara, 1992, dan meninggal di Yogyakarta 2004. Di masa penjajahan Belanda, ia belajar melukis, menari, musik, sastra dan filsafat Kala Bhavana Shantiniketan, Universitas Rabindranat Tagore di India (1932-1938). Kelak inilah yang mempengaruhi karya-karyanya yang bercorak ketimuran.
Kembali ke Tanah Air, menjadi guru Taman Siswa Yogyakarta (didirikan Ki Hajar Dewantoro) tahun 1945-1949. Dua tahun kemudian diangkat menjadi dosen ASRI Yogyakarta. Rusli ikut Pameran Biennale II di Sao Paolo, Brasilia (1953). Lalu mendapat undang Sticusa untuk berkeliling Eropa Barat (1954-1956). Di sela itu ia pameran tunggal di Roma. Pelukis dari zaman Persagi ini, sejak 1970 diangkat sebagai anggota Akademi Jakarta seumur hidup.
Kekuatan Rusli terletak pada hasil perenungannya pada obyek-obyek sampai ke inti, sehingga yang muncul ke kanvas adalah esensinya. Garisnya hening dan hemat, halus dan tenang, hasil akhirnya sangat kontemplatif. Trisno Suamardjo menyebut karya Rusli adalah manifestasi suasana Timur dan Indonesia .
Di sinilah para pengamat melihatnya seperti proses melahirkan puisi-puisi Haiku dalam kanvas. Kecenderungan demikian merupakan fenomena seni lukis liris (curahan hati) yang jarang diikuti pelukis-pelukis lain di Indonesia pada masa itu, yaitu tahun 1950-an. Untuk itu waktu ia pameran di Stedelijk Museum Amsterdam di Kunst Zaal Plaats Den Haag dan Ismeo Roma ia mendapat sambutan yang hangat dari para pelukis Barat sebagai master dengan teknik yang sempurna. Lukisan Rusli dikatakan sebagai neoimpresionisme semi abstrak, atau kadang-kadang ekspresionistis.
back to top
RINI CHAIRIN HAYATI
Perupa Rini Chairin Hayati lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Maret 1948. Belajar seni rupa di Institut Teknologi Bandung (1973). Pameran tunggal tahun 2001, Tentang Perempuan, di Galeri Bandung . Sedangkan pameran bersama antaranya lain Medium in Medium, Instalation as the Expresion Medium, di Galeri Nasional Jakarta , 1999, dan CP Open Biennile 2003, di Galeri Nasional, Jakarta (2003).
Kalau ada seniman spesialis, Rini tidak bisa seperti itu. Ia membuat seni grafis, melukis, membuat instalasi, membuat elemen estetika, dan kerajinan dari bambu. Dalam berkarya ia sering berkolaborasi dengan suaminya Ahadiat Joedawinata, yang dikenal sebagai seorang desainer interior, yang juga terlibat dalam bidang keramik dan seni pahat.
back to top
S. PRINKA, Jakarta
Almarhum Syahrinur Prinka, lahir di Bogor , Jawa Barat, tanggal 27 Februari 1947. Salah satu tokoh Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) ini, semasa hidupnya belajar di Studio Grafis ITB hingga meraih gelar sarjana seni rupa (1968-1974). Perupa berkaca tebal ini, hari-harinya lebih banyak dihabiskan sebagai pekerja di majalah Tempo, Jakarta , dan mengajar di almamaternya sampai akhir hayat.
Pernah mengikuti beberapa kali pameran antara lain pameran seni Rupa Baru Indonesia (1977, 1979), Pameran Ikatan Perancang Grafis (1980), Seni Grafis dalam Tempo (1986), Pameran Seni Grafis Indonesia di Jakarta (1987), pameran Persekutuan Seniman Gambar Indonesia (Persegi) pada tahun 1978, 1981, dan 1995, dan pameran Kelompok Siulan Selusin (2000).
Karya-karyanya cenderung menggunakan teknik drawing dengan warna dan digital printing . Selain bisa berdiri sendiri, karya-karyanya sering menyertai artikel-artikel penulis kondang. Sehingga tema-tema yang diangkat cenderung aktual, dan mengandung nilai news.
back to top
S. SUDJOJONO, Jakarta
Pelukis, pemikir, organisator dan penulis S Sudjojono (1913-1986) lahir di Kisaran Sumatra Utara, merupakan tonggak seni lukis modern Indonesia , lantaran karya-karyanya, perannya di Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia ), dan kepeloporannya dalam ide-idenya pada tulisan-tulisannya yang tajam. Dengan kapasitas kesadaran dan karya-karyanya yang diperjuangkannya tersebut, banyak pengamat bersepakat menempatkan Pak Djon (baca Jon) sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia .
Semasa mudanya, ia memberontak terhadap kemapanan romantisme seni lukis Mooi Indie, yang dinilai mengungkapkan keindahan dan kecantikan doang. Karena alasan ini pula, ia tak segan-segan “mengganyang” lukisan Basuki Abdullah yang “lebih indah dari warna aslinya.”
Dengan semangat nasionalime , Pak Djon ingin mendorong seni lukis Indonesia baru untuk menangkap realitas zaman yang serba pahit di masa penjajahan Belanda. Empati pada realitas kehidupan rakyat itu diungkapkan dengan gaya ekspresionisme lewat kredo jiwa ketok (ekspresi). Akan tetapi tahun 1953, Pak Djon, begitu panggilan akrab anak seorang kuli kontrak di perkebunan Deli, menganjurkan kembali ke realisme, supaya mudah dipahami rakyat.
Pandangan pelukis yang pernah berguru pada Pirngadi dan pelukis Jepang Yazaki ini, mempengaruhi penganut faham seni kerakyatan, yang secara sistematis ditumbuh- kembangkan lewat kelompok SIM (Seniman Indonesia Muda) yang berdiri di Madiun (1946), kemudian pindah ke Solo (1947), dan pindah lagi ke Yogyakarta (1948). Namun faktanya tidak sedikit yang menolak pandangannya.
Karyanya hingga kini banyak dikoleksi galeri, museum maupun kolektor perorangan. Dalam lelang di dalam maupun luar negeri yang mengambil tema lukisan modern Asia (Tenggara), lukisan Pak Djon tidak pernah ketinggalan diikutsertakan.
back to top
SAPTO HUDOYO, Yogyakarta
Perupa Sapto Hudoyo, lahir di Solo, 6 Februari 1925, wafat di Yogyakarta 3 September 2003 , setelah delapan tahun hidup di atas kursi roda karena stroke. Almarhum semasa hidupnya pernah mengajar di ASRI Yogyakarta , cikal bakal Institut seni Indonesia (ISI) Yogyakarta . Selain melukis, ia juga mematung dan menggeluti kria.
Sebelum Indonesia merdeka, Sapto bergabung dalam Laskar Melati – lebih dikenal dengan Laskar Kere -- ikut terjun dalam perjuangan fisik melawan penjajah Belanda.
Kehadiran Sapto ditengah kerajinan tradisional Kasongan pada awal 1970-an, tidak saja menimbulkan gairah penciptaan disana, tetapi juga berhasil membina para perajin untuk memodifikasi/memberikan sentuhan lain bagi desain kerajinan gerabah sehingga gerabah yang dihasilkan tidak menimbulkan kesan monoton, namun lebih dari itu mampu memberikan nilai seni dan nilai ekonomis tinggi. Sapto mengenalkan motif baru pada gerabah, yang tadinya polos, dengan ornamen seperti kodok dan capung. Patung kuda dengan pelana.
Berkat upaya dan kerja kerasnya membina pengrajin Kasongan, pada tahun 1996 Sapto Hudoyo menerima Upakarti dari Presiden Soeharto.
back to top
SEMSAR SIAHAAN, Jakarta
Perupa Semsar Siahaan, lahir di Medan , Sumatra Utara, 11 Juni 1962. Sejak usia 9 tahun, sudah belajar melukis di bawah bimbingan guru SD bernama France Freshern di Beograd. Pada tahun 1975 belajar melukis di San Fransisco Art Institut (SAFI), AS, di bawah bimbingan pelukis Amerika, Bruce McGraw dan Ursula Schneider. Kembali ke tanah air ia belajar seni patung di Departemen Seni Rupa ITB Bandung , 1975.
Aktif pameran sejak 1979, di Bandung, Jakarta , Australia hingga Kanada. Dalam Beinnale IX, 1993/1994 di TIM, ia menampilkan instalasi kuburan yang menghebohkan. Menjelang Orde Baru tumbang ia menyelematkan diri ke Kanada, dan kembali ke Tanah Air pasca reformasi. Tahun 2002 ia pulang ke Tanah Air, menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional, menampilkan karya-karya yang dibuat selama di luar negeri. Setelah itu ia ke Bali , dan tak lama kemudian meninggal, tahun 2004. Jenasahnya dimakan di tempat Rendra, Depok, Jawa Barat, berdekatan dengan Mbah Jito.
Dengan bahasa drawing, Semsar menggugat para penguasa (termasuk tentara) lewat karya-karya yang bercerita tentang orang-orang kalah, terusir, buruh yang diinjak martabatnya, buruh yang protes, dan kekejaman. Selain dengan warna, Semsar cukup sering menampilkan karya-karyanya dengan hitam putih.
back to top
SETIAWAN SABANA, Bandung
Perupa Setiawan Sabana, lahir di Bandung, Jawa Barat, 10 Mei 1951, dikenal pula sebagai dosen, peneliti, pembicara, juri kompetisi seni rupa, dan editor buku. Gelar sarjananya diperoleh dari Jurusan Seni Murni FSRD-ITB Bandung (1977). Gelar MFA diperoleh dari Art Department , Nothern Illionis University (1982). Dan gelar doctor diperoleh dari Program Pasca Sarjana ITB (2002).
Dekan FSRD-ITB Bandung sejak tahun 2000 hingga sekarang, merupakan salah satu tokoh seniman grafis di Tanah Air ini, dijuluki “Mr Legenda Kertas”. Lantaran sejak 1984, intens mengolah medium kertas dan memamerkannya di dalam hingga luar negeri. Namanya menjadi “tonggak” setelah mamerkan serial karyanya yang merepresentasikan kecemasannya atas rencana serangan Amerika Serikat ke Irak (dalam pameran Imagining The Book di Alexandria Mesir / Library of Alexandria) tahun 2002, dengan penanda judul Symphony in Black, The Global Orchestra ). Karya ini kemudian dipamerkan dalam CP Open Biennale 2003 di Galeri Nasional.
Dalam hubungan kertas dan dirinya sebagai manusia, ia merasa bahwa kertas adalah juga representasi dirinya. "Sebagai manusia suatu saat akan punah, seperti juga nasib kertas yang akan punah dalam era komputerisasi dan digitalisasi ini," tuturnya bernada mawas diri.
Sejak 1980, tercatat 8 kali pameran tunggal di Bandung , Jakarta , Jepang dan Amerika Serikat. Sedangkan untuk pameran bersama pertahunnya berlangsung antara 2-7 kali, baik didalam hingga luar negeri, di antaranya International Art Exhibition, Hongkong (2003), 17 th Asian International Art Exhibition, Daejeon Museum , Korea (2002), 15 th Asia International Art Exhibition, Taiwan (2000), Travelling Exhibition Signifying Decorativness (Indonesian-Australian Artists), Yogya-Denpasar-Bandung-Jakarta (1998), dan Modernitas and Memories Venice Biennale (1997).
back to top
SOEDIBIO, Madiun
Pelukis Soedibio (1912-1981), lahir di Madiun, Jawa Timur 17 Juni 1912. Seperti seniman seangkatannya, selain melukis, ia aktif dalam kelompok seni. Pada tahun 1940 menjadi anggota Persagi (Persatuan Ahli gambar Indonesia) di Jakarta. Pada awal kemerdekaan, tahun 1946, bersama S Soedjojono, Trisno Soemardjo, dan ia mendirikan Seniman Indonesia Muda (SIM) di Madiun. Lalu pada tahun 1967, ia menggabungkan diri dengan Sanggar Puring di Surabaya, bersama-sama dengan Tedja Suminar, Wiwiek Hidayat dan Karyono. Tahun 1970 menjadi anggota Bimpunan Budaya Surakarta (HBS). Pameran Tahun 1976 pameran bersama Soediardjo di TIM.
Pelukis yang pendiam ini membawa tema mistik dan surealistik ke dalam karya-karyanya lukisannya sejak tahun 1950-an; sebuah pendekatan yang samasekali tak lazim pada masanya.
back to top
SIDIK MARTOWIJAYA, Yogyakarta
Pelukis Sidik W Martowidjoyo yang bernama asli Ma Yung Qiang, lahir di Malang , Jawa Timur, 1937. Belajar kaligrafi dan melukis gaya China sejak berusia 9 tahun, di bawah asuhan Xiau Baixin Laushi. Setelah gurunya meninggal ia melanjutkan belajar sendiri, antara dengan ulang-alik ke RRC, mempelajari lukisan-lukisan Tiongkok kuno dari museum ke museum, dan berdiskusi dengan para pengamat seni lukis di negeri tirai bambu itu. Di Yogya ia menerima bimbingan para pelukis senior.
Setelah era reformasi tiba, dan keturunan Tionghoa mendapat kebebasan berekspresi seluas-luasnya, mulai tahun 1998 Sidik menggenjot pameran tunggal di hotel-hotel di Cirebon, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, serta galeri di Magelang dan Galeri Nasional Jakarta (2005). Pameran tunggalnya terbaru berlangsung di Beijing (2006). Pameran bersamanya telah berlangsung lima kali.
Karya-karya Sidik menganut Chinese painting , dengan mengangkat tema pemandangan hingga bunga, dengan medium utama tinta China .
back to top
SRI WARSO WAHONO, Jakarta
Pelukis Sri Warso Wahono, lahir di Solo, Jawa Tengah, tanggal 17 Juni 1948. Lulusan seni rupa IKIP Surakarta (1975) ini, juga dikenal sebagai penulis , pembicara dan organisator. Tahun 1980an – 1990-an , menjadi pengurus Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sebelum pensiun dari pegawai Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, ia pernah menjabat di Museum Wayang dan Museum Seni Rupa dan Keramik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kini bekerja di Badan Pengelola TIM.
Ia aktif pameran tunggal maupun bersama. Pernah pameran dengan pelukis dari berbagai negara sahabat Indonesia di Belgia, Amerika Serikat, Belanda dan negara-negara ASEAN. Mengikuti Biennale se-Dunia di Polandia, Biennale se-Dunia di Alexandria -Mesir, serta Biennale se Dunia di Saolo Paulo- Brazil . Pameran lain yang ia ikuti dan bobotnya penting adalah Pameran Seni Rupa Negara-negara Non-Blok, di Gedung Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional) semasa Presiden Soeharto.
Warso pun sering diundang dalam forum-forum ilmiah selaku pembicara kritik seni rupa, antara lain di Triennale di India , Simposium Visual Arts di Filipina, Biennale Seni Rupa di Jakarta. Selain tetap melukis dan aktif pameran, ia menulis kritik seni rupa di berbagai media cetak di ibu kota .
back to top
SRIHADI SUDARSONO, Bandung
Pelukis dan dosen Srihadi Soedarsono, lahir di Solo, Jawa Tengah, 4 Desember 1931. Tahun 1958 meraih gelar seni rupa dari ITB, yang sebelumnya bernama Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar Fakultas Teknik Universitas Indonesia , Bandung . Kemudian melanjutkan kuliah di Ohio State University hingga mendapat gelar Master of Art (MA). Pencipta logo ITB ini, mengajar di almamaternya hingga pensiun. Pernah juga menjabat Ketua Departemen Seni Rupa LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta).
Di masa revolusi fisik, ia pernah menjadi Tentara Pelajar (TP) di kota kelahirannya, tahun 1945-1946. Lalu tahun 1946 – 1948, keahliannya menggambar ia manfaatkan untuk membuat poster-poster perjuangan di Balai Penerangan TNI, Divisi X, Solo.
Dalam petualangan estetiknya, lukisan Srihadi pada awalnya bercorak geometrik sintetik seperti pada umumnya murid-murid Ries Mulder. Pada tahun 1960 mulai menuju eksperimentasi pada bentuk abstrak lewat tempelan potongan kertas dan spontanitas warna. Tahun 1970-an cenderung impresionis lewat cat air dan ekpresionis lewat cat miyak dan sering memasukkan unsur simbolis dalam lukisannya. Puncaknya pada periode horizon dan obyek-obyek dalam kesongan warna.Nilai spiritualitas itu didalami juga lewat penghayatan filosofi Zen Budisme. Berbagai figur penari, barong dan juga Candi Borobudur, menjadi sosok puitis yang menerung dalam ruang makrokosmos.
Ia menerima cukup banyak penghargaan dari dalam dan luar negeri. Antara lain Anugerah Seni dari pemerintah RI (1971). Penghargaan Cultural Award (1973) dari pemerintah Australia . Memperoleh Fulbright Grant di AS (1980). Sebanyak 8 dari 12 kali mengikuti biennale yang digelar DKJ—1974, 1978, 1980, 1984, 1987, 1989, 1998, dan 2006 – berhasil meraih hadiah terbaik pada biennale ke III Seni Lukis Indonesia .
Dalam masa tuanya sekarang ini, ia termasuk pelukis yang karyanya dijadikan rebutan para kolektor maupun kolekdol , dan meramaikan balai-balai lelang lukisan di dalam dan di luar negeri.
back to top
SRIYANI H, Jakarta
Pelukis Sriyani Hudyonoto lahir di Yogyakarta , tanggal 3 Mei 1930. Sejak usia 3 tahun, diajak keluarga menetap di Jakarta . Ia mendapat penghargaan dari Bataviasch Nieusblad pimpinan JH. Ritman sebagai anak berbakat (1939). Sejak saat itu ia menekuni seni lukis dengan belajar pada pelukis kondang S.Soedjojono. Pada umumnya Sriyani melukis dengan pendekatan realistik.
Karier seni lukisnya dimulai pada waktu ia bekerja di Studio Perfini ( Perusahaan Film Indonesia ) Jakarta , sebagai perancang dekor, tahun 1952.
Pada tahun 1955 ia tinggal di Moscow selama 7 bulan, kemudian pindah dan tinggal selama 5 tahun di negeri Belanda. Kesempatan ini dipergunakan untuk belajar seni rupa pada Koningklijke Academie voor Beeldende Kunsten di Den Haag. Ia pernah mengunjungi Tanzania , Kenya , Uganda , Kairo, London , dan Paris .
Pameran tunggal dan bersama Sriyani selain diselenggarakan di berbagai kota di Tanah Air, juga di Moscow , Den Haag, London , Kairo, Singapura.
back to top
SUBROTO SM, Yogyakarta
Nama lengkapnya cukup panjang, Subroto Somomartono (disingkat Sm), lahir di Klaten, Jawa Tengah, 23 Maret 1946. Staf pengajar di Fakultas Seni Rupa, Fakultas Seni Media Rekam dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta ini, meraih ijasah sarjana STSRI ”ASRI” Yogyakarta (1975). Kemudian melanjutkan belajar keramik di Tokyo Gakuge University (1975-1977). Lulus Magister Humaniora UGM Yogyakart (1999).
Dimata salah seorang muridnya, Ipong Purnama Sidhi, yang kini menjadi kurator Bentara Budaya Jakarta, gurunya yang satu ini secara fisik mudah dikenali: Garis linier cat akrilik yang menciprat dengan genangan air sebagai latar yang tercampur cat menjadikan bayang-bayang baur. Sosok-sosok yang ditampilkan pun masih sekitar torso, intensitas hubungan ibu dan anak, perempuan duduk, atau dalam karya terbaru ditampilkan simbol-simbol yang berkaitan dengan kondisi mutakhir negeri ini.
Media kertas menjadi favorit di samping watak kertas yang mudah meresap air dan menghasilkan efek tak terduga, juga hemat biaya. Walaupun dikerjakan di atas kertas, namun Subroto Sm tidak membuat sketsa, karyanya tidak semata-mata gambar karena ada volume ruang. Putih kertas yang tak terjamah cat bukan sebidang ruang kekosongan, tetapi menjadi ruang negatif dan memiliki peran dalam sebuah komposisi. Kerjanya cepat, ia menumpahkan seluruh energinya sesaat, menggaris, menggerus dengan palet, selesai.
Peraih penghargaan Wendy Sorensen-AS, selama ini pameran tunggal hanya dua kali, yakni di Bentara Budaya Yogyakarta (1984) dan Galeri Milenium Jakarta (2002). Selebihnya puluhan kali pameran bersama, yang dimulai dari tahun 1976 hingga sekarang. Antara lain Pameran keramik bersama di kampus Tokyo Gakugeu University,Jepang (1976), ASIAN Art Show di Fukoaka, Jepang (1985), Biennale Seni Lukis Yogyakarta (1988, 1990, 1994), Pameran Keliling Lukisan Cat Air di Jerman (1987, 1990 dan 2000), Pameran Seni Rupa IKAISYO di Meseum Affandi Yogkarta (2004).
back to top
SUDARISMAN, Yogyakarta
Pelukis Sudarisman, lahir di Yogyakarta , tanggal 26 Juli 1948. Lulusan Sekolah Tinggi seni Rupa Indonesia (STSRI) “ASRI” Yogyakarta , 1980. Dua tahun kemudian mendapat beasiswa dari Kementrian Kebudayaan dan Rekreasi Belanda (1982) untuk belajar melukis teknik seni lukis Renaissance dan seni lukis modern di Vrij Academie voor Beldende Kunsten di Den Haag.
Debutnya diawali dengan mengikuti pameran bersama di TIM bertajuk Pameran Seni Lukis Indonesia (1971). Setelah itu setiap tahun mengikuti pameran bersama di Jakarta , Yogyakarta , Bali , Semarang , hingga ke luar negeri
Di antaranya Pameran Seni Lukis Sanggar Bambu di Balai Budaya Jakarta (1979), Pameran Seni Rupa ASEAN dalam ASEAN Festival of Art, di Benteng Vredeburg Yogyakarta (1992), Pameran Lukisan Festival Kesenian Yogyakarta di Yogyakarta (1993), Pameran Seni Rupa Contemporary Art of Aligned Countries , di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud (kini Galeri Nasional Indonesia) 1995, Pameran ASEAN Art Award, di Gedung Sekretariat ASEAN Jakarta (1995 ), 9 th ASIAN International Art Exibition , di National Museum of History RRC (1994), The Mutation,Painstaking Realism in Indonesia Contemporary Painting , di Akasaka Twin Tower IF, Tokyo, Jepang (1997). Untuk pameran tunggal baru sekali tahun 1982 berlangsung di Edwin's Gallery, 1992.
Penghargaan yang diterima antara lain, Pratisara Affandi Adikarya (Affandi Prize) dari Yayasan Pratisara Affandi (1979), Medali emas dalam Biennale Seni Lukis Yogyakarta I dan II (1989, 1990), ASEAN Art Award 1998.
back to top
SUDARSO, Jakarta
Pelukis Sudarso, lahir di Ajibarang, Purwokerto, tanggal 28 Juli 1914. Pernah menjadi pedagang telur dan susu keliling, sampai akhirnya bertemu pelukis Affandi di Bandung, yang kemudian mengajarinya melukis.
Bersama Affandi, Barli, Hendra Gunawan, dan Wahdi, membentuk Kelompok Lima Bandung. Sekitar tahun 1943, ia bergabung dalam ‘Poesat Tenaga Rakyat' (Poetra) bidang kebudayaan, Bandung .
Tahun 1946 bersama Affandi membentuk Himpunan Pelukis Masyarakat, kemudian dilebur menjadi Himpunan Pelukis Rakyat, Yogyakarta (1947). Setelah kemerdekaan, tahun 1946 – 1951 menjadi anggota Gabungan Pelukis Indonesia , Jakarta . Tahun 1951-1960 mengajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta .
Dalam perjalanan kreativitasnya, Sudarso secara konsisten mengangkat sosok perempuan desa (Jawa) sebagai obyek lukisannya. Disamping itu, ia melukis pemandangan. Kehadiran obyek perempuan diatas ratusan kanvasnya, adalah semacam kerinduan pada sosok ibu; yang minggat dari rumah ketika ia kecil, gara-gara tidak suka terhadap perlakuan suami, yang tak lain adalah ayah Sudarso.
Bila perempuan-perempuan dalam lukisan Sudarso itu, kemudian tampil polos, lugu, kelihatan seluruh anggota badan lengkap dengan pakaian tradisional Jawa, dimata kritikus seni rupa Kusnadi, tak lain untuk menyatakan kelembutan dan kepolosan perempuan (desa) secara menarik.
Sejumlah lukisan Sudarso masuk dalam koleksi penting Presiden RI (pertama) Soekarno. Disamping itu banyak menghiasi dinding museum, pusat kesenian, perusahaan swasta, hingga acara-acara biro lelang.
back to top
SUDJANA KERTON, Bandung
Pejuang dan pelukis Sudjana Kerton (1922-1994) kelahiran Bandung , meski pernah belajar pada Ries Mulder, tapi tidak kuliah di seni rupa ITB. Setelah masa revolusi ia mengembara ke luar negeri selama 25 tahun, untuk belajar dan bermukim di Eropa dan Amerika. Lewat beasiswa Sticusa, ia belajar seni rupa di Belanda dan Perancis. Diteruskan menetap di AMerika lewat beasiswa Art Student League. Akibat lamanya di luar negeri itu, namanya sempat hilang sesaat dari wacana seni rupa Indonesia .
Ketika Kerton bermukim di Eropa dan Amerika tahun 1950-an hingga 1970-an, ungkapan-ungkapan lukisannya lebih dekat dengan tren seni lukis Barat. Namun sekembalinya ke Indonesia dan minum air Bandung lagi, sejak tahun 1976 sampai menutup mata -- Kerton lebih banyak mengungkapkan kehidupan rakyat kecil. Dari galeri-studionya yang diberi nama Sanggar Luhur, yang dibangun di atas bukit Pakar Timur Dago di Bandung itu, ia melahirkan lukisan-lukisan yang humanis, dan tak jarang mencubit hati kita sampai ngilu.
Dari berbagai tema yang diangkat, seperti tak ada habis-habisnya menimba semangat kemanusiaan para tukang becak, buruh, petani, pelacur, dan lapisan masyarakat sejenisnya. Bukan hanya kemurungan yang diungkapkan dalam karya-karya itu, tetapi juga humor dan keunikan hidup. Hal itu bisa dilihat dari dari gestur-gestur tubuh, deformasi, goresan dan warna-warnya yang kuat, serta mengekspresikan kedalaman.
Dengan demikian, perjalanan kesenian Kerton dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu masa sekitar revolusi kemerdekaan, masa di Eropa dan Amerika, dan masa sekembalinya di Bandung .
back to top
SUGIJO DWIARSO, Yogyakarta
Pelukis Sugiyo Dwiarso lahir di Magelang, Jawa Tengah, 19 Mei 1968. Belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta .
Pameran yang pernah diikutinya antara lain Dies Natalis ISI Yogyakarta (1989); bersama Kelompok 87 di Sasana Aji Yasa, Yogyakarta (1989); bersama Kelompok 87 pameran di Bentara Budaya, Yogyakarta (1994); dan Yogyakarta Art Festival (FKY) Yogyakarta (1996).
Berlanjut pada tahun 2003, mengikuti pameran Passion: Etno- Identity di Beijing dan Shanghai, China, yang dilaksanakan oleh Yayasan Seni Rupa Indonesia (YSRI); Equatorial Heat , di Sichuan Museum, China (2004); dilanjutkan di Edwin's Gallery Jakarta (2005).
Kecenderungan karya Sugiyo mengusung tema-tema yang secara psikologis dan personal mempersoalkan keberadaan manusia. Ia juga melakukan pastiche, dalam arti plesetan untuk mengingatkan pada simbol-simbol masa lalu -- sebagaimana bentuk-bentuk yang dipakai para pelukis semasa Renaissance -- namun ia tidak menyarankan nuansa-nuansa misterius sebagaimana gaya surealisme.
back to top
SUHADI, Yogyakarta
Pelukis yang mengaku tetap berpegang pada corak Indonesia , Suhadi, lahir di Bogor , Jawa Barat, 23 Agustus 1937. Belajar melukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta , tahun 1956-1961. Sejak keluar dari ASRI, ia menjadi pelukis bebas.
Tahun 1961, ia menerima penghargaan dari ASRI untuk karya-karyanya. Lalu 13 tahun kemudian (1974) ia menerima hadiah dari Society for American Indonesia Friendship, Jakarta , sebagai seorang pelukis yang tetap berpegang pada corak Indonesia
Bagaimana yang dimaksud dengan lukisan yang bercorak Indonesia itu? Seperti sebuah lukisannya yang dikoleksi Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, menggambarkan suasana dusun yang tenang, dengan hamparan sawah, dijaga beberapa batang pohon, dengan sepotong jalan yang dilewati penggembala sapi dan ibu-ibu berjalan diatas pamatang. Menggunakan warna-warna sejuk, sehingga menentramkan bagi mata yang memandang.
back to top
SUN ARDI, Yogyakarta
Pegrafis Sun Ardi lahir di Yogyakarta , 18 Oktober 1939. Seniman ini mendapat gelar sarjana di jurusan Seni Grafis Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI)-ASRI Yogyakarta, dan Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Selain itu mendapat sertifikat desain dari Hiroshima , Jepang.
Saat ini Sun Ardi mengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan di Wiyata Yogyakarta.
Sering pameran di dalam dan luar negeri. Antara lain di Bentara Budaya Jakarta , Museum Nasional Hiroshima, Jepang; juga berbagai galeri dan pusat kesenian yang ada di Jakarta , Yogyakarta , Surabaya , Semarang , dan Bandung . Salah satu kecenderungan karya grafisnya, mengandalkan bahasa garis yang lentur, dikerjakan dengan teknik screen printing
back to top
SOENARTO PR, Jakarta
Pelukis Soenarto Prawirohardjono , lahir di Bobot Sari, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, tanggal 20 November 1931 . Pendidikan formal diperoleh dari Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta , jurusan seni lukis dan patung (1951-1958). Ia dikenal sebagai ‘raja pastel', karena hampir sebagian besar karya-karyanya terbuat dari media pastel.
Pentolan Sanggar Bambu Yogyakarta; sebuah paguyuban seni yang berdiri 1 April 1959 , menjadi salah satu sanggar yang berpengaruh di dalam perkembangan seni rupa Indonesia , yang jejaknya masih terasa hingga sekarang. Dikelola dengan manajemen “6- sa”-nya Ki Ageng Suryo Mentaram “ sabutuhe, sacukupe, saperlune, sabenere, samestine, sakepenake”, ditambah 1-sa (saketemune).
Di dalam kelompok tersebut beragam corak berkembang, maklum di sana ada juga tokoh-tokoh seperti Danarto, Mulyadi W, Handrio, dan lain-lain. Namun bekas Tentara Pelajar yang pernah bergerilya di Tegal (1949) ini menggarap karya-karyanya dengan pendekatan realistik, temasuk untuk melukis dirinya sendiri.
Bersama Sanggar Bambu, pernah pameran keliling 40 kota di Jawa dan Madura (1959. Sampai sekarang ia sering pameran bersama.
Karya-karya Sunarto cenderung menggunakan pendekatan realisme-naturalis, yang sangat mementingkan garis-garis kontur, warna dan komposisi, untuk mencapai ekspresi dan karakter. Ia paling bergairah menggarap obyek manusia, dibanding yang lain, misalnya pemandangan, alam benda maupun binatang.
back to top
SALIM, Prancis
Pelukis Salim, lahir di Medan , 1909. Sejak muda menetap dan melukis di Paris (Prancis). Bekerja di Kedutaan Besar RI di Paris sampai pensiun. Tahun 1956 mengadakan pameran tunggal pertama di Balai Budaya. Disusul tahun 1974 pameran di TIM dan Bandung , dilanjutkan tahun 1975 di Surabaya . Setelah itu beberapa kali karyanya muncul dalam pameran di pusat kesenian maupun galeri di Jakarta .
Keakrabannya dengan budaya Perancis dimanifestasikan dengan membuat ilustrasi buku sastra, karya Lautreamont, Rimbaud, Andre Gide, Paul Valery, Paul Leautaud, Apollinaire Dei. Teknik lukisannya universal, corak yang dipenuhi aliran-aliran impresionisme, Ecole de Paris. Selain di Prancis , ia pernah pameran di Swedia, Swiss hingga Belanda. Beberapa penghargaan yang pernah diterima yaitu bintang perunggu dan perak pada pameran lukisan Internasional Paris (1971).
Lukisan Salim pada umumnya adalah citra kesan yang sebagian besar bertema hutan beton, pelabuhan, pemandangan kota , pohon-pohon, bunga-bunga, dan sosok figur perempuan. Di dalam karyanya terkandung semangat yang menggelora dengan citra komposisi yang bergerak tidak statis. Obyek karyanya dipecah menjadi bentuk-bentuk yang menjurus ke kubistis, tapi tidak bisa digolongkan ke dalam seni lukis kubisme.
back to top
SUNARYO, Bandung
Perupa Sunaryo, lahir di Banyumas, Jawa Tengah, tanggal 15 Mei 1934. Lulusan Fakultas Seni Rupa ITB, Bandung , 1969. Melanjutkan belajar di Technic of Marble Sculpture, Carrara Italy , 1975. Di bidang pendidikan, ia mengajar seni rupa pada Jurusan Seni Murni FSRD-ITB. Pernah menjadi Kepala Studio Seni Patung dan Ketua Jurusan Seni Murni, di kampus yang sama.
Untuk menampung dan mengkomunikasikan pikiran dan karyanya kepada masyarakat, perupa tangan dingin ini mendirikan Selasar Sunaryo pada dekade 1990-an. Dalam perkembangan kemudian, selasar ini selain menampilkan pameran dan pertunjukan, juga berbagai seminar dan workshop.
Sebagai pematung dengan karya-karya monumen di ruang publik, Monumen Jendral Sudirman (2003) di Jakarta, adalah salah satu hasil karyanya. Patung monumen lainnnya di Bandung , yaitu Dasa Sila dan Perjuangan Rakyat Bandung Selatan . Sedangkan di pintu masuk kota Yogyakarta kita bisa melihat karyanya Yogya Kembali .
Selain patung realis, Sunaryo juga banyak membuat patung abstrak. Pola yang sama kita dapatkan pada karya-karya lukisan dan instalasinya. Belakangan ia merambah media baru dalam berkarya, seperti kinetic dan video. Di antara karya instalasinya yang menarik, Terperangkap dalam Kurungan yang ditampilkan dalam CP Open Biennale di Galeri Nasional,maupun Titik Nadir, Batu Melangkah Waktu dan Puisi Putih yang digelar di selasarnya, mengusung isu politik global maupun nasional, perusakan lingkungan, misteri alam hingga tradisi.
Bersama sejawatnya, G Sidharta dan AD Pirous, mendirikan Decenta di Bandung, yang merupakan bidang usaha yang melayani kebutuhan elemen estetika untk perkantoran, interior, eksterior, dan ruang pameran seni rupa. Dimasa ini ia juga membuat grafis.
Tahun 1978 pernah ikut dalam Norwegian International Prints Biennale , Fredrikstad , Norway . Tahun 1983 ikut International Print Exhibition. Pameran bersama di CP Art Space Washington DC Amerika Serikat. Kini karya-karyanya sering muncul di berbagai pameran dan lelang seni di dalam dan luar negeri.
back to top
SUPARTO, Yogyakarta
Pelukis dengan corak dekoratif yang khas, Suparto lahir di Yogyakarta , 1929. Tahun 1944 belajar melukis di Keimin Bunka Sidosho (Pusat Kebudayaan pada zaman Jepang), Bandung . Pada awal kemerdekaan, tahun 1946-1947 meneruskan belajar melukis di kelompok SIM (Seniman Indonesia Muda) Surakarta dan Yogyakarta .
Suparto pernah memperoleh Anugerah Seni (1972) dari pemerintah RI melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, era Orde Baru. Aktif pameran didalam dan luar negeri. Karya-karyanya antara lain dikoleksi oleh Galeri Nasional Indonesia, Jakarta .
Karya-karyanya tampil serba lembut, baik garis, warna, maupun pilihan obyeknya. Kesemuanya bersumber pada citra keselarasan dari dalam batinnya. Ia banyak menggarap tema burung-burung, gadis cilik, kucing, lelaki, bunga di jambangan.
back to top
SUROMO DS, Surakarta
Perupa Suromo Darposawego lahir di Surakarta , 11 Oktober 1919. Perupa senior ini, tahun 1935 sempat belajar seni keramik dan melukis di atas gelas pada Robert Depe. Karyanya dapat dilihat antara lain di jendela-jendela bangunan-bangunan penting di Jakarta .
Selain menekuni seni lukis dan grafis, Suromo pada masa lalu dikenal sebagai pembuat relief beton di berbagai bangunan penting di ibukota Republik Indonesia . Selain itu membuat patung torso Adisucipto, Tugu Garuda (1963-1965), mozaik dan beberapa karya monumental lain di tempat-tempat penting.
Karya cukilannya tersebar di 33 gedung Kedutaan RI di luar negeri. Selain di dalam negeri, karya-karyanya sempat dipamerkan di Malaysia dan London .
Tahun 1936, Suromo tercatat sebagai salah seorang anggota Persagi. Ia memperoleh penghargaan dari BMKN tahun 1956 atas karya cukilan kayunya. Dalam usianya yang telah lanjut, karya woodcut- nya tahun 1999 masih sempat ikut memberikan kesaksian atas terjadinya reformasi di Tanah Air. Lewat euphoria beberapa sosok lelaki yang bergerak maju, ada yang membawa bendera, tangan mengepal, dan kepala diikat segala.
back to top
SUTJIPTO ADI, Bali
Pelukis Sutjipto Adi, lahir di Kalisat, Jember, Jawa Timur, 31 Agustus 1957. Belajar seni rupa di STSRI “ASRI” Yogyakarta . Kini memilih tinggal dan berkarya di Bali.
Ia termasuk pelukis yang di tahun 1970-an memilih kecenderungan melukis secara realistik fotografis. Kala itu kecendrungan ini masih kontroversial. Ia memilih bentuk-bentuk geometrik yang menampilkan citra teknologi, dilengkapi dengan hadirnya sosok manusia (kadang bayi, anak-anak, orang tua, lelaki, perempuan).
Di balik karya-karyanya tersebut, Sutjipto Adi ingin merealisasikan tiga unsur besar : manusia, Tuhan dan alam semesta. Baginya ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dalam ketunggalannya untuk memanusiakan manusia atau memanusiakan diri dia secara pribadi.
Sutjipto sering pameran di Bali, Surabaya, Bandung, Jakarta, hingga Singapura. Karyanya mengisi dinding-dinding kolektor, galeri, museum, hingga balai-balai lelang.
back to top
SUWADJI, Yogyakarta
Totem-totem, topeng, dan tradisi terus digali oleh pelukis Suwadji, kelahiran Yogyakarta , 5 Mei 1942. Ia seperti tidak pernah puas dalam mengangkat tema totem, topeng dan tradisi (wayang diantara) ke atas kanvasnya; seperti juga maestro Affandi yang selalu melukis wajah dengan model dirinya sendiri berulang-ulang kali.
Tahun 1977, Suwadji mendapat gelar sarjana seni rupa dari jurusan seni lukis, Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Pada tahun itu pula ia menjadi dosen di almamaternya hingga pensiun.
Ia pernah mendapat penghargaan dari luar negeri, tepatnya Wendy Sorenson memorial Award, USA, tahun 1977. Karya-karyanya tahun 1970-an tersebut, tampil dengan warna yang berani, dengan sabetan garis-garisnya yang kuat.
back to top
SUYATNA, Jakarta
Pengrajin keramik Suyatna, lahir di Tangerang 28 Februari 1957. Belajar keramik pada Jurusan Seni Rupa - Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 1976-1981. Sejak 1982 mengajar di studio keramik IKJ sampai akhir hayatnya, November 2004.
Tahun 1981-1982 Suyatna turut mendirikan studio keramik Makara. Lalu magang pada ahli keramik Jepang Marioko Shigeyoshi di Wakayama, Jepang (1983-1984). Untuk menunjang proses kreatifnya,tahun 1985 mendirikan studio keramik di Curug. Selama tiga tahun berturut-turut – 1985,1986,1987 – ia menggelar pameran tunggal di Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta . Selain itu ia juga pameran di Goethe Institut Jakarta, dan ditempat-tempat lain.
Suyatna memberikan sentuhan pada benda-benda fungsional, mulai dari piring hingga gelas, dengan lukisan yang dibuat dengan berbagai teknik. Selain itu juga membuat lukisan diatas lempengan-lempengan keramik, dengan obyek wanita-wanita telanjang, dengan kontur yang jelas dan latar belakang gelap. Dengan suhu pembakaran diatas 1200 derajat Celsius, warna-warna lukisan keramik itu sering kali tidak diprediksi keindahannya. Tantangan ini, yang membuat hidup Suyatna makin hari makin menyala, menggeluti lukisan keramik.
back to top
SYAHWIL, Jakarta
Pelukis Syahwil lahir pada tanggal 9 Oktober 1936, di Sulit Air, Sumatra Barat. Belajar seni lukis di akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta , tahun 1955-1960.
Pameran tunggalnya yang pertama diselenggarakan pada tahun 1964, meskipun sebelumnya sudah sering ikut pameran bersama di berbagai tempat di Tanah Air hingga luar negeri.
Selain melukis, dalam diri Syahwil mengalir juga bakat menulis sastra. Untuk itulah ia piawai mengarang cerita pendek, novel dan drama. Karyanya Si Bung dari Siantar , adalah sebuah cerita masa kecil Adam Malik, Wakil Presiden Indonesia dimasa Orde Baru, yang ditulis pada tahun 1978 dan diterbitkan oleh Penerbit Aries Lima, Jakarta.
Syahwil menjadi peñata artistik majalah Tempo selama dua tahun, kemudian menjadi editor penerbit Aries Lima yang bergerak dibidang penerbitan buku-buku bacaan anak-anak. Juga pernah menjadi redaktur majalah Kucica.
Salah satu karyanya berjudul Pasar Ayam , yang digarap dengan medium cat minyak di atas kanvas, menjadi koleksi Adam Malik. Kecenderungan Syahwil, garis-garisnya lembut, paduan warnanya laras, dan narasinya kuat.
back to top
SYAIFUL ADNAN, Yogyakarta
Pelukis kaligrafi Syaiful Adnan, lahir di Saningbakar, Sumatra Barat, 6 Juli 1957. Belajar seni rupa di STSRI “ASRI” Yogyakarta (1976-1982). Semasa kuliah mendapat penghargaan Porseni I se Indonesia dan Pratisara Affandi Adhi Karya. Karya-karya lukisan kaligrafinya, kini sudah mempunyai ciri khas tersendiri.
Ia konsisten menggeluti lukisan kaligrafi, sehingga bisa berada dalam satu barisan dengan para seniornya seperti AD Pirous, Ahmad Sadali, Amri Yahya, dan Amang Rahman.
Pengamat kaligrafi memasukkan karya-karya Syaiful Adnan kedalam katagori bukan kaligrafi murni, tapi lukisan kaligrafi; yang lebih mementingkan garapan secara visual, disamping isi/pesannya. Lebih dari itu, bentuk huruf-huruf Arabnya pun, cenderung “membebaskan” diri dari rumus-rumus baku , sepert Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq sampai Riqa. Justru dengan begitu, kehadiran corak hurufnya bisa menambah perbendaharaan yang ada, kalu tidak boleh disebut “mengindonesia”.
Sejak 1979 sampai sekarang, ia telah seringkali pameran tunggal maupun bersama di Jakarta , Yogyakarta , Denpasar, Magelang hingga ke Singapura. Di antaranya Pameran Festival Istiqlal I di Jakarta (1991), dan Islamic Contemporary Work of Art Exhibition di Singapura (1992).
back to top
SYAMSULBAHAR, Sumatra Barat
Pelukis Syamsulbahar, lahir di Kuranji Lima Puluh Kota , 31 Desember 1913, wafat di Bukittinggi, Sumatra Barat, 19 Agustus 1994. Semasa hidup aktif melukis untuk memenuhi kebutuhan batin dan mengagumi kebesaran Tuhan, tapi tidak pernah sekalipun pameran lukisan, apalagi menjual karya. Setelah wafat, keluarganya berinisiatif menggelar lukisan-lukisan cat minyak, cat air dan drawing, yang kebanyakan mengambil obyek pemandangan alam Minangkabau, “meneruskan” Wakidi. Pameran berlangsung di Taman Budaya Sumatra Barat, Maret 2006.
Syamsulbahar menempuh pendidikan di HIS tahun 1930 di Solok, Islamic College Padang, dan Bovenbow Ruang Pendidikan INS Kayutanam 1937. Semasa hidupnya mengabdikan diri di lapangan kemiliteran, pendidikan, dan politik.
back to top
TISNA SANJAYA , Bandung
Perupa kontemporer Tisna Sanjaya, lahir di Bandung , Jawa Barat, 1958. Belajar seni rupa di IKIP Bandung , FSRD-ITB Bandung, dan Freikunst HBK Braunscheigh, Jerman. Sekarang mengajar di almamaternya, FSRD-ITB Bandung dan menjadi anggota Korpri.
Selain melukis, ia berekspresi dengan instalasi dan seni rupa pertunjukan di dalam dan di luar negeri. Salah satu karya instalasinya yang terbuat dari bambu dan graphic print -- yang dikira sampah -- dibakar oleh aparat keamanan di Bandung . Peristiwa ini memicu gelombang pro kontra baik di media massa maupun di berbagai forum diskusi antar pekerja seni rupa dan praktisi hukum.
Karya-karya Tisna berkecenderungan menjadi seni rupa Jeprut, sesuatu yang terlepas; dari mainstream , dan kelaziman (rapi, manis, tertib). Lewat gambar-gambar ‘jorok', ‘sakit', ‘tidak utuh', ‘menjijikkan', jauh dari keindahan steril yang digariskan sang diktator, ditambah bau jengkol ditempat pameran, Tisna menjadikan karya seninya sebagai ‘ seni demi kebebasan', ‘seni bukanlah hanya estetik', ‘seni adalah untuk perdamaian', ‘seni demi perubahan sosial', seperti yang sering dikotbahkan kepada para mahasiswanya di kampus.
Selama ini karya-karyanya pernah dipamerkan dan dipertunjukkan di berbagai galeri maupun acara penting di Bandung, Yogyakarta, Jakarta, hingga di Singapura, Museum Seni Fukuoka Jepang, Asia Pacific Triennial of Contemporary Art di Brisbane,Australia, dan Museum Nusantara, Delf, Belanda.
back to top
TRISNO SUMARDJO, Jakarta
Seniman Trisno Sumardjo (1916-1969), lahir di Tarik, Surabaya , tanggal 6 Desember 1916. Ia belajar melukis dan menulis sejak berusia 30 tahun (1946) ketika bergabung di sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM) di Surakarta. Tahun 1948 menjadi anggota Gabungan Pelukis Indonesia di Jakarta. Sering mengikuti pameran di dalam dan di luar negeri.
Selain dikenal sebagai pelukis, ia juga dikenal karena karya-karya tulisnya berupa novel, naskah sandiwara, esai, puisi dan kritik seni rupa. Tahun 1950 menjabat sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia , Jakarta , kemudian sekretaris Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional (BMKN). Tahun 1969 ia diangkat oleh Akademi Jakarta yang kemudian dikukuhkan Gubernur Ali Sadikin menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang pertama. Sayang ditahun itu juga ia mengembuskan nafas terakhir.
Dalam dunia seni lukis, Trisno Sumardjo termasuk pelukis realis, baik dalam landasan bertolak maupun dalam menggunakan ideom seni lukisnya. Obyek yang ia sukai adalah pemandangan alam, selain alam benda dan suasana perkotaan. Obyek manusia jarang ia gambar. Hanya sesekali saja, berupa potret diri dan potret keluarganya.
back to top
TRUBUS SUDARSONO, Yogyakarta
Pelukis Trubus Sudarsono (1926-1966), sebagai salah satu pelukis realisme terkuat di Indonesia , lahir di Yogyakarta , tahun 23 April 1926 . Pendidikan formalnya hanya sampai Sekolah Dasar. Bakat dan ketrampilannya terasah lewat belajar bersama Affandi dan S.Sudjojono.
Semasa pergerakan di Yogyakarta , ia bergabung dengan SIM dan kemudian dengan Pelukis Rakyat yang dipimpin Hendra Gunawan. Tahun 1948 ia pernah ditangkap dan masuk tahanan pemerintah kolonial Belanda karena dianggap terlibat aktivitas gerilya kaum pergerakan.
Setelah keluar dari tahanan ia aktif mengajar di ASRI Yogyakarta (1950-1960). Ia memang dekat dengan kalangan kiri ketika itu dan pernah terpilih sebagai wakil Indonesia dalam suatu perjalanan muhibah ke Cekoslovakia, (1954). Akhirnya, Trubus ikut menjadi korban kekejaman pengganyangan terhadap kelompok kiri di tahun 1966. Namun demikian, karya-karyanya yang dikerjakan dengan pendekatan realisme (bukan fotografis) tidak ikut terganyang, sehingga tetap hidup sampai sekarang.
back to top
TULUS WARSITO, Yogyakarta
Perupa Tulus Warsito, lahir di Sragen, Jawa Tengah, 10 Oktober 1953. Belajar seni rupa di Jurusan Seni Patung pada STSRI-ASRI Yogyakarta (1972). Dimasa tuanya mendalami ilmu politik hingga meraih doktor dari Sekolah Pascasarjana , Universitas Gajah Mada, Yogyakarta .
Sampai sekarang telah 11 kali pameran tunggal di Yogya, Solo, Jakarta , hingga di luar negeri: New Heaven (AS) dan Koln (Jerman). Adapun untuk pameran bersama di dalam dan di luar negeri sudah seringkali.
Salah satu karyanya Dancing of Water (1996), masuk sepuluh besar, Kompetisi Philip Morris Indonesia Art Award 1996. Setelah itu ia meraih penghargaan Canting Emas dari Taman Budaya Yogyakarta (1990), dan pada tahun 1975 masuk empat besar pada Kompetisi Seni Rupa Museum Seni Universitas Oregon, Medford, Oregon, AS.
back to top
T. SUTANTO, Bandung
Perupa T. Sutanto lahir di Klaten, 2 Mei 1941. Menempuh pendidikan di bagian Seni Rupa ITB, Jurusan Seni Grafis, lulus 1969. Lalu melanjutkan ke luar negeri, di School of Art and Design, Pratt Institute, New York, Amerika Serikat, hingga lulus 1986.
Bahasa garisnya yang lentur, spontan, dan bertenaga, menjadi sumber utama bagi keindahan karya-karya lukisan, grafis maupun karikaturnya. Namun dibalik keluwesan garis yang telah mempribadi tersebut, tak jarang mencubit pikiran dan perasaan kita lewat karikatur-karikaturnya yang menghiasi halaman opini surat kabar berbahasa Inggris terbitan Jakarta , The Jakarta Post.
Sebelum mengikuti Biennale Jakarta 2006, sudah pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta mengikuti Pameran Besar Seni ukis Indonesia IV, tahun 1980, di TIM. Gambarnya masuk dalam 5 Karya Terbaik pilihan juri. Enambelas tahun kemudian (1996) salah satu karyanya yang lain masuk dalam 10 Karya Terbaik, Indonesian Art Award 1996, Yayasan Seni Rupa Indonesia (YSRI)
Selama berkarya dari tahun 1960-an sampai sekarang, Sutanto empat kali pameran tunggal di Chase Manhattan Bank, Jakarta (1976), Galeri Hidayat Bandung (190, 1995), dan Galeri Lontar Jakarta (1996). Selebihnya pameran bersama di dalam dan luar negeri, antara lain Indonesian Artist 1968 - Pameran Keliling Inggris dan Swiss (1969-1969), Biennale of Graphic Art , Llubljana, Yugoslavia (1977-1981), 11 th Asian Art Exhibition : Metropolitan Museum of Manila , Filipina (1996), Pameran Tension & Harmony , Galeri Nadi, Jakarta (2003), dan Pameran Artrologia, Galeri C+, Bandung.
back to top
UGO UNTORO, Yogyakarta
Perupa Ugo Untoro lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, 28 Juni 1970. Belajar seni lukis di Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta , hingga meraih gelar sarjana seni. Setamat kuliah ia memilih bermukim di kota gudeg tersebut.
Salah satu karyanya terpilih sebagai finalis dalam ajang kompetisi Indonesia Art Awards1996 . Menyusul tahun 1998 karyanya masuk lima besar terbaik Philip Morris Indonesia Art Awards an berhak ikut mewakili Indonesia dalam pameran Philip Morris Asean Art Awards di Vietnam pada tahun yang sama.
Perupa yang menekuni medium cat minyak ini, aktif mngadakan pameran tunggal maupun bersama di berbagai kota besar di Indonesia , antara lain Urip Mung Mampir Ngombe, Bentara Budaya Yogyakarta (2002), dan No Body di Gallery Mon DĂ©cor, Jakarta (2003).
Karya-karyanya cenderung bermain simbol-simbol (personal hingga komunal), di atas bidang kanvas yang dibagi-bagi, sehingga menimbulkan tegangan sekaligus daya tarik.
back to top
UMI DAHLAN, Bandung
Pelukis Umi Dahlan lahir di Cirebon , Jawa Barat, 13 Agustus 1942. Tamatan Fakultas Seni Rupa ITB Bandung (1968) ini, memperdalam ilmu seninya di Gerrit Rietveld Kunstacademia, Amsterdam , Nederland (1977). Pameran bersama maupun tunggal, sering ia lakukan di dalam hingga luar negeri, mulai dari Jakarta, Yogyakarta, Palembang, Semarang, Aceh, Cirebon, hingga Singapura, Malaysia, Hong Kong, Taiwan, Jepang, Filipina dan Eropa, AS, Nederland, dan Afrika Selatan.
Mantan pengajar Seni Rupa ITB Bandung ini, mendapat penghargaan yang pernah diterima antara lain Wendy Sorensen Award (1969), dan BKOW (1981).
Karya-karyanya cenderung non-figuratif. Melalui perenungan yang panjang, makan perwujudan alam nyata sudah tidak lagi merupakan kebutuhan batinnya. Ia lebih mementingkan pendekatan intuitif yang didasari pengalaman religius. Lebih-lebih karyanya pasca haji, bobot religiusnya semakin terasa.
back to top
V.A. SUDIRO, Yogyakarta
Pelukis V.A. Sudiro lahir di Yogyakarta , 22 Desember 1939. Belajar seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta . Selain melukis dengan cat minyak diatas kanvas, ia juga dikenal sebagai pelukis batik. Hingga kini masih aktif melukis. Lukisan realisnya yang termasuk karya baru bertajuk Eyang Ismoyo (2004) ikut dipajang dalam Pameran Seni Rupa Membaca Dunia Widayat , di Museum H Widayat, Magelang, 2004. Karya-karya sebelumnya ada juga yang bercitra surealistik.
Sudiro sudah sejak tahun 1960, aktif mengadakan pameran lukisan bersama di Yogyakarta , Surabaya , Jakarta , Bandung , hingga luar negeri. Di antaranya Pameran Seni Lukis Indonesia 72 di TIM (1972); Pameran Festival Contemporary/Asian Art Show di Fukuoka, Jepang (1980); Pameran Trienale I di bali (1987), Pameran Biennale Seni Lukis Yogyakarta (I/1988, II/1989); Pameran Seni Rupa Masa Kini Non Blok di Jakarta (1995), dan Pameran keliling ASEAN 1992. Pameran tunggalnya berlangsung di Jakarta tahun 1982 dan 1984.
Pada tahun 1970-an ia getol pameran lukisan batik, diantaranya dalam Pameran Batik Painting di Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, Roma (Itali), Belanda, Austria, Singapura dan Perancis (1970), dan Pameran Besar Seni Lukis Batik di Museum Affandi Yogyakarta (1974).
back to top
WAHDI S, Bandung
Pelukis Wahdi Sumanta, lahir di Bandung , Jawa Barat, Oktober 1917. Sejak duduk di bangku kelas tiga H.I.S ia sudah mulai gemar menggambar. Setamat H.I. S. mendapat bimbingan dari pelukis Abdullah Soeriosoebroto. Kegemarannya melukis semakin menggelora setelah bergabung dengan Kelompok Lima Bandung Angkatan 1935, yang di dalamnya beranggotan Affandi, Barli, Sudarso, Hendra Gunawan dan dia sendiri. Di dalam kelompok itu mereka sering melukis bersama dan saling bertukar pandangan maupun pengalaman.
Pelukis yang terkenal jagoan menggambar pemandangan ini, tahun 1936 menggelar pameran bersama Abdullah (gurunya) dan Sukardji, kemudian tahun 1949-1950 ia mengikuti pameran antar ‘Sint Lucas Gilde' di Bandung. Sambil terus melukis, ia mengajar di Sekolah Dasar di Bandung, lalu menjadi pengusaha mebel (1954-1960).
Pameran tunggal pertama di TIM tahun 1954. Kemudian diundang mengikuti Pameran Besar di TIM (biennale pertama) 1974 yang digelar DKJ. Setelah itu seringkali pameran bersama maupun tunggal di Jakarta dan Bandung .
Seperti penampilannya dia sehari-hari yang santun dan lembut, karya-karya pelukis berewokan ini, khususnya pemandangan gunung di Jawa Barat, cenderung tenang dan puitis.
back to top
WAKIDI, Sumatra Barat
Pelukis dan guru Wakidi, lahir di Palembang , Sumatra Selatan, tahun 1889, dan meninggal dunia pada tahun 1979. Semasa muda ia bekerja di ladang minyak Plaju, Sumatra .
Dia dikenal sangat piawai sebagai pelukis pemandangan, apalagi temanya tentang Minangkabau, Sumatra Barat. Disamping melukis, ia mengajar di Sekolah Kayutanam, Sumatra Barat, di antara muridnya adalah almarhum Jendral (purn) TNI AH Nasution dan mantan Wakil Presiden (pertama) Mohammad Hatta. Selain itu ia juga sebagai guru bagi banyak pelukis yang kini menjadi tokoh-tokoh seni rupa modern Indonesia .
Dua diantara lukisan terbaiknya menjadi koleksi mantan Wakil Presiden Adam Malik, masing-masing berjudul Pekerja Wanita dan Danau , yang digarap dengan media cat minyak diatas kanvas. Sebuah lukisan Danau menjadi koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik, DKI Jakarta. Adapun karya-karyanya yang lain, kini sering muncul pada kegiatan lelang lukisan di Jakarta muapun di luar negeri
back to top
WIDAYAT, Magelang
Pelukis Widayat lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, 1922, kemudian menetap di Magelang, sampai akhir hayatnya (2002). Ia termasuk salah satu dedengkot mashab Yogyakarta , yang telah mencapai gaya pribadi yang kuat, yakni dekoratif.
Gaya pribadi Widayat tersebut mempunyai ciri pada deformasi bentuk-bentuknya yang bersumber pada citra seni primitif. Di antara tema yang banyak dilukis, kegairahannya pada dunia flora dan fauna mempunyai kekuatan tersendiri. Imajinsi tema itu berhubungan dengan kenangan Widayat semasa bekerja sebagai pengukur hutan di Sumatra . Lebih dari itu, ia dapat dilihat tengah memberi makna hubungan spiritualnya dengan dunia makrokosmos.
Dengan tekstur yang padat, lukisan-lukisan Widayat terasa mengungkapkan suasana magis. Oleh pengamat asal Filipina, lukisan Widayat disebut sebagai dekoratif magis, yang kemudian popular dengan dekoramagis.
Semasa hidupnya, lulusan ASRI Yogyakarta (1950-1955) selain melukis, juga mengajar di almamaternya, yang sekarang menjadi ISI Yogyakarta. Pernah pula belajar keramik di Jepang. Atas prestasi dan dedikasinya, tahun 1972 diganjar penghargaan Anugerah Seni dari Pemerintah RI . Disusul penghargaan BMKN tahun 1973.
Selama bienal DKJ digelar, ia menjadi peserta sebanyak 6 kali; salah satu diantaranya tahun 1974 karyanya menjadi pemenang. Sebuah Museum Widayat di Magelang kini menjadi saksi perjalanan hidupnya.
back to top
YANI MARIANI SASTRANEGARA, Jakarta
Pematung Yani Mariani Sastranegara itu lahir pada tanggal 17 Agustus 1955, atau 10 tahun setelah Indonesia merdeka. Belajar seni patung di Jurusan Seni Rupa LPKJ-IKJ (1981).
Selain membuat patung-patung tunggal, anggota Asosiasi Pematung Indonesia (API) ini juga banya membuat instalasi. Karyanya instalasinya yang spektakuler digantung selama sebulan diatas langit-langit Plaza Senayan, salah satu mal terbesar di Jakarta. Karya berjudul Sinergi Kehidupan itu seberat 3,25 ton.
Dalam berkarya, Yani tidak fanatik pada pemakaian satu bahan saja, melainkan menggunakan pelbagai material: selain batu, ada polyressin filler, pewter (timah putih), tanah, pasir batu bintang, daun-daun kering, tali, api, air, hingga rekaman video. Pameran tunggalnya bertajuk Endless, di galeri Lontar, 2003, sebagai upaya membaca orde alam.
Ia termasuk salah satu perempuan pematung yang kini berada di barisan depan. Aktivitas pameran bersama yang mencapai belasan kali dalam setahun itu, berlangsung di Jakarta, Bandung, Magelang, Malang, Yogyakarta, Bali, hingga China dan Itali. Antara lain Pameran Seni patung Kontemporer Indonesia- Trienalle Jakarta II di TIM (1998), Pameran Perempuan JakArt 2001,Bentara Budaya Jakarta (2001), Pameran Patung API, Galeri Nasional Indonesia Jakarta (2001), Pameran Seni Patung @eg,com, Edwins Gallery Jakarta (2003), Pameran CP Open Biennale di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2003), Karya Instalasi Ruang Sinergi Kehidupan, Plaza Senayan Jakarta (2003). Tahun 2005 mengikuti Bienalle 51, Venezia, Itali dan Biennale II Beijing, China.
back to top
YANUAR ERNAWATI, Yogyakarta
Pelukis Yanuar Ernawati, lahir di Padang , Sumatra Barat, 11 januari 1959. Lulusan Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia (ISI), sejak 1984 aktif melakukan pameran di dalam dan di luar negeri.
Hingga sekarang telah melakukan 9 kali pameran tunggal di Yogyakarta , Bali , hingga Cemara 6 Gallery Jakarta. Sedangkan untuk pameran bersamanya antara lain di Nomuera gallery, Sinjuku Building, Tokyo,Jepang; Kedutaan dan Press Club, Paris, Perancis; Kedutaan dan Press Club,Brussel,Belgia; Bentara Budaya Jakarta; Cemeti Modern Art Gallery Yogyakarta; Toronto International Art Fair; Biennale 1984 TIM Jakarta.
Semasa kuliah mendapat penghargaan Sketsa Terbaik, hingga seni lukis terbaik pada Dies Natalis ISI Yogyakarta dan Penampilan karya pilihan dari Dewan Kesenian Yogyakarta (1989).
back to top
YAYAK ISKRA YATMAKA, Jerman
Pelukis Yayak “Kencrit” Iskra Yatmana, lahir di Yogyakarta , 1956. Belajar di Fakultas Senirupa dan Disain ITB, Jurusan Disain Grafis, 1977. Sejak 1992, tinggal di Cologne , Jerman; setelah lolos dari pengejaran aparat keamanan Rezim Orde Baru.
Pendiri Kelompok Wulung, Koeln, Jerman (1993) dan Anggota Figuration Critique, Paris, Perancis (1998) ini, aktif pameran tunggal Anak Bumi Selatan di Bilderschreck, Koeln (1994), yang kelak dipamerkan di Surabaya (2003). Pameran Karikatur Politik dan Gambar, di Evangelische Akademi Iserlohn, Hamburg, Amsterdam, Zurich, Koeln, hingga Institut und Sammlung fuer Voelkerkunde Universitaet Gottingen dan Universitaet Humbold, Berlin (1992-1995). Selain itu juga melakukan aksi gambar di berbagai kota di Eropa (1992-1998).
Tahun 2004, ia pameran tunggal Semua Orang itu Guru, Semua Tempat itu Sekolah, di TIM. Pameran itu sekaligus reuni dengan para rekan dan aktivis yang berpisah sejak bersembunyi di Jerman.
back to top
YUSUF AFFENDI JALARI, Bandung
Perupa Yusuf Affendi Jalari, lahir di Jakarta , tanggal 5 Agustus 1936. Lulusan bagian Arsitektur dan Seni Rupa ITB Bandung (1961), Rochester Institute of Tecknology, School of Art and Design, Rochester New York, USA (1971). Selain pelukis, ia dikenal sebagai seniman tapestry, peneliti, penulis buku, dan dosen.
Aktif pameran sejak 1960-an sampai sekarang, baik di dalam maupun di luar negeri, antara lain di Jakarta, Bandung , Surabaya , Bangkok , Manila , Kuala Lumpur , Singapura, hingga Inggris. Guru Besar Ilmu Seni Rupa dan Desain pada Fakultas Seni Rupa ITB yang kini bertugas di Trisakti Jakarta , meneliti dan menulis buku tentang susunan warna di daerah Indonesia , tenun ikat, hingga tekstil non tentu Indonesia .
Mengantongi sejumlah penghargaan dari dalam dan luar negeri, antara lain Upakarti dari Presiden RI (1990), Satyalencana Pengabdian dari Pemerintah RI/ Rektor ITB (1986), Penghargaan dibidang kebudayaan dari Gubernur Jawa Barat (1985). Selain itu penghargaan seni/kebudayaan dari Pemerintah Australia , Guest Lecturer,Craft Centre, Darwin (1981) dan Fellowship JD Rockeffeler The 3 rd New York , USA (1968).
back to top
Y. EKA SUPRIHADI, Yogyakarta
Pelukis dan pegrafis Y. Eka Suprihadi lahir di Yogyakarta, 22 Oktober 1943. Menempuh pendidikan seni rupa di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta , lalu melanjutkan ke Kyoto University of The Art, Jepang.
Pameran yang pernah diikuti antara lain International Print Bienalle Taipei, Taiwan; Pameran Seni Lukis dan Fotografi ASEAN di Kuala Lumpur; Bienalle Seni Lukis Yogyakarta; Bienalle Seni Lukis Indonesia di Jakarta; Bienalle Seni Grafis Indonesia di Bandung; International Exhibition of Print in Seoul, Korea Selatan; Pameran Lomba Lukis Negara-negara ASEAN; Pameran kompetisi seni lukis Indonesia Art Awards 1995, 1996, 1997, 1998, 1999; dan Pameran di Museum Widayat.
Salah satu lukisannya mendapat penghargaan masuk dalam 5 Karya Terbaik Lomba Seni Lukis 1995. Dua tahun kemudian, karya grafisnya memperoleh penghargaan sebagai Karya Seni Grafis 1997, dari Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia .
back to top
ZAINI, Jakarta
Pelukis Zaini (1924-1977) kelahiran Pariaman, Sumatra Barat, tahun 1934 belajar melukis pada Wakidi ketika sekolah di Indonesisch Nationale School (INS) Kayutanam Sumatra Barat. Lalu 1943 belajar teknis kepada maestro Basuki Abdullah di Jakarta.
Dalam jajaran perupa di Tanah Air , ia terkenal dengan lukisan bernuansa lembut dengan bahasa abstraksi liris, yang mulai dirintisnya sejak tahun 1950.
Senafas dengan karya OE semenjak di SIM Yogyakarta , telah menuju pada penyederhaan bentuk yang naif. Tahun 1949, keluar dari SIM yang semakin kuat pengaruh paradigma “kerakyatan revolusioner” yang berhaluan kiri. Lalu pindah ke Jakarta dan mulai mengembangkan karya-karyanya dengan media pastel yang menghasilkan garis dan warna lembut.
Dengan proses panjang, eksplorasi teknik dengan pencarian bentuk lewat goresan spontan dan lembut menghadirkan obyek-obyek yang impresif. Obyek-obyek itu menghasilkan sosok kabur dengan ekspresi kesunyian yang kuat.
Karya-karya periode selanjutnya dengan obyek-obyek seperti perahu, bunga, burung mati, terasa sebagai tanggapan personal tentang kerinduan, kesunyian, kehampaan bahkan kematian.
Tahun 1970 Zaini mencapai puncak pencapaian abstraksi dan sprititualisasi objek-objek, pada saat ia menghadirkan suasana puitis dalam karya-karyanya dengan medium cat minyak dan akrilik
Pelukis yang semasa hidupnya aktif pameran di dalam dan luar negeri ini, pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Periode 1969-1977. Karya-karyanya banyak dikoleksi kolektor perorangan maupun instansi, di antaranya Galeri Nasional Indonesia dan Dewan Kesenian Jakarta.
S o u r c e : B I E N N A L E J A K A R T A
179 Pengurutan Nama di bawah ini berdasarkan Abjad
ABAS ALIBASYAH, Jakarta
Pelukis Abas Alibasyah, lahir di Purwakarta, Jawa Barat, tahun 1928. Pada masa Jepang ia belajar melukis di Keimin Bunka Shidoso di bawah asuhan Barli dan Hendra Gunawan. Setelah lulus dari ASRI (1955), ia mengajar di almamaternya dan menjadi Ketua Departemen Seni Rupa (1962). Setelah berhasil mengadakan reorganisasi ASRI menjadi Sekolah Tinggi , ia dipilih menjadi Ketua STSRI “ASRI” Yogyakarta . Tahun 1971 diangkat menjadi Sekretaris Direktorat Jendral Kebudayaan.
Pemerima Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1984) ini,
dalam menghadapi terpaan budaya Barat yang terbungkus dalam euforia modernisme pada akhir 1960-an sampai awal 1970-an, menerapkan pola dasar geometrik dalam mengabstraksi obyek-obyek. Dengan terus menggali perbendaharaan visual tradisi, di antaranya patung-patung etnis Nusantara, sebagai perwujudan konkrit dalam proses pergulatan mempertahankan nilai-nilai indegeneous. Sampai kemudian berhasil mencapai gaya pribadinya yang khas dan “mengindonesia” sampai sekarang.
Ketika DKJ menggelar biennale pertama 1974 bertajuk Pameran Besar Seni Lukis Indonesia, dan Abas menjadi salah satu pemenangnya, mendapat ‘kado' Desember Hitam, dari Hardi dan kawan-kawannya yang ketika itu menjadi mahasiswanya. Tak lama kemudian para mahasiswa kritis itu dikenai sangsi sekores (kelak bersama beberapa mahasiswa ITB dan IKJ, mereka mengibarkan bendera Gerakan Seni Rupa Baru).
Pelukis yang banyak bereksperimen dengan media batik dalam seni lukis modern Indonesia ini, aktif pameran di dalam dan di luar negeri.
back to top
ABDUL KHOLIM, Yogyakarta
back to top
AD PIROUS, Bandung
Pelukis dengan nama lengkap Abdul Djalil Pirous, lahir di Meulaboh, Aceh, 11 Maret 1933. Setelah lulus dari Departemen Seni Rupa ITB (1964), setahun kemudian mengajar di almamaternya hingga pensiun. Tahun 1969-1970 belajar graphic design dan printmaking pada The School of Art and Design, Rechester Insitute of Technology, AS. Tahun 1971 bersama beberapa teman membentuk jurusan Desain Grafis, Departemen Seni Rupa ITB. Setahun kemudian mendirikan grup Decenta yang bergerak di bidang desain dan seni. Aktif ikut pameran didalam dan diluar negeri.
Setelah meninggalkan gaya gurunya Ries Mulder, Pirous yang pernah menjadi anggota Komisi Nasional Indonesia untuk International Assosiation of Art (IAA), berhasil menemukan ciri khasnya sendiri, yakni karyanya yang bernafas spiritual islami. Pengungkapannya dalam lukisan lewat konstruksi struktur bidang-bidang dengan latar belakang warna yang memancarkan karakter imajinatif.
Dengan prinsip penyusunan itu, perupa ini sangat kuat sensibilitasnya terhadap komposisi dan pemahaman yang dalam berbagai karakter warna. Nafas spiritual suatu ketika muncul dalam imaji warna yang terang, saat yang lain bisa dalam kekayaan warna yang menggetarkan.
Sentuhan ragam hias etnik Aceh, yang memuat ornamen-ornamen atau motif Buraq juga memberi nafas sosiokultural yang islami dalam lukisannya. Sebagai puncak kunci nafas spiritual itu adalah aksentuasi kaligrafi yang melafaskan ayat-ayat suci Alquran.
Sebanyak 7 kali ia mengikuti biennale yang digelar DKJ : 1974, 1976, 1978, 1984, 1989, 1998 dan 2006. Dua kali diantaranya, yakni 1974 dan 1976, menerima penghargaan dari ajang biennale yang diberi nama Biennale Lukisan Indonesia .
back to top
AFFANDI, Yogyakarta
Maestro Affandi lahir di Cirebon , Jawa Barat tahun 1907, dan wafat di Yogyakarta , tahun 1990. Popularitasnya mencuat sejak zaman Jepang hingga tahun 1980-an, dan sampai sekarangpun masih tetap diperhitungkan sebagai salah satu aset penting seni rupa modern Indonesia .
Sebelum terjun penuh menjadi pelukis, tahun 1930-an -- dengan bekal pendidikan MULO dan AMS (tidak tamat) -- ia pernah menjadi guru, yang kemudian mempertemukannya dengan Maryati, seorang murid yang kemudian dipersuntingnya (1933). Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, hijrah ke Jakarta , terus ke Yogyakarta sampai akhir hayatnya. Tahun 1942-1949 aktif dalam organisasi seni lukis, baik di Yogya dengan Himpunan Pelukis Masyarakat dan Himpunan Pelukis Rakyat, maupun di Jakarta dengan Gabungan Pelukis Indonesia .
Setelah Pemulihan Kedaulatan, untuk pertama kalinya ia melawat keluar negeri dengan biaya sendiri. Atas bantuan pemerintah India , ia pameran keliling di 5 kota besar negeri itu. Sejak itu ia malang melintang ikut pameran bersama di Asia , Eropa, hingga Amerika Serikat. Tidak ketinggalan di Indonesia sendiri ia juga aktif pameran tunggal maupun bersama; termasuk ikut bienal yang diselenggarakan DKJ ( 1980, 1982, dan 2006).
Tahun 1969 Affandi menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI dan diangkat sebagai anggota seumur hidup Akademi Jakarta. Tahun 1974, memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari University of Singapura. Empat tahun kemudian mendapat Bintang Jasa Utama dari Presiden Soeharto.
Para pengamat menengarai Affandi, mulai berkarya dengan corak realis, kemudian berkembang kearah impresionis dan ekspresionis. Meski dalam sebuah wawancara ia mengaku seorang realis-naturalis. Tapi terlepas dari itu, karyanya adalah ekspresi empati pada penderitaan, tidak hanya manusia, binatang, tapi juga penderitaan benda-benda, sehingga menjadikan dirinya seorang humanis. Teknik plotot langsung dari tube cat dan usapan tangannya yang liar pada kanvas, menghasilkan gaya pribadi yang banyak diikuti pelukis sesudahnya.
Matahari, tangan dan kaki merupakan simbol kehidupannya. Matahari merupakan manifestasi dari semangat hidup. Tangan menunjukkan sikap yang keras dalam berkarya dan merealisir segala idenya. Kaki merupakan ungkapan simbolik dan motivasi untuk terus melangkah maju dalam menjalani kehidupan. Kalau dicermati, simbol-simbol itu merupakan kristalisasi dari pengalaman dan sikap hidup Affandi maupun proses perjalanan keseniannya yang keras dan panjang.
back to top
AGUS DJAJA, Jakarta
Pelukis Agus Djaja lahir di Banten, Jawa Barat, tanggal 1 April 1913 , wafat 1933. Belajar seni rupa di Akademi Seni Rupa Amsterdam . Ia ikut mendirikan Perhimpunan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persagi), dan sempat menjadi ketuanya (1937-1942). Namun entah mengapa, kalau orang bicara Persagi, yang teringat lebih dulu adalah S Soedjojono , sang juru bicaranya.
Agus Djaja juga pernah memimpin bagian seni-budaya organisasi bentukan pemerintah pendudukan Jepang, Poetera (1942-1945). Karya-karyanya pernah dipamerkan di TIM, Museum Pusat Jakarta, Stedelijk Museum Amsterdam, Sao Paolo Museum Brazil , dan lain-lain.
Seperti pelukis seangkatannya, karya-karya kakak pelukis Otto Djaja ini, berusaha menangkap semangat hidup rakyat Indonesia dalam berbagai peristiwa sehari-hari. Namun setelah hijrah ke Bali, dan tidak berada ditengah-tengah arus percaturan seni rupa modern di Tanah Air , ia banyak melukis tema-tema ‘ Bali ' yang umum diminati turis asing.
back to top
AGOES JOLLY, Jakarta
Perupa, penari dan pekerja teater Agoes Jolly lahir di Kediri , Jawa Timur, 17 Agustus 1959 , dengan nama lengkap Agoes Hari Rahardjo SA. Setelah belajar seni rupa di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSAR) Yogyakarta, tahun 1976-1980, ia belajar sambil bekerja di Studio Monumen Eddy Sunarso Yogyakarta tahun 1979-1980. Kemudian memperdalam pengetahuan seni rupanya di LPKJ/ IKJ, jurusan seni patung, tahun 1981-1986.
Agoes yang memulai kegiatan pameran seni rupanya tahun 1972 sampai sekarang, di Jakarta, Surakarta, Bali, Bandung, Yogyakarta, hingga Perth (Australia), dengan kecenderungan terakhir lebih banyak menggarap seni rupa kontemporer, dalam bentuk instalasi dan seni rupa pertunjukan. Pernah mengikuti program tukar kebudayaan Asia dan Eropa Summit , di Inggris, 1998.
Di bidang teater, dia sempat melawat ke India dan New York USA , tahun 1990 bersama Sardono W.Kusumo. Tahun 1992 menjadi staf ahli artistik pada pementasan Opera Tiga Dewa Teater Koma.
Pengalaman pada tari dan teater berpengaruh besar pada karya seni rupanya. Maka kemudian ia memilih seni rupa pertunjukan sebagai ideom berkeseniannya.
Menerima penghargaan Piagam Perunggu ‘Sankar' dari Shantiniketan India , ketika memenangkan lomba lukis anak-anak se dunia. Selain itu menerima Penghargaan Pratitha Adhi Karya untuk bidang sketsa, kolase dan patung, semasa SSRI. Pada Festival Teater Jakarta tahun 1993 ia meraih Penata Artistik Terbaik.
back to top
AGUS KAMAL, Yogyakarta
Pelukis Agus Kamal lahir di Pemalang, Jawa Tengah, tanggal 31 Juli 1956. Lulusan FSRD-ISI Yogyakarta, tahun 1986. Dalam peta seni lukis kontemporer Indonesia , karyanya dimasukkan dalam barisan ‘surealisme Yogyakarta '. Hasil penelitian Harry Sulastiono, ITB, menunjukkan bahwa Agus Kamal telah melakukan invensi teknik dengan graffito. Sedangkan didalam karya (yang diteliti saat itu) ditemui adanya ide tentang nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan yang berangkat dari permenungannya tentang beberapa peristiwa penting dalam hidup manusia seperti kelahiran dan kematian
Dalam Bienal Jakarta kali ini, ia mengetengahkan hasil permenungannya tentang uang Republik Indonesia (rupiah). Siapapun tahu, nasib “rupiah” senantiasa diombang-ambingkan oleh isu ekonomi, politik, dan sebagainya. Ia sampai kepada simpulan bahwa rupiah bagaikan hati rakyat lemah, yang luluh lantak diiringi ratapan deritanya. “Mudah-mudahan semua ini menggugah kesadaran spiritualitas kita untuk tidak mudah ditenggelamkan oleh isu uang sebagai berhala orang-orang yang mengaku modern,” harapnya.
Permenungan ulang alik antara realitas dan spiritualitas tersebut, mengantarkan karyanya selain punya ciri khas, juga mengumpulkan penghargaan dari berbagai pihak di dalam dan luar negeri. Antara lain Penghargaan Medali Emas dalam Biennale Seni Lukis II Yogyakarta (1990), Penghargaan Karya Terbaik Dies natalis I, ISI Yogyakarta (1985), dan Honourable Mention dalam XIX Prix International D' Art Contemporain de Monte Carlo- Monaco (1985) .
Perupa yang tinggal di Jl. Bantul KM 8, Lapangan Cepit, Pendowoharjo, Sewon, Yogyakarta ini, juga aktif berpameran. Antara lain Binnale Yogya VIII Yogyakarta (2005), Membaca Dunia Widayat di Museum Widayat (2004), Pameran Seni Rupa FKY-VIII di benteng Vredeburg Yogyakarta (2001) dan Pameran Lukisan Foto Realisme Indonesia di Edwin Gallery (2000).
back to top
ACHMAD SADALI, Bandung
Achmad Sadali (1924-1987) kelahiran Garut Wetan, Jawa Barat, adalah salah satu mahasiswa Ries Mulder di Departemen Seni Rupa ITB. Merujuk pada karya Mulder yang dengan proses geometrik sintetik gaya Jacques Villon, karya-karya muridnya cenderung pada bentuk-bentuk geometrik sejenis. Tapi perjalanan waktu dan pergulatan batin terus menerus mengantarkan para murid, termasuk Sadali, menemukan ciri khasnya sendiri.
Setamat ITB , ia melanjutkan belajar seni lukis di luar negeri. Tahun 1956, belajar di Departemen of Fine Arts, State University of Iowa , Iowa City , AS. Tahun 1957 belajar di Art Teachers College, Columbia University, New York, AS dan studi banding ke Belanda atas biaya STICUSA. Studi banding dilanjutkan 1977 ke Australia dan Lahore , Pakistan .
Ia mengajar di almamaternya sejak 1953 dan 1972 diangkat menjadi Guru Besar Tetap dibidang seni rupa. Karya-karya momunentalnya antara lain, dapat dilihat di Gedung DPR/MPR, PUSRI Palembang dan desain Salon Malaysia . Atas prestasi dan pengabdiannya, ia memperoleh Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1972). Dari 7 kali ikut biennale yang digelar DKJ, dua kali ia mendapat penghargaan, yakni pada 1974 dan 1978.
Dengan tanda segitiga, konstruksi piramida, lelehan emas dan guratan kaligrafi Alquran, karya-karya Sadali memancarkan spritualitas islami. Sekaligus memunculkan ekspresi kristalisasi perenungan tentang nilai-nilai religius, misteri dan kefanaan. Sebagai perupa dengan penghayatan muslim yang kuat, menyandarkan kreativitasnya pada Alquran, surat Ali Imron, ayat 190-191, yang intinya manusia dianugerahi tiga potensi, yaitu kemampuan berzikir, berfikir dan beriman untuk menuju ‘menuju ideal dan paripurna' ( Ulul-albab ).
Menurut Sadali, daerah seni adalah daerah zikir, makin canggih zikir manusia, makin peka mata batinnya. Gunungan Emas , merupakan salah satu karyanya yang diingat orang.
back to top
AHMAD SOPANDI, Jakarta
Setia mengolah tradisi, perupa Ahmad Sopandi, yang lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, tanggal 15 Februari 1958, secara konsisten mengangkat ikon, ornament, maupun simbol-simbol yang selama ini menjadi milik suku-suku di nusantara, ke dalam kanvas-kanvasnya. Medium yang digunakannya pun tidak jarang, diambil dari bahan-bahan alami.
Untuk mendapatkan ide-ide karyanya, biasanya ia terjun langsung ke tengah-tengah suku (komunitas) yang bersangkutan. Salah satu diantaranya, ia bertahun-tahun keluar masuk suku Badui, sampai akhirnya pada masa tertentu karyanya banyak mengangkat rajah dan simbol-simbol mistis lainnya.
Setelah menamatkan S1 seni rupa di ISI Yogyakarta (1981), Sopandi mengambil S2 di Universiti Pendidikan Sultan Idris , Malaysia (2002), lalu melanjutkan S3 di kampus yang sama (2005).
Staf pengajar di Universitas Negeri Jakarta (dulu IKIP), sampai sekarang tercatat telah 27 kali pameran tunggal baik dalam maupun luar negeri, dan lebih dari 75 kali pameran bersama; antara lain di Galeri Nasional Indonesia,Jakarta tahun lalu
back to top
ALEX LUTFI RAHMAN, Yogyakarta
Perupa asal Surabaya , Alex Lutfi Rahman, belajar seni rupa di STSRI “ASRI” Yogyakarta . Putra dramawan dan sastrawan Lufi Rahman ini, menjadi staf pengajar di almamaternya, yang kemudian menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta .
Mulai menekuni bidang seni lukis tahun 1979, saat duduk di bangku kuliah, di bawah bimbingan para dosen tekemuka di Indonesia seperti Fadjar Sidik, Widayat, Nyoman Gunarsa, Aming Prayitno, dan lainnya.
Awalnya Alex Lutfi lebih tertarik dengan kualitas serta keindahan barik, sehingga pada kurun waktu satu tahun itu ia mempelajari dan melukis dengan keindahan subject matter texture .
Banyak karya yang dihasilkan lewat studi, terhadap tradisi wayang rumput yang menjadi mainan di kalangan anak-anak dan para petani Jawa; ia pelajari dan ia angkat ke dalam lukisannya. Karya-karyanya tentang wayang rumput ini, kerap ia pamerkan di Yogyakarta, Bandung , Surabaya dan Jakarta , pada kurun 1980-an.
Tahun 1995, lukisan Alex berubah secara teknik, perupaan, tema hingga obyeknya. Fenomena sosial politik yang semakin keras, kasar, dan vulgar, pada masa mendorong karya-karyanya menjadi sarkastik, lewat tema babi berdasi.
Peraih penghargaan Pratisara Affandi Adi karya 1982,1983, karya-karyanya kini cenderung membidik berbagai peristiwa serta kejadian pada masa Orde Baru, pasca Orde Baru, dan proses reformasi hingga saat ini.
back to top
ALFI, Yogyakarta
Perupa Jumaldi Alfi lahir di Lintau, Sumatra Barat, tanggal 19 Juli 1973. Belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta . Kini tinggal di Kasihan, Bantul, DIY.
Pameran tunggalnya antara lain Re-Konstruksi ,[AIKON], Yogyakarta (1998); Alfi-lukis , Galeri Lontar, Jakarta (2001); Deru (Noise) , Bentara Budaya Yogyakarta ; Cover!Alfi , CCF, Yogyakarta (2002).
Sedangkan pameran bersamanya yang dimulai sejak 1998 antara lain berlangsung di Yogyakarta, Bandung dan Jakarta . Bersama tiga seniman Sumatra, berpameran di Chouinard Gallery, Hong Kong .
Finalis Indonesia Art Award 2003 ini, pada tahun yang sama dipilih oleh YSRI ikut pameran bertajuk Passion: Etno-Identity di Beijing dan Shanghai , China .
back to top
AMANG RAHMAN JUBAIR, Surabaya
Pelukis Amang Rahman Jubair (1931-2001), lahir di Surabaya , tanggal 21 November 1931 . Mulai tahun 1963 belajar melukis sendiri, kemudian bergabung di Sanggar Kelompok, di Surabaya.
Seniman yang kaya humor ini, tahun 1967 mengasuh Yayasan Pendidikan Kesenian Surabaya. Kemudian pada tahun yang sama, bersama pelukis OH Supono, mendirikan Akademi Seni Rupa (Aksera) Surabaya tahun 1967. Setelah itu, bersama seniman seangkatannya mendirikan Dewan Kesenian Surabaya (DKS) tahun 1971; sebagai dewan kesenian ke dua setelah Dewan Kesenian Jakarta, tahun 1968. Di DKS, tahun 1971 menjabat Sekretaris, disusul tahun 1984 menjabat Ketua. Disela kesibukannya berorganisasi, ia terus melukis dan pameran.
Karya-karya Amang Rahman, pada umumnya cenderung surealistik, dengan menekankan permainan ruang ilusif lewat pengulangan bentuk dan perspektif, sehingga menimbulkan irama dan bentuk-bentuk yang semakin jauh semakin kecil dan memberi kesan tanpa batas.
Gaya surealisme – yang ditekuninya secara otodidak tersebut – disebut oleh sebagian pengamat sebagai monolog dan dialog mistis mengenai pengalaman hidup, harapan dan pandangan hidup. Bagi Amang, melukis adalah sebagian dari ibadah.
Amang yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh pelukis kaligrafi di Indonesia , dan penyair, makin potensial di masa tua. Sering mengikuti pameran pada acara-acara penting di dalam dan di luar negeri. Dari 12 kali biennale yang digelar DKJ, Amang ikut sebanyak 9 kali, sekali diantaranya berhasil mendapat penghargaan.
Lukisannya dikoleksi antara lain Museum Affandi, Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta, Dewan Kesenian Jakarta, Pusat Kesenian Jakarta, Direktorat Jendral Kebudayaan, hingga kolektor-kolektor terkemuka di Indonesia.
back to top
AMING PRAYITNO, Yogyakarta
Pelukis Aming Prayitno lahir di Surakarta , Jawa Tengah, 9 Juni 1943. Lulusan STSRI ‘ASRI' Yogyakarta dan Koninklyk Academie voor Schoon Kunsten , Gent , Belgia. Sejak tahun 1971 hingga sekarang menjadi tenaga pengajar di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta .
Aming termasuk salah satu pelukis yang paling sering diundang untuk mengikuti biennale yang digelar DKJ. Dari 12 kali penyelenggaraan, tercatat 7 kali ikut serta (1974, 1980, 1982, 1984, 1989, 1996, 2006). Dewan Juri biennale I/1974 dengan nama Pameran Besar Seni Lukis Indonesia mensyahkan karya Aming , bersama AD Pirous, Widayat, Irsam dan Abas Alibasyah sebagai karya terbaik, telah memicu munculnya aksi ‘Desember Hitam' .
Dalam debut seni lukisanya yang merentang panjang sejak tahun 1970-an hingga sekarang, ia telah dua kali menggelar pameran tunggal: di Chase Manhattan Bank, Jakarta (1974) dan Galeri Millenium Jakarta (2004).
Selebihnya lebih sering pameran bersama di dalam dan di luar negeri. Antara lain Pameran bersama pelukis muda di Gent, Belgia (1976 ), Contemporary Asian Art Show di Fukuoka , Jepang (1981 dan 1985), Seoul Contemporary Art Show di Korea Selatan (1986), Pameran Biennale Seni Lukis Yogyakarta (1988, 1990, 1992, 1994, dan 1997), Pameran bersama IKAISYO (1990,1993,1996 dan 2000), Pameran KIAS di Amerika Serikat (1990-1991), Asean Art Festival di Yogyakarta (1992), Jenang Gulo Ojo Lali di Museum Affandi Yogyakarta (2003), Pameran Alumni ASRI (2002,2003,2004,2005), Art for Compassion , Rotary For Humanity, Jakarta (2005).
Selain penghargaan Seni Lukis Terbaik Biennale Seni Lukis Indonesia I (1974) dan IV (1980) , juga menerima penghargaan Raden Saleh Prize , untuk seni lukis terbaik Indonesia (1972), dan Seni Lukis Terbaik Biennale Seni Lukis Yogyakarta III (1992) dan IV (1994).
back to top
AMRI YAHYA, Yogyakarta
Pelukis batik dan kaligrafi Amri Yahya (almarhum), lahir di Palembang, Sumatra Selatan, tanggal 29 September 1939, wafat di Yogyakarta 2004.
Belajar seni lukis secara formal di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta (1963), dan IKIP Yogyakarta (1971). Melanjutkan ke Delft , Belanda (1980). Sejak tahun 1960, ia aktif pameran tunggal maupun bersama, di dalam dan luar negeri. Pernah menjadi anggota International Artist Association IAA-UNESCO Paris, dan Koordinator Pameran kaligrafi Mu'tamar Media Massa Islam se-Dunia I.
Lukisan batik dan kaligrafinya, berhasil menemukan ciri khasnya sendiri, sehingga memperkaya khasanah seni rupa di Tanah Air. Ia berpandangan batik adalah media ekspresi ‘khas' Indonesia . Oleh karena itu batik seharusnya mendapat tempat dalam dunia seni rupa terutama ISI, IKJ, ITB dan perguruan tinggi seni lainnya.
back to top
AMRUS NATALSYA, Jakarta
Amrul Natalsya lahir Medan , Sumatra Utara, 21 Oktober 1933. Belajar seni patung di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta . Sebagai pematung ia dikenal sangat kuat dengan medium kayu yang konsisten mengangkat tema-tema kemanusiaan, terutama perjuangan kehidupan masyarakat bawah.
Semangat seperti itu diam-diam tak pernah padam begitu saja di dadanya, meskipun kini rambutnya sudah memutih. Secara formal, semangat itu merupakan visi ideologi dari Sanggar Bumi Tarung (1963-1965) yang pernah dipimpinnya di Yogyakarta . Sanggar / studio ini milik Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Akibat kejatuhan PKI, ia pun ikut dipenjara selama 5 tahun (1968-1973) di Jakarta dan Tangerang. Meskipun demikian ia tidak pernah patah, dan terus berkarya dan pameran di berbagai tempat. Bahkan dengan jatuhnya Orde Baru di tangan reformasi, memberi kesempatan dia terpilih sebagai anggota Akademi Jakarta, yang berlaku seumur hidup.
Sejak tahun 1955 ia telah dikenal lewat karyanya yang monumental berjudul Orang-orang yang Tersita Haknya pada Senjakala . Dalam rentang waktu setengah abad lebih dalam berkarya , Amrus masih tetap mempertahankan teknik deformasi untuk mempetegas ungkapan penderitaan bagi karya-karyanya, juga memperluas tema. Sebutlah dari yang bersifat mitologis sepeti Perahu nenek Moyang sampai masalah-masalah aktual.
Dalam pada itu, secara khusus ia terus menggali “ada apa di balik perkampungan Cina” yang tersebar di berbagai kota di Indonesia . Karyanya tidak hanya menggambarkan tentang keindahan dan romantika bangunannya, tapi Amrus juga empati pada ketegangan, penderitaan dan perjuangan masyarakat Tionghoa; utamanya setelah terjadi peristiwa tragis 1998 dengan etnis Tionghoa sebagai korbannya. Karya-karyanya dihimpun Amir Sidharta dalam buku Chinatown Amrus Natalsya (2004). “Kalau karya seni saya tidak mengungkapkan kebenaran, lantas apa artinya seni?” ujarnya dalam buku itu.
back to top
ANUSAPATI, Yogyakarta
Pematung Anusapati lahir di Solo, Jawa Tengah, 29 September 1957 . Lulusan STSRI-ASRI Yogyakarta ini memperdalam seni rupanya di Praat Institute Brooklyn, New York , AS. Kini menjadi staf pengajar di ISI Yogyakarta .
Pada masa studinya di AS, ia bekerja sebagai pematung dan mendapat kesempatan mengikuti beberapa pameran di sana . Diantaranya di Praat Manhattan Gallery , New York dan Higgins Gallery, Broklyn , AS.
Patung-patung Anusapati memperlihatkan sentuhan minim dan sederhana. Materi kayu, biji-bijian, jerami – dan teknik pengolahannya – bersama-sama memperlihatkan citra teknologi sederhana seperti yang digunakan di lingkungan “seni rupa bawah” (meminjam istilah kritikus Sanento Yuliman almarhum). Terkadang bentuk patungnya juga memperlihatkan bentuk barang sehari-hari yang bisa digunakan di lingkungan pedesaan. Pendek kata, Anusapati dalam berkatya tidak mempersoalkan pengolahan bentuk.
Anggota pengurus Yayasan Seni Rupa Indonesia (YSRI) ini, aktif mengikuti pameran maupun triennale di dalam dan di luar negeri, antara lain di Yogyakarta, Jakarta (TIM, Galeri Nasional), New Delhi, Johannesburg (Afrika Selatan), Brisbane dan Perth (Australia), Cologne (Jerman), dan Singapura.
Tahun 1998, dalam Triennale II: Pameran Seni Patung Kontemporer Indonesia , yang digelar DKJ di TIM, karyanya mendapat penghargaan sebagai satu diantara tiga terbaik.
back to top
ARFIAL ARSAD HAKIM, Surakarta
Perupa Arfial Arsad Hakim lahir di Medan , 11 Juli 1950. Dosen dosen seni rupa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Seperti penampilan sehari-harinya, lukisan-lukisan pemandangan alam Arfial, tersaji dengan susunan bidang-bidang warna lembut, teduh, dan adem . Di tangan dia kehidupan begitu tentram dan damai, mak nyes, begitulah kata orang Solo.
Arfial, jangan salah Afrial, mula-mula belajar melukis di Sanggar Sekar Gunung, Medan (1968-1969). Selepas belajar di Jurusan Sipil, Fakultas Teknik UNSRI Palembang (1970-1971), ia merantau ke Jawa, menimba ilmu seni rupa di ITB (1972-1978). Sejak 1981 menetap di Solo, mengajar seni rupa di UNS. Pernah menjadi Ketua Program Studi/Jurusan Seni Rupa Murni di FSSR-UNS. Tahun 1984-1988 ia mengikuti program Magister Seni Rupa di FSRD- ITB, hingga meraih gelar Magister Seni.
Sambil mengajar, ia tetap melukis dan pameran di Solo, Jakarta , Bandung , Bali hingga di luar negeri sebanyak 80 kali. Diantarnya, Pameran Biennale Pelukis Muda Indonesia di TIM (1977, 1979), Pameran Biennale Seni Lukis Indonesia di TIM (1981, 1987 ), Pameran Pendidik Seni Rupa se Indonesia di Jakarta (1981 Pameran Keliling ASEAN (1991), Pameran Festival Istiqlal I Jakarta (1991), Pameran JADEX '92 di Jakarta Design Center (1992), Pameran bersama di Maybank Kuala Lumpur, Malaysia (1996), Pameran Seni Rupa Modern Nusantara di Galeri Nasional Jakarta (2001), Pameran Pelukis Surakarta di TBS,Solo (2003), Pameran Pesona Indonesia di Brunei Darussalam (2004) dan Pameran Solo dalam Sketsa di Balai Soedjatmoko, Solo (2005).
Penghargaan yang pernah diterima antara lain Pemenang III disain Monumen Martha Christina Tiahohu di Ambon, dan Finalis Kompetisi Seni Lukis Yayasan Seni Rupa Indonesia – Philip Morris (1997).
back to top
AS. KURNIA, Bali
Pelukis AS Kurnia lahir di Semarang, Jawa Tengah, tanggal 31 Juli 1960. Kini menetap dan berkarya di Ubud, Bali . Selain berkarya, ia termasuk rajin mengikuti kompetisi seni lukis di dalam negeri. Salah satu karyanya berjudul Alienasi, 2003 , yang digarap dengan media campuran, masuk dalam jajaran Kompetisi Nasional Karya Seni Rupa 2 Dimensi Philip Morris Indonesia Art Award 2003.
Ia aktif menggelar pameran bersama sejak 1979, yang dimulai dari kampong halamannya Semarang, lalu merambah ke Yogyakarta, Surakarta, hingga Surabaya, Magelang, Bali, Bandung, Jakarta, Singapura dan Belanda.
Di antaranya adalah pameran SAMA-SAMA, Oosterpoort, Groningen, The Nederlands; Seni Rupa Dua Angkatan di TIM; Biennale X Jakarta 1996 di TIM; YSRI-Philip Morris Indonesia Art Award 1999 di Jakarta; The Asian International Art Fair Singapura; CP Open Bienniale , Galeri Nasional 2003; Aku, Chairil, Aku Galeri Nadi Jakarta; dan pameran ilustrasi cerpen Kompas keliling Jakarta, Yogya, Malang, Bandung dan Denpasar.
Selama 17 belas tahun belakangan ini, Kurnia sudah 10 kali menggelar pameran tunggal di Yogya, Bali dan Jakarta . Khusus tahun 1989 ia mendapat penghargaan pemenang pertama kompetisi perlukis muda Indonesia .
back to top
ASRI NUGROHO PAKURIMBA, Surabaya
Pelukis Asri Nugroho Pakurimba lahir si Surabaya , 1952. Meski namanya pakai Asri, seperti nama perguruan tinggi seni di Yogya , ia seorang pelukis otodidak. Pendidikan formalnya SMA. Pernah dibimbing pelukis Bambang Sugeng dan OH Soepono. Selain itu lewat pergaulannya dengan sesama seniman Surabaya , Asri mendapat kesempatan belajar. Sebelum terjun sepenuhnya jadi pelukis, Asri bekerja sebagai pelukis poster film.
Pergulatan estetiknya kemudian mengantarkan Asri mencapai tema sosial yang dikaitkan dengan masalah ketuhanan dan pengalaman pribadi yang religius, yang dituangkan dalam perlambangan serba kontradiktif, dengan citra logam yang keras sekaligus lentur.
Asri pernah memenangkan Philip Morris Indonesia Art Award 1994, yang berhak menjadi salah satu wakil Indonesia dalam pameran dan kompetisi Philip Morris Asean Art Award 1994 di Singapura. Di daerahnya ia mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Surabaya (DKS).
Ia telah puluhan kali pameran lukisan di Surabaya , Malang dan Jakarta . Selain tetap menjadi pelukis, Asri beberapa tahun belakangan ini mengelola Galeri Gracia; di kota Surabaya yang belum banyak berdiri galeri seperti Jakarta .
back to top
ASTARI RASJID, Jakarta
Perupa Astari Rasjid, lahir di Jakarta , 26 Maret 1953. Tinggal di New Delhi, India (1957-1959), Rangoon, Burma (1969-1963), dan sejak 1976 sampai sekarang menetap kembali di Jakarta.
Setelah belajar Sastra Inggris di Universitas Indonesia (1973), sekolah fashion design di London,Inggris (1974-1976). Setelah berkecimpung di bidang mode, termasuk mengelola majalah mode, Astari melanjutkan belajar seni lukis di University of Minnesota, AS (1987) dan kursus seni lukis di Royal College of Art,London,Inggris (1988).
Sejak 1995 sampai sekarang aktif pameran bersama maupun tunggal, serta mengikuti berbagai kompetisi seni lukis dan biennale di Jakarta, Bali, New York, Hong Kong, Paris, Beijing, dll.
Sebagai perempuan perupa kontemporer, Astari memiliki kecenderungan kuat selain menjelajah teknik dan medium, juga mengusung tema-tema tradisi Jawa dengan semangat penghormatan sekaligus pertanyaan secara kritis, dalam konteks filosofi, tradisi, kedudukan perempuan, hingga kekuasaan. Lewat ikon dan simbol tradisi Jawa seperti tari Bedoyo, kursi raja, keris, wayang, pakaian adat, jimat dan lain-lain. Untuk itu tak jarang ia sendiri yang menjadi model di atas kanvas, sehingga menawarkan keindahan yang khas.
Dalam setahun (1999) ia menerima penghargaan dari Nokia Indonesia , Philip Morris Indonesia Arts Award, dan Winsor & Newton 's Award.
back to top
AWAN SIMATUPANG, Jakarta
Pematung Awan Parulian Simatupang, lahir di Jakarta , 24 Oktober 1967. Belajar seni patung di Fakultas Seni Rupa- Instutut Kesenian Jakarta (FSR-IKJ). Sejak 1997 turut serta dalam pameran bersama di Jakarta, di antaranya Pameran Alumnus IKJ, Metromini, dan pameran Inspired Image , Pameran EXPLO 92, Pameran T di Wijojo Center, British Council, Jakarta, dan pameran di Edwin Gallery.
Di luar itu, panerima Tempo Award 1991 ini, sering mengikuti berbagai pameran dan workshop di luar negeri. Antara lain pameran dan workshop Partisipasi dengan Anonio Ratti Foundation, Milan , Italia; Workshop Performance Art yang diorganisir seniman kontemporer terkemuka Allan Kaprow, Antonio Ratti Foundation, Como , Italia; Workshp dengan Contemporary Jewelry dengan Wilhem Mattar, Singapura.
Seperti seniman lain, Awan juga mengerjakan proyek di luar karya pribadi. Di antaranya membuat Marlboro Trophy , dan membantu membuat logo Universitas Indonesia , Depok.
back to top
BAMBANG BUJONO, Jakarta
Perupa Bambang Bujono, yang lahir di Surakarta, Jawa Tengah, tahun 1947, dalam perjalanan hidupnya lebih dikenal sebagai salah seorang kritikus seni rupa dan wartawan.
Selama kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) tahun 1967-1968, tinggal di rumah Fadjar Sidik , perupa dan dosennya waktu itu. Tahun 1974, pameran berdua dengan Muryotohartoyo di Balai Budaya Jakarta .
Bambang menulis tentang seni rupa pada tahun 1970 di berbagai media di ibukota. Pindah dari Solo ke Jakarta , ia bekerja di majalah sastra Horison (1973-1978), menangani tata letak, kronik kebudayaan, dan lain-lain. Menjadi wartawan Tempo (1978-1994). Sebelum memimpin majalah D&R (1996-1999) ikut merintis tempointeraktif (1996) sebagai bentuk online majalah Tempo yang dibreidel 1994. Balik ke Tempo (2000-2002), kemudian bergabung dengan majalah bisnis Trust (2002-2005).
back to top
BAGONG KUSSUDIARDJA, Yogyakarta
Seniman serba bisa Bagong Kussudiardja (1928-2004) lahir di Yogyakarta tanggal 9 Oktober 1928. Menempuh pendidikan seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta , di bawah bimbingan Hendra Gunawan, Koesnadi dan Soediardjo.
Semasa hidupnya ia pernah menceritakan proses kreatifnya begini, “ Lukisan-lukisan saya itu tarian saya di atas kanvas, sebaliknya tarian-tarian saya itu lukisan saya di atas panggung.” Jadi tidak mengherankan bila selama hidupnya, ia tidak bosan-bosannya mengangkat tema tarian dalam karya-karyanya, di samping tema tradisi, hingga religiusitas.
Energi kreatif sebagai pelukis, koreografer, peñata musik, pemain film, pendidik ini, berjalan seiring. Energi koreografinya, mampu menciptakan karya-karya tari, yang kemudian berhasil menciptakan gaya tersendiri, dan mewabah ke seluruh penjuru Tanah Air lewat Padepokan Bagong Kussudihardja, yang jejaknya masih terasa hingga kini.
Ia meraih penghargaan untuk karya dan pengabdiannya dibidang seni, antara lain: Medali Emas dari Paus Paulus VI (1973), Satya Lencana Dwija Satya dari Pemerintah RI (1975), Asean Award (1987), dan penghargaan Biennale Seni Lukis Yogyakarta 1988 dan 1992. Dalam biennale yang digelar DKJ sebanyak 12 kali, Bagong diundang sebagai peserta sebanyak 6 kali, termasuk yang sekarang ini.
back to top
BARLI SASMITAWINATA, Bandung
Pelukis Barli Sasmitawinata, lahir di Bandung , Jawa Barat, tanggal 18 Maret 1921. Pada usia belasan tahun sketsa-sketsanya telah digunakan ilustrasi buku-buku sekolah oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal itu mengantarkan dirinya belajar melukis pada pelukis Belanda Jos Pluimentz, dan pelukis Itali Luigi Nobili, dua orang pendidik seni rupa modern di Bandung era 1930-an. Lalu mengembangkan bakat bersama Affandi ke Bali (1940-1942).
Setelah kemerdekaan, atas kerjasama pemerintah Indonesia-Belanda Barli dikirim belajar pada perguruan tinggi seni rupa Belende Kunien Amsterdam (1950). Setelah itu ia belajar lagi di Akademi Grande De La Chuinere Paris (1959)
Salah seorang anggota Kelompok Lima Bandung ini, ikut mendirikan seni rupa IKIP Bandung tahun 1961. Ia termasuk seniman yang percaya pada pendidikan seni rupa. Oleh karena itu juga sudah sejak 1948 Barli mendirikan Sanggar Jiwa Mukti bersama Karnedi dan Sartono. Upaya itu kemudian diteruskan di sanggar Rangga Gempol yang dibentuknya tahun 1956 sepulang dari belajar di Perancis.
Latar belakang pendidikan akademis seni rupa yang diperolehnya dari Belanda dan Perancis, tampak jelas dalam karyanya yang menunjukkan penguasaan teknik menggambar anatomi tubuh manusia secara tepat dan cermat. Berbagai figur orang di pasar hingga di tepi jalan, hingga pemandangan, sering menjadi pokok utama dalam kanvas-kanvasnya.
Karya-karyanya sering dipamerkan mulai dari Bandung , Jakarta , Eropa, Asia , Amerika Serikat hingga Rusia. Jejak perjalanannya terpajang di Museum Barli Bandung , yang didirikan tahun 1992.
Ia menerima penghargaan Satya Lencana Kebudayaan RI , Piagam Penghargaan dari Gubernur Jawa Barat dan Piagam enghargaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
Dalam pameran tunggalnya di Galeri Nasional (2004), memperingati ulang tahunnya ke-83, ia mendapat kado dari istri keduanya, berupa sebuah buku berjudul Kehidupanku Bersama Barli.
back to top
BASOEKI ABDULLAH, Jakarta
R. Basoeki Abdullah (1915-1993) yang lahir di Surakarta , Jawa Tengah, adalah anak pelukis Abdullah Suriosubroto. Ayah-anak itu sama-sama pelukis Mooi Indie . Jika ayahnya lebih dikenal dengan tema pemandangan, maka Basuki Abdullah, walaupun tetap dalam nafas romantisme tetapi mempunyai tema lebih luas.
Terjun ke dunia seni lukis berbekal pendidikan formal, disamping penampilannya yang selalu flamboyan. Ketika usia 18, ia belajar melukis di Academie voor Beeldende Kunsten di DenHaag (1933-1935). Kemudian melanjutkan studi ke Prancis dan Italia. Selain di Indonesia, karyanya pernah dipamerkan di Bangkok , Jepang, Singapura, Belanda, Inggris, Portugis, dan lain-lain. Kolektornya rata-rata para pembesar, di berbagai negara. Meski namanya menjulang keikutsertaannya dalam biennale yang digelar DKJ sejak 1974, ini yang pertama kali.
Pilihan konsep estetis Basuki Abdullah dari mitologi, sosok-sosok tubuh yang telanjang, sosok binatang, potret orang terkenal, perjuangan, ataupun hamparan pemandangan, walaupun semua dibangun dengan dramatisasi, namun semuanya hadir “ lebih indah dari warna aslinya.”
Hal tersebut pernah mendapat kritik tajam dari tokoh Persagi S. Sudjojono, sarat dengan semangat Mooi Indie yang banyak berurusan dengan kecantikan dan keindahan saja. Padahal pada masa itu, bangsa Indonesia sedang menghadapi penjajahan sehingga realitas kehidupannya sangat pahit. Namun kritik Sudjojono ini tidak mampu mematahkan kharisma Basuki Abdullah di tengah-tengah masyarakat luas. Terbukti dengan tetap mengalirnya berbagai penghargaan dari berbagai pihak, termasuk kelompok elite istana dari berbagai negara. Lebih dari itu karyanya sendiri melintasi berbagai masa dan tetap hidup dihati para pengagumnya sampai sekarang. Bahkan dalam setiap lelang lukisan di dalam dan luar negeri, karya Basuki Abdullah ikut serta hadir.
Perseteruannya dengan S.Sudjojono yang berlangsung cukup lama, baru “mencair” setelah pengusaha dan kolektor Ciputra mempertemukannya bersama pelukis Affandi. Kemudian ketiganya saling melukis wajah di atas satu kanvas, yang kemudian menjadi benda sejarah.
Sungguh di luar perkiraan semua orang bila pelukis kondang ini akhirnya harus mati terbunuh di kamar tidurnya oleh kebiadaban seorang pemuda. Pasti bukan sebuah kematian indah apalagi romantis, seperti karya lukisannya. Kini, bekas rumahnya tersebut, yang terletak di kawasan Fatmawati, Cilandak, Jakarta Selatan, dijadikan Museum Basuki Abdullah.
back to top
BASUKI RESOBOWO, Belanda
Pelukis Basuki Resobowo lahir di Palembang , Sumatra Selatan, tahun 1916. Ia salah seorang anggota Persagi. Selama bekerja di pusat kebudayaan Poetera (1942-1945), ia mulai giat melukis dan bekerjasama dengan S Soedjojono , Agus Djaja, Basuki Abdullah. Selain melukis, ia rajin menulis esai untuk berbagai majalah. Ia bahkan pernah menulis naskah film berjudul Tamu Agung.
Karena situasi politik 1965, Basuki meninggalkan Indonesia , pergi ke Belanda, dan menetap di sana sampai pada masa tuanya sekarang ini. Meskipun terpisah dalam jarak waktu yang lama, Basuki masih menunjukkan teknik melukis dengan semangat Persagi.
back to top
BONYONG MUNNY ARDHIE, Surakarta
Perupa Bonyong Munny Ardhie, lahir di Malang , Jawa Timur, tanggal 21 Juni 1946. Termasuk salah satu tokoh Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) tahun 1975-1980, yang ikut menandatangani pernyataan Desember Hitam di TIM (1974). Mendalami seni rupa di STSRI-ASRI Yogyakarta (1968-1980), dan UNS Surakarta (1980-1983). Pengajar seni rupa di STSI Surakarta (1983-2002) ini, pernah aktif menjadi Anggota Dewan Kesenian Yogyakarta (1977-1982).
Sejak tahun 1970 aktif pameran bersama maupun tunggal baik lukisan, instalasi mapun performance art di berbagai kota di Tanah Air, antara lain Jakarta , Yogyakarta, Surabaya , dan Surakarta . Antara lain dalam Pameran GSRB, Pameran Kepribadian Apa, Pameran Nur Gora Rupa 1990 Instalasi , dan pameran Contemporary Art ‘Non Blok di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional Indonesia) Jakarta.
Karya-karyanya menampilkan keragaman media dan teknik, guna mengusung tema-tema kritik sosial. Bagi dia, karya seni bukan hanya suatu jeritan, gugatan ataupun luapan ekspresi. Tapi, lebih dari itu, laksana suatu aksi sosial.
back to top
BATARA LUBIS, Yogyakarta
Pelukis Batara Lubis (1927-1986) lahir di Hutagodang, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, tahun 2 Februari 1927. Ia menempuh pendidikan seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta dibawah bimbingan Affandi, Soedarso, dan Hendra Gunawan.
Tahun 1953, ia menjadi anggota tim pembangunan Tugu Muda Semarang. Tahun 1955 mengerjakan Museum CPM, di Kebon Sirih, Jakarta . Tahun 1976 mengerjakan Mozaik Hotel Ambarukmo. Tahun 1970 mengerjakan mozaik Gedung Kehutanan Banda Aceh. Selain itu, ia sering pameran di dalam dan luar negeri.
Karya lukisnya umumnya menampilkan suasana desa dengan gerobak sapi dan kegiatan orang-orang desa, permainan tradisional, pasar, hingga upacara adat di Sumatera Adat dan di Jawa. Kesemuanya itu ia hadirkan dalam wajah yang dipolakan menyerupai ragam hias, dengan warna-warna kontras, yang selama ini menjadi memori kolektif suku-suku di Tanah Air .
Pendekatan visualnya ini dapat dianggap sebagai upaya awal eksperimentasi corak dekoratif dalam seni lukis modern Indonesia .
back to top
BOYKE, Yogyakarta
Perupa Boyke Aditya, lahir di Pontianak , Kalimantan Barat, 25 Maret 1958. Belajar seni rupa di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI)-ASRI Yogyakarta, hingga meraih sarjana tahun 1985.
Sejak mahasiswa sampai sekarang, seringkali pameran bersama maupun tunggal. Mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, dalam Biennale 1989. Karya-karyanya merupakan komunikasi jiwa, dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari keadaan sekitar, perilaku-perilaku mahluk hidup, dan apa saja yang dialminya secara sadar maupun tidak. Sehingga antara mimpi dan realitas, sering menyatu dalam kanvasnya.
back to top
BUT MOCHTAR, Yogyakarta
Perupa dan pendidik ini nama lengkapnya Broertje Mochtar Soebandi lahir di Bandung, Jawa Barat, 30 Desember 1930, dan meninggal tahun 1996. Pada awalnya belajar seni rupa di ITB, di bawah bimbingan Ries Mulder dan Sumardja. Kemudian belajar di Rhode Island School of Design, Amerika Serikat. Ditambah belajar seni patung pada Jose de Creeft di New York 's Arts Studens League. Sebagai pendidik ia pernah memimpin ISI Yogyakarta. Sejumlah karya seni rupanya dikerjakan dengan pendekatan kubistik. Salah satu karya monumentalnya, patung perunggu di halaman Gedung DPR/MPR RI.
back to top
DANARTO, Jakarta
Seniman Danarto, lahir di Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940. Belajar seni lukis pada Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta (1958-1961). Dalam komunitas seni di Tanah Air , ia dikenal luas sebagai perupa, sastrawan, sutradara teater, peñata artistik film dan teater, dan pengamat seni. Terobosan-terobosan estetik dan tematik baru selalu ia tawarkan dalam hampir tiap bidang seni yang digelutinya.
Dedengkot Sanggar Bambu Yogyakarta ini , pada tahun 1973, mengejutkan publik seni rupa dengan pameran “Kanvas Kosong” di TIM, yang menggabungkan seni lukis, seni patung dan seni arsitektur. Karyanya ini belakangan disadarai banyak orang sebagai seni instalasi; yang pada waktu itu istilah tersebut belum digunakan dunia seni rupa.
Pada dekade yang sama, ia memelopori ‘puisi kongkrit' dan fenomena cerpen sufistik di Indonesia. Buku-bukunya yang telah terbit, antara lain Godlob (1975), Adam Ma'rifat (1982), Berhala (1987), Gergasi (1996), Asmaraloka (1999), dan Setangkai Melati di Sayap Jibril (2000). Karya-karyanya ini meraih penghargaan dari dalam dan luar negeri, antara lain Hadiah Buku Utama, SEA Write Award dari Pemerintah Thailand (1988), dan Profesional Fellowship dari Japan Fondation (190-1991).
Sampai sekarang masih aktif pameran bersama (dalam bentuk lukisan/ drawing) di TIM, Nadi Galery, Galeri Lontar, Taksu Gallery, dan Bentara Budaya. Pameran tunggalnya yang terbaru berlangsung di Kedai Kebun Yogyakarta (2003). Salah satu karyanya menjadi koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik, Jakarta .
Karya-karya drawingnya yang khas itu, kini masih sering muncul menghiasi cerpen-cerpennya sendiri maupun cerpen orang lain yang dimuat di harian terkemuka di Jakarta , maupun dalam buku-buku sastra mutakhir.
back to top
DA Peransi, Jakarta
Perupa DA Peransi (almarhum) lahir di Jakarta , tangal 19 Juni 1938. Belajar melukis otodidak dan pada Dr. J. Verkuyl serta Dr D.C. Mulder. Selain menggeluti dunia seni lukis, pria berpenampilan serius itu, juga aktif di bidang sinematografi dan penulisan. Kedua bidang yang disebut belakangan ini, terkesan lebih menonjol dibanding seni lukisnya. Meski demikian ia cukup aktif mengikuti pameran-pameran lukisan.
back to top
DAN HISMAN, Jakarta
Pelukis H. Dan Hisman Kartakusumah, lahir di Sumedang, Jawa Barat, 7 November 1942 . Belajar di Institut Teknologi Bandung , Jurusan Seni Lukis hingga tamat sarjana. Bekerja di Dinas Kebudayaan Pemprov DKI (1975-2003).
Peraih penghargaan Sorensen ini menggelar pameran tunggal Figur-figur Besi di Balai Budaya,Jakarta (1995), Volumetrik , di Galeri Cipta II TIM (1999), Transformasi Kawat Duri , lukisan dan instalasi, di Galeri Nasional,Jakarta (1999).
Selain itu sering kali ikut pameran bersama antara lain Biennale X, XI, di TIM Jakarta, dan pameran lukisan Contemporary Indonesia Art di The Royal Academy of Art Antwerp, Belgia.
back to top
DEDE ERI SUPRIA, Jakarta
Pelukis Dede Eri Supria lahir di Jakarta , 29 Januari 1956. Ia dikenal sebagai salah satu perintis lukisan realisme fotografi di Tanah Air. Berbekal pendidikan formal di Sekolah Menengah Seni Rupa Indonesia (SSRI). Sebelumnya pernah belajar secara khusus (1971-1975) kepada pelukis Dukut Hendronoto. Pada tahun 1977-1979 pelukis ini tercatat sebagai salah seorang pentolan Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia .
Dengan gaya realisme fotografi yang telah melekat dari dulu hingga kini itu, Dede tak lelah-lelahnya mengangkat potret kehidupan di kota metropolitan, khususnya pekerja pabrik, buruh kasar, kuli bangunan hingga badut jalanan. Sehingga mencuatkan suasana kontradiktif metropolitan, antara pembangunan dan kemiskinan, konsumerisme dan kefakiran, antara senyuman dan tangis.
Selain pameran di TIM, Galeri Nasional dan di berbagai tempat di kota-kota besar di Indonesia , pelukis pendiam ini pernah menggelar pameran tunggal di Jepang dan Eropa. Termasuk mengikuti Trienniale of Contemporary Art di Brisbane , Australia .
Ia meraih sejumlah penghargaan dari dalam dan luar negeri. Antara lain General Award for The Art dari The Society for American Indonesia Frienship Inc (1978). The International Visitor's Program dari United States Information Service (USIS). Penghargaan Adam Malik (1986) dan Affandi Award (1993).
back to top
DJOKO PEKIK, Yogyakarta
Pelukis Djoko Pekik, lahir di Puwodadi, Grobogan, Jawa Tengah, 2 Januari 1938. Belajar seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta (1958-1962).
Seringkali pameran bersama maupun tunggal. Antara lain di Magelang, Yogyakarta, Bali dan Jakarta . Dan karya-karyanya selalu nangkring di balai-balai lelang, dan dinding-dinding galeri dan kolektor.
Pameran tunggalnya di Galeri Nasional, pada masa reformasi, sempat menggegerkan menggegerkan publik seni rupa. Lantaran karyanya celeng besar yang tertangkap lalu di pikul, lalu diarak ramai-ramai, sangat asosiatif dengan nasib penguasa Orde Baru yang tumbang.
Sudah menjadi rahasia umum, lukisan-lukisan seniman yang pernah terlibat LEKRA ini sarat dengan tema sosial. Dengan berpihak kepada wong cilik, ia memenuhi kanvas-kanvasnya dengan obyek nasib tukang becak hingga buruh, lengkap dengan beban penderitaan, mimpi, hingga pertarungannya melawan modernisasi.
back to top
DULLAH, Solo
Pelukis naturalis Dullah lahir di Solo 1919, dan meninggal 1987. Ia aktif di berbagai sanggar dan organisasi seniman di masa pergerakan kemerdekaan di Yogyakarta dan Solo. Dimasa itulah ia tekun mengasah ketrampilan melukisnya bersama Affandi dan S. Soedjojono. Lukisan-lukisannya dari masa itu dapat dianggap sebagai dokumentasi kaum pergerakan kemerdekaan dalam bentuk sketsa dan lukisan.
Pada awalnya karya-karya Dullah bercorak realis dengan tema tentang pemuda dan rakyat. Belakangan ia cenderung pada gaya naturalis yang menampilkan ketrampilan teknik melukisnya yang cermat dan halus.
Dimasa pemerintahan Soekarno, Dullah mendapat kepercayaan menjabat sebagai pelukis Istana Kepresidenan RI . Pada masa itu ia berhasil menyusun buku Lukisan-lukisan Koleksi Ir.Dr. Soekarno, Presiden Republik Indonesia , sebanyak 4 jilid (1956, 1959). Atas jasanya, ketika Indonesia-RRC dalam waktu lama memutuskan hubungan diplomatik, buku ini menjadi “jimat” bagi inteletektual China yang tetap ingin mengikuti perkembangan seni lukis Indonesia.
back to top
DWIJO SUKATMO, Surabaya
Pelukis Dwijo Sukatmo lahir di Surabaya , tanggal 28 Agustus 1962. Belajar seni lukis secara formal di Akademi Seni Rupa (Aksera) Surabaya , tahun 1972. Ia menyelesaikan magister psikologi di Untag Surabaya . Sebagai pelukis professional ia telah lama menggantungkan hidup dari seni lukis.
Aktif pameran tunggal maupun bersama di dalam dan luar negeri. Termasuk di dalamnya Biennale International II Racibors , Polandia (2000). Dari 6 kali mengikuti biennale yang digelar DKJ, ia mendapat penghargaan Karya Utama pada Biennale XIII, Seni Lukis Indonesia 1989 . Disusul penghargaan yang lain, yakni Penghargaan Karya Pilihan Direktorat Jendral Kebudayaan Koleksi Museum Nasional Indonesia 1991, dan Penghargaan Seni dari Gubernur Jawa Timur 1993. Dwijo mendapat kehormatan diundang oleh Kerajaan Jordania dan berpameran di Museum Amman , tahun 1997. Karyanya menjadi koleksi Museum Seni Rupa Internasional di Amman.
Secara umum karya Dwijo cenderung menyentuh tataran empiris hingga filosofis, dengan simbol-simbol binatang sampai wayang. Subyeknya sering tumpang tindih, luruh, bahkan kabur, oleh lautan mozaik warna di atas kanvas yang umumnya berukuran besar. Tekniknya ini menjadikan karyanya khas.
back to top
EDDIE HARA, Swiss
Perupa Eddie HaRa (sengaja ditulis dengan huruf R besar), lahir di Salatiga, Jawa Tengah, tahun 1957. Ia menempuh pendidikan seni lukis secara formal di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta , selama tahun 1980-1989. Kemudian memperdalam ilmunya di Academie Voor Beeldende Kunst Enschede, Belanda, selama tahun 1989-1990.
Aktif pameran tunggal maupun bersama antara lain di Yogyakarta, Jakarta , Bali, Swiss, Belanda, Jerman, Kuba, Amerika Serikat , Thailand , Burma , hingga Australia . Sejak tahun 1997 ia bekerja dan menetap di Basel , Swiss. Meski demikian ia cukup sering pulang kampong untuk mengikuti perkembangan seni rupa di Tanah Air.
Karyanya secara umum menggambarkan sejenis makhluk ajaib dari negeri antah berantah dalam struktur deformasi yang radikal. Eddie adalah salah satu pendobrak gaya yang muncul dari ISI Yogyakarta, yang banyak menyerap pengaruh dari kelompok Cobra dan kemudian berhasil menemukan gaya dan corak Eddie haRa sendiri.
back to top
EDI SUNARYO, Yogyakarta
Pelukis, dan pegrafis, Edi Sunaryo, lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, tanggal 4 September 1951 . Sarjana seni lukis tamatan STSI “ASRI” Yogyakarta (1980) yang meraih magister bidang seni rupa murni ITB Bandung (1997) ini, mengajar di Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta . Selama mengabdikan diri di lembaga tersebut, ia pernah menjabat Ketua Jurusan dan Pembantu Dekan I - FSR.
Pemenang Pratisara Affandi Adi Karya 1975 dan 1979, aktif pameran sejak 1976 sampai sekarang, baik di dalam maupun luar negeri. Antara lain Pameran Pelukis Muda di TIM (1977), Pameran Seni Grafis Kontemporer di TIM (1982), Pameran Internasional Biennial ke 2 Seni Grafis di Museum of Modern Art, Wakayama, Jepang (1987), Pameran Seni Grafis di Italia (1990), Pameran Internasional Seni Rupa Kontemporer Gerakan Non Blok di Jakarta (1995), Pameran Kompetisi The 3 rd Kochi International Triennial Exhibition of Prints di Jepang (1996), Pameran lukisan Philip Morris Indonesian Art Awards V di Jakarta (1998), Pameran Lukisan di Moskow (2000), Pameran Seni Grafis 6 EME Triennale Mondiale D'Estampes Petit Format di Prancis (2003), Pameran Seni Rupa Passion: Etno-Identitas (Perkembangan Seni Rupa Indonesia Dekade Terakhir) di China (2003).
Pada pameran tunggalnya yang ke 4, di Museum Nasional Jakarta (2003), melakukan terobosan yang secara hati-hati telah dimulai sejak pameran tunggal ke-3 di MOOM Gallery Jakarta (2000).
Kolektor asal Magelang, Dr. Oei Hong Djien yang mengikuti dari dekat proses perubahan itu, mencatat bahwa Edi Sunaryo meninggalkan ‘citra primitif' nya yang abstrak dan tunduk kepada kaidah-kaidah baku dan kaku, menuju era baru dengan konsep ‘penuh bisa kosong dan kosong bisa penuh', di mana ia mulai menggunakan bentuk nyata yang lembut.
Edi yang sudah lama mahir dalam seni grafis, kadang memasukkan teknik grafis dalam lukisan cat minyaknya, sehingga membuat karyanya tambah menarik. Edi juga mengembangkan karyanya dengan menggunakan kolase.
back to top
EMIRIA SUNASSA, Jakarta
Almarhumah wanita pelukis Emiria Sunassa, pernah menjadi anggota organisasi kebudayaan nasionalis POETERA (Pusat Tenaga Rakyat) di bawah kepemimpinan Sukarno, yang di dalamnya terdapat seksi kesenian yang dipimpin oleh pelukis S. Soedjojono. Dalam wadah itu ia bergabung bersama Affandi, Basuki Abdullah, Dullah, Kartono Yudhokusumo, dan Suromo.
Bersama POETERA, Emiria aktif mengikuti pameran pada tahun 1943, di antaranya pernah pameran bersama 60 pelukis Indonesia di Jakarta. Salah satu karyanya berjudul Pengantin Dayak , yang dominan dengan warna merah jambu dan coklat tua, menjadi koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta.
back to top
ENTANG WIHARSO, Yogyakarta
Perupa Entang Wiharso, lahir di Tegal, Jawa Tengah, tanggal 19 Agustus 1967. Ia lulus dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta , tahun 1994. Karyanya pernah meraih predikat terbaik dalam penghargaan tahunan di kampusnya, tahun 1988 dan 1989. Ia juga pernah meraih Penghargaan Affandi (1994) dan kompetisi Indonesia Art Award (1996).
Dalam berkarya, ia ulang aling antara dua studionya, yang berada di Yogyakarta dan Rhode Island , AS. Hal itu, malah membuatnya produktif.
Salah satu pelukis kontemporer Indonesia ini, aktif pameran di dalam dan di luar negeri, antara lain Yogyakarta, Jakarta, AS, Hongkong, Spanyol, Kanada, Afrika Selatan, Inggris, India, Singapura dan RRC.
Karya-karyanya terhimpun dalam buku Nusa Amuk , Antena Projects, Yogyakarta, tahun 2001, yang terbit mengiringi rangkaian pamerannya di Yogyakarya, Jakarta dan Washington . Karya-karyanyanya menunjukan kecenderungan impresionistik, dengan permainan warna yang kuat, dan cat yang (tak jarang) tebal. Temanya mengedepankan realitas sosial yang terkadang sebagai bentuk protes dalam perspektif humanisme /HAM.
back to top
ERNA G. PIROUS, Bandung
Perupa Erna G. Pirous, lahir di Kuningan, Jawa Barat, 2 September 1941 . Lulusan seni rupa ITB Bandung ini, memperdalam ilmunya di Ecole des Beaux Art Paris (beasiswa satu tahun).
Meski tidak se menjulang suaminya perupa AD Pirous, Erna mempunyai tempat di kalangan perupa wanita di Tanah Air. Karya-karyanya merupakan proses batin dalam menyelami keberadaan suatu misteri dari alam, lingkungan kehidupan dan obyek-obyek tertentu.
Selain melukis ia berkarya dengan grafis. Dari sebuah karya grafisnya yang dikoleksi Dewan Kesenian Jakarta, Model (1971) dan lukisannya Wanita Bergaun Hijau (1989) yang dipamerkan dalam Biennale '89, Erna konsisten dalam menampilkan perempuan secara lembut, namun tatapan matanya sama-sama kosong.
back to top
FADJAR SIDIK, Yogyakarta
Pelukis dan pendidik seni Fadjar Sidik lahir di Surabaya, Jawa Timur, 8 Februari 1930, dan mengembuskan nafas terakhir tahun 2004 di Yogyakarta ; tempat ia berkarya, menimba dan membagi ilmu di almamaternya ASRI yang kini menjadi ISI Yogyakarta.
Tokoh penting ini, pada masa pertumbuhannya dulu pernah mendadar diri di Sanggar Pelukis Rakyat Yogyakarta , asuhan Hendra Gunawan dan Sudarso. Ketika sanggar kemudian berkembang ke arah faham kiri, ia hijrah ke Bali (1957 – 1960) . Di pulau dewata itu ia melukis alam dan kehidupan dalam gaya impresionisme. Namun setelah Bali berubah wajah karena deraan teknologi dan pariwisata, ia menjadi gelisah dan lebih tertarik melukis impuls-impuls murni perasaannya dengan bentuk-bentuk personal.
Keputusan untuk menciptakan bentuk-bentuk sendiri (yang disebut sebagai desain ekspresif) -- seperti bulatan, sabit, gugusan bentuk segi empat, geliat sulur garis hitam misalnya -- yang abtrak murni, tanpa merepresentasikan bentuk-bentuk apapun di alam, merupakan sikap purna dari pencarian dan pemberontakan estetiknya yang panjang. Sekaligus menempatkan dia sebagai agen perubahan dalam seni lukis modern Indonesia .
Semasa hidupnya sering pameran tunggal dan bersama di dalam dan luar negeri. Karyanya banyak dikoleksi museum dan kolektor .Tahun 1971 menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI . Anugerah lain yang tak ternilai harganya adalah rasa hormat yang dalam dari para mahasiswanya yang kini telah menjadi tokoh-tokoh seni rupa di tingkat nasional maupun internasional.
back to top
FARIDA SRIHADI, Bandung
Pelukis Farida Srihadi, yang terlahir di Baturaja, Sumatra Selatan, 9 Juli 1942 dengan nama lengkap Sitti Farida – Nawawi, ditambah Srihadi setelah menikah dengan pelukis Srihadi Soedarsono. Lulusan Seni Rupa ITB Bandung (1973), mendapat beasiswa di Gerrit Rietveldt Kunstacademie, Amsterdam (1976-1978); The University of London, Dept. of Education, London , Inggris (1978-1979; The Ohio State University, Dept. of Arts , AS (1979-1980); dan meraih Master Filsafat (MHum) dari Universitas Indonesia .
Ia pernah mengajar honorer di Dept. Arsitektur, ITB (1975); mengajar di Universitas Trisakti , Jakarta (1975); dan sejak 1980 sampai sekarang mengajar di IKJ Jakarta .
Farida yang pernah mengikuti Biennale '89 Pameran & Kompetisi Seni Lukis Indonesia ke VIII di TIM, memulai debut pamerannya tahun 1975, hingga sekarang telah pameran tunggal dan bersama berkali-kali di Jakarta , Bandung , Kuala Lumpur , Bangkok , dan Belanda. Diluar itu ia aktf menjadi pembicara berbagai seminar, juga menulis seni rupa dan arsitektur. Karya-karyanya cenderung mengangkat tema alam, dengan pendekatan menangkap esensi.
back to top
FIRMAN LIE, Jakarta
Perupa Firman Lie, lahir di Jambi, 14 November 1961 . Dia menempuh pendidikan seni rupa di Jurusan Seni Grafis Fakultas Seni Rupa IKJ Jakarta (1981-1985). Sejak 1986 tercatat sebagai staf pengajar seni rupa di almamaternya.
Banyak sekali mengikuti pameran grafis maupun seni lukis yang diikutinya, baik di dalam maupun di luar negeri. Karya-karya grafisnya, diantaranya menggunakan teknik etching dan screen printing.
Dalam beberapa kesempatan pameran di Jakarta , ia menampilkan karya kontemporer yang mengolah tradisi.
back to top
F. M. WIDAYANTO, Jakarta
Perupa dan keramikus F.M. Widayanto lahir di Jakarta, 23 Januari 1953. Mengajar di IKJ (1990-1996). Pada saat ini ia berada di deretan paling depan, dalam barisan seniman keramik di tanah air yang menginjakkan kakinya pada dua dunia sekaligus: seni dan mass product. Lulusan S1, Jurusan Keramik Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB) 1981 ini, tahun 1983 mendirikan Studio Keramik Marryan's Clay Work di Ciawi, Bogor, disusul tahun 1990 mendirikan Studio Keramik F Widayanto Clay Statement di Tapos, Bogor.
Selama 20 tahun rentang waktu proses kreatifnya, Widayanto yang pernah menggelar pameran sampai Singapura , Australia , AS, melakukan penjelajahan baik dalam hal gagasan, tema, teknik hingga bentuk. Namun sejauh-jauh penjelajahannya, khususnya dalam hal tema dan ide, ia tidak mau lepas dari kekayaan tradisi dan ranah perempuan.
Adapun rentetan penjelajahannya tergambar dengan jelas pada perjalanan kegiatan pameran tunggalnya selama 18 tahun belakangan ini. Pameran Wadah Air di Erasmus Huis Jakarta (1987), Pameran Loro Blonyo , di Mercantile Club, Jakarta (1990); Pameran Topeng di Bank Universal, Jakarta (1990); Pameran Ganesha Ganeshi , di Bentara Budaya Jakarta (1993); Pameran Ukelan , di The Regent Hotel, Jakarta (1995); Pameran Topeng , 16 th National Craft Acquisition Award, Museum and Art Gallery of Notherm Territory, Darwin, Australia (1996). Pameran Golekan , di Bentara Budaya Jakarta (1997); Pameran Mother&Child , di Galeri Nasional Indonesia,Jakarta (2000); Pameran Kendi-kendi, di Restoran & Gallery Koi, Jakarta (2000); Pameran Ceramic Inspiration , di Hotel Sari Pan Pasific,Jakarta (2001); Pameran Dewi Sri , di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2003), dan Pameran Wanita Kipas , di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2005).
back to top
FREDDY SOFYAN, Bandung
Perupa Freddy Sofyan, lahir di Bandung , Jawa Barat, 1947. Belajar melukis di Studio Rangga Gempol, dibawah bimbingan pelukis Barli (1970-1975), belajar seni grafis di Red Point, Bandung (1998), dan menambah wawasan kesenian di Negeri Belanda, Jerman dan Prancis.
Sejak 1994 lima kali menggelar pameran tunggal, antara lain Kosa Mayarupa, Galeri Cipta II TIM (1999), Merekah Karena Waktu , Sheraton Bandung (2000). Disamping itu, ia sering pameran bersama di Bandung , Jakarta , Bali, hingga Singapura , Malaysia , dan Belanda. Juga berkolaborasi dengan seniman dalam dan luar negeri mengadakan pertunjukan seni rupa.
Karya-karyanya dominan dua dimensional, menggunakan media campur. Semula dengan bahan serbuk marmer, tanah, dan terakhir dengan logam/ seng bekas; untuk diberi makna dan nilai keindahan yang baru.
back to top
G. SIDHARTA SOEGIJO, Yogyakarta
Seniman pendidik Gregorius Sidharta Soegijo, lahir di Yogyakarta 30 Noperber 1932. Belajar melukis dan mematung di Sanggar Pelukis Rakyat di Yogyakarta (1949-1950). DIlanjutkan ke Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta (1950-1953). Kemudian di Akdemi Jan van Eiyk, Maastrich, Belanda (1953-1957). Mendapat ijasah kesarjanaannya dari Seni Rupa ITB tahun 1975.
Pernah sebentar mengajar di ASRI, namun kemudian hengkang ke Bandung mengajar di Departemen Seni Rupa ITB Bandung , gara-gara perbedaan ideologi yang tajam ketika itu dengan rekan-rekan sejawatnya; yang kebanyakan kekiri-kirian.
Setelah pensiun dari ITB, pendidik yang pernah juga ikut membesarkan Jurusan Seni Rupa LPKJ (sekarang IKJ) Jakarta , balik kekampung halaman Yogyakarta . Di kota itu, terus aktif berkarya, sambil memimpin Asosiasi Pematung Indonesia (API), yang ia dirikan bersama para pematung muda dengan semangat membuat terobosan infra struktur maupun kemacetan perkembangan seni patung modern di Tanah Air.
Sebelum memimpin API, pernah memimpin Pelukis Indonesia Muda (PIM) di Yogyakarta; Sekjen Komite Nasional untuk International Association of Art (IAA), Ketua Umum Liga Seni Rupa Indonesia (LSI) di Bandung.
Karya-karyanya yang berupa patung monumental di Jakarta antara lain dapat dilihat pada Tumbuh dan Berkembang, Tonggak Samudra, Mekatronik (singkatan mekanik dan elektronik). Pada tahun 1988, karyanya terpilih untuk disertakan dalam Taman Patung Olimpiade, Seoul , Korea Selatan. Taman ini diisi sebanyak 181 patung dari 66 negara.
Berbagai penghargaan yang pernah diterima antara lain, Penghargaan BMKN (1952), Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1982), Penghargaan Patung Terbaik dari DKJ (1986), dan Penghargaan 2 nd Asean Award for Culture, Communication and Literary Works .
back to top
GENDUT RIYANTO, Jakarta
Perupa dan perancang grafis Gendut Riyanto, lahir di Solo, Jawa Tengah, 1 Desember 1955, dan meninggal di Bekasi, Jawa Barat, 29 Desember 2003. Belajar seni rupa di STSR “ASRI”. Ketika masih kuliah dibangku kuliah tersebut, ia menjadi pentolan Kelompok Kepribadian Apa (disingkat Pipa).
Gendut dan teman-teman di Pipa inilah yang langsung merespon Gerakan Seni Rupa Baru (GSRI) di paruh kedua tahun 1970-an dulu. Jika GSRB intinya ingin menggugat “konvensionalisme” dan kemapanan seni rupa kala itu, maka Pipa seperti “jembatan” yang menghubungkan GSRB dengan generasi berikutnya, taruhlah nama-nama yang terkenal sekarang seperti Dadang Christanto, Edy Hara, dan Heri Dono.
Awal tahun 1980-an, Gendut pindah ke Jakarta . Ia bersama beberapa perupa lain beberapa kali pameran di beberapa hotel. Sehari-hari ia bekerja sebagai perancang grafis. Gendut juga membuat ilustrasi cerpen, cover majalah, dan “puisi rupa.”
back to top
HANAFI, Jakarta
Pelukis Hanafi, lahir di Purworejo, Jawa Tengah, tanggal 5 Juli 1960. Lulus Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta (1999). Pernah mengikuti wokshop A Cross Ocean , mengenai kerja kolaborasi antar disiplin seni di Toronto , Kanada.
Hingga kini telah menggelar pameran tunggal lebih dari 20 kali, di Jakarta, Bali, Kuala Lumpur, Singapura, Toronto dan Barcelona. Disamping itu ia aktif mengikuti pameran bersama di berbagai kota .
Penghargaan yang pernah di terima yaitu dari Philip Morris Indonesia Art Award (1997), Indofood Art Award (2001), dan Golden Palette Ancol , Jakarta (2005).
Lukisan-lukisan Hanafi yang umumnya berukuran besar, di dalamnya cenderung mengangkat obyek atau benda-benda di lingkungan kita sehari-hari, mulai dari gong, wajan penggorengan, kelopak mata, hingga sepatu yang di “ close-up” kadang secara ekstrim. Obyek atau benda-benda yang kasat mata tersebut, umumnya dikepung oleh belantara bidang-bidang warna, garis-garis yang berfungsi sebagai kontur maupun aksen, kadang-kadang juga grafiti dan simbol-simbol lain untuk mengusung makna-makna personal. Tak jarang juga, ia menghiasi kanvasnya dengan citra abstrak.
back to top
HANDRIO, Yogyakarta
Pelukis Handrio, lahir di Purwakarta, Jawa Barat, 8 September 1926 . Tamatan HIS, MULO, Taman Guru ini, belajar melukis di sanggar Pusat Tenaga Rakyat, Keimin Bunka Shidoso, dibawah bimbingan pelukis Basuki Abdullah, Agus Djajasoeminta, S.Soedjojono, dan Ken Yoshioko.
Seniman yang memilih tinggal di Yogyakarta ini aktif pameran, di antaranya di TIM, dalam biennale yang digelar DKJ 1989.
Di balik karya-karya abstrak geometrisnya, dengan warna-warni yang meriah, Handriyo ingin mengemukakan pengalaman indrawi yang dicerapnya secara bebas, untuk melahirkan arti maupun pengalaman baru.
back to top
HARDI, Jakarta
Perupa Hardi, dengan nama lengkap R.Soehardi Adimaryono, lahir di Blitar, Jawa Timur, tangal 20 Mei 1951. Ia pernah belajar di Akademi Seni Rupa (Aksera) Surabaya , tahun 1970, kemudian di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta , tahun 1971-1974. Gara-gara menandatangani pernyataan Desember Hitam pada puncak pengumuman biennale pertama di TIM, tahun 1974 , ia kena skors, sehingga angkat kaki dari ASRI sebelum tamat. Salah satu tokoh penting Gerakan Seni Rupa Baru (GRSB) ini, kemudian melanjutkan kuliah di Jan Van Eyck Academie Maastricht , Belanda.
Gara-gara karya grafisnya yang berjudul Suhardi, Presiden RI 2001 yang dipamerkan di TIM, pada akhir 1970-an, Hardi ditahan oleh Polda Metro Jaya. Atas bantuan Wakil Presiden RI Adam Malik, ia bebas kembali.
Dalam karier seni lukisanya Hardi tak pernah terpaku pada satu gaya . “Saya bebas menentukan yang saya lukis, karena saya majikan yang merdeka,” pasalnya. Pada tahun 1970-an hingga 1980-an, dalam pameran-pamerannya Hardi selalu tampil garang dengan karya-karya protes sosial. Di antaranya tentang penjual koran di perempatan lampu merah yang dikejar polisi. Pada masa itu, karya-karyanya bersemangat memotret dari sisi yang buram, sekaligus sebagai pembelaannya terhadap wong cilik dan nilai-nilai HAM yang belum banyak didengungkan orang.
Namun pada paruh 1990-an sampai sekarang, Hardi yang pernah memimpin Himpunan Pelukis Jakarta (HIPTA), pindah ke tema “aman”, mulai dari penari, pemandangan, Tanah Suci, potret tokoh, hingga dunia binatang. Dalam pameran kolaborasinya dengan seorang fotografer, dan ahli cetak foto digital, Hardi menawarkan ‘Neo Pop Art Indonesia' lewat tema Presiden SBY; yang memicu pro kontra.
Selain melukis, ia piawai menulis dan berbicara seni budaya hingga politik di media massa . Tahun 1999 tercatat sebagai tokoh Who's who Asia di Jepang, melengkapi pamerannya di Tokyo , Jepang.
back to top
HARDIMAN RADJAB, Jakarta
Pematung Hardiman Radjab, lahir di Malang , Jawa Timur, 13 Juli 1960. Menyelesaikan studi di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Fakultas Seni Rupa dan Desain, dengan mayor kria kayu.
Pameran tunggal , Serikat Barang, di Galeri Cipta II, TIM, Jakarta (2002). Sedangkan untuk pameran bersamanya yang dimulai sejak duduk bangku mahasiswa (1981) hingga sekarang, berlangsung di berbagai tempat di Jakarta , antara lain CP Open Bienniale, Interpelation , Galeri Nasional, Jakarta (2003). Selain itu bersama kelompok Metromini, maupun para pematung alumni IKJ.
Tahun lalu ia menggarap diorama untuk pavilion Indonesia di Jepang. Juga melibatkan diri dalam beberapa produksi pertunjukan Teater Koma, untuk lakon Republik Bagong, Presiden Burung-burung , dan Sang Kala.
back to top
HARJIMAN, Yogyakarta
Pelukis Harjiman, lahir di Taman Sari, Yogyakarta , tanggal 21 Februari 1954. Belajar pendidikan seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta . Ia pernah meraih penghargaan Wendi Sorenson Memorial Fund dari AS dan Pratisara Affandi Adhi Karya.
Dalam peta seni lukis di Tanah Air , ia termasuk salah satu pelukis yang memperkaya seni lukis modern Indonesia dengan karya-karyanya yang bercorak dekoratif. Sejumlah karyanya berhasil memanfaatkan kesan barik yang kaya pada seluruh bidang gambar berwarna tanah, yang merekam kesibukan di perkampungan nelayan hingga di pelosok desa.
back to top
HARIJADI SUMADIDJAJA, Yogyakarya
Almarhum pelukis Harijadi Sumadidjaja (1919-1997) lahir di Ketawang Rejo, Kutoarjo, Jawa Tengah, 25 Juli 1999. Ia mulai melukis dan membuat patung sejak usia 17 tahun dan tetap setia dengan pendekatan realis sampai akhir hayatnya.
Harijadi yang juga pelukis mural ini, tahun 1965 pernah dikirim oleh Bung Karno, Presiden RI pertama, unuk belajar mengenal museum di Meksiko.
Kecenderungan yang menonjol dari lukisan Harijadi adalah pemilihan warna yang cenderung gelap tapi tidak hitam. Gelap yang ditimbulkan oleh campuran warna-warna oker, coklat, hijau, dan biru. Pada karya-karya yang bercorak impresionistis hingga pada perkembangannya kemudian yang cenderung ke realisme, lukisan Harjadi (obyeknya) cenderung bergerak.
back to top
HARYADI SUADI, Bandung
Pegrafis dan pelukis Haryadi Suadi lahir di Cirebon, Jawa Barat, tanggal 20 Mei 1939. Tahun 1969 memperoleh gelar sarjana seni rupa dari Fakultas Seni Rupa dan Desain – Institut Teknologi Bandung (ITB). Semasa kuliah karya-karya karikaturnya tersebar di berbagai media cetak.
Haryadi sering mengikuti pameran di dalam dan luar negeri, serta cukup sering mendapat penghargaan. Tahun 1967 menerima penghargaan dari ITB atas karya seni grafisnya. Tahun 1970, saat ikut pameran Best Woodcut '23 rd Sozo Bijutu Exhibition Tenoji Museum , Osaka , Jepang karya grafisnya juga menerima penghargaan. Tahun 1982, saat ikut pameran Biennale Seni Lukis di TIM, Jakarta , lukisannya terpilih dalam jajaran terbaik. Tahun 1986, pameran lukisan kaca di Galeri Lontar. Pameran CP Open Bienniale di Galeri Nasional Indonesia , Jakarta , tahun 2003. Dan tahun 2004 mengikuti pameran The 17 th Asian International Art Exibition Deajeon Municipal Museum of Art Korea .
Karya-karya lukisan maupun grafis Haryadi Suadi, cenderung menggabungkan antara isi tradisional (Timur) dan kemasan modern (Barat).
back to top
HEDI HARIYANTO, Yogyakarta
Perupa Hedi Hariyanto, lahir di kota dingin Malang , 1962. Belajar seni rupa di Fakultas Seni Rupa dan Desain – Institut Seni Indonesia (FSRD-ISI) Yogyakarta , tahun 1983-1990.
Pamerannya selalu menarik perhatian orang. Misalnya, ia pernah menghebohkan Yogyakarta dengan karya eksperimentalnya yang diberi tajuk Destructive Image, yang digelar di kawasan strategis Malioboro, DIY.
Setahun kemudian, 1992, dengan karyanya Teror Produk , Hedi membungkus rumah dengan kertas bekas kemasan, sehingga kembali mengejutkan banyak orang. Sekedar catatan, karya ini merupakan bagian dari pameran Binal di kota budaya tersebut. Pada tahun yang sama, ia mengikuti pameran Jakarta Art and Design Expo (JADEX '92) di Jakarta. Tahun 1993 melahirkan karya Transisi dari media campuran, dan tahun 1995 membuat sebuah installation view bertajuk Tontonan Sepanjang Hari.
Secara umum, Hedi terampil mengolah berbagai bahan, untuk merealisasikan idenya yang dipetik dari pemikiran dan perenungannya tentang konflik, kekerasan, transisi sosio-kultural, dan hal yang sedang berkembang di tengah masyarakat.
back to top
HENDRA GUNAWAN, Bandung
Pelukis, pematung dan organisator seni Hendra Gunawan (1918-1983), lahir di Bandung , Jawa Barat, tanggal 11 Juni 1918. Meskipun pernah mengajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta , ia sendiri seniman otodidak. Mulai melukis sejak masih sekolah di H.I.S. baru serius , sejak belajar melukis pemandangan kepada Wahdi S, dan mendapat petunjuk-petunjuk dari Affandi dan Giorgi Giseken, tentang seni rupa moderen.
Pada masa revolusi, karya-karyanya merupakan rekaman jalannya revolusi, yang mendorong semangat perjuangan bangsa. Ia pun mengambil bagian dalam mendirikan Pusaka Sunda, Pelukis Front dan Pelukis Rakyat Yogyakarta. Selain melukis, ia banyak membuat patung monumental di Yogyakarta, Surabaya dan Semarang .
Tahun 1967-1968 ia dipenjara karena keterlibatannya dalam Lekra, yang menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia . Tapi penjara sama sekali tidak memadamkan semangatnya dalam melukis. Sejumlah karya-karya terbaiknya justru lahir saat di dalam penjara.
Dengan warna-warna cemerlang, Hendra banyak melukis sosok perempuan yang berdada montok dan berbadan sintal, ibu dan anak-anak, yang dipenuhi guratan garis-garis yang bergaya hiasan. Oleh karena itu, pendekatannya itu bisa dianggap sebagai pembuka jalan kepada corak dekoratif dalam seni lukis modern Indonesia . Seperti dituturkan kritikus Sudarmadji (alm), ciri utama lukisan-lukisan Hendra, terletak pada pengggambaran bentuk figur-figur manusia yang mengacu pada profil wayang kulit. Tangan selalu digambar lebih panjang dan kaki nampak perkasa.
Kini oleh kolektor utamanya, pengusaha Ciputra, karya-karya lukisan Hendra banyak yang digubah menjadi patung untuk dipajang pada ruangan terbuka. Sementara karya-karyanya yang lain banyak meramaikan biro lelang di dalam dan luar negeri, disamping jadi obyek pemalsuan.
back to top
HENDRAWAN RIYANTO, Bandung
Perupa kontemporer Hendrawan Riyanto, lahir di Yogyakarta , 15 Januari 1959. Selain mendalami seni keramik baru, saudara kandung Garin Nugroho ini, semasa hidupnya menjadi dosen pada Program Studi Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain - Institut Teknologi Bandung (ITB), yang tak lain adalah almamaternya.
Ia meninggal tak lama setelah usai pameran tunggal di Bentara Budaya Jakarta, bertajuk Naliko NING Semeleh – pasrah dalam keheningan – akhir Februari 2004.Pamerannya terakhir ini merupakan retrospeksi atas karya-karya sejak tahun 1992 – 2004, yang mencari titik keseimbangan antara pembelajaran Barat dan permenungan Timur.
Bentuk-bentuk karya Hendrawan delapan tahun terakhir tersebut mengacu pada eksplorasi obyek-obyek komunal seperti genta, bubu, huruf, rerajahan, serta berbagai bentuk yang mengacu tanda-tanda yang mudah diapresiasi umum. Selain tanah liat yang dibakar, ia sering kali menggunakan medium kayu, batu, bambu dan logam; terkadang medium tersebut dicampurkan satu dengan yang lain. Sering juga ditambah dengan perangkat elektronik, sehingga karyanya menjadi sebuah seni rupa pertunjukan. Misalnya, salah satu karya Hendrawan berjudul Mandala Peteng , yang berbahan kayu dan logam, berwujud cungkup (rumah) yang di dalamnya bisa berputar.
Sebelum pameran di Bentara Budaya tersebut, Hendrawan pernah mengikuti CP Open Bienniale 2003, di Galeri Nasional, Jakarta ; juga di Denmark , Netherlands dan Vinice Beinnale Italy .
back to top
HENDRO SUSENO, Yogyakarta
Sebagai wong Yogyakarta asli, pelukis Hendro Suseno, yang lahir di kota gudeg tanggal 24 Oktober 1962, belajar melukis secara formal di ISI Yogyakarta hingga tamat. Kesenian sudah menjadi jalan hidup pria yang kokoh dalam berpendirian maupun bersikap ini.
Selain melukis di atas kanvas, Hendro juga menggambar di atas kertas, serta membuat ilustrasi di Koran nasional. Untuk menuangkan gejolak batinnya, ia sering mencampur berbagai medium ke dalam kanvas.
Hingga sekarang sering menggelar pameran tunggal maupun bersama didalam dan di luar negeri, antara lain HAM Burger Yogyakarta; Melik Nggendong Lali di Bentara Budaya Yogyakarta; Urip Mung Mampir Ngombe di Bentara Budaya Yogyakarta; BazArt, Fort Vredeburg, Yogyakarta; Gallery Millenium Jakarta; dan Passion Etno-Identity di Beijing – Shanghai (RRC).
Kredo kreatif Hendro dalam berkarya adalah, art is an unimanginable that originates from life. seni adalah suatu unimanginable yang memulai dari model yang hidup.
back to top
HENK NGANTUNG, Jakarta
Mantan Gubernur DKI Jakarta (1964-1965) yang berdarah Manado, dengan nama lengkap Hendrik Joel Hermanus Ngantung, lahir di Bogor, Jawa Barat, tanggal 1 Maret 1921. Belajar melukis pada Prof. Rudolf Wenhart, dari Wina, yang pada saat itu tinggal di Bandung . Pada saat Henk tinggal di kota kembang (1937-1941), berkenalan dengan pelukis Affandi.
Mulai tahun tahun 1940 pindah ke Jakarta . Mengikuti pameran yang diselenggarakan oleh Bataviaache Bond van Kunstkringen, Jakarta . Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), menjadi illustrator surat kabar Jepang Yumiuri Shimbun, Jakarta .
Sejak kemerdekaan hingga Orde Lama, ia aktif dibidang perjuangan, seni lukis, sastra, hingga politik (pemerintahan). Pernah bergabung dengan Laskar kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Membuat sket jalannya perundingan Linggar Jati, Renville, Kaliurang, Negara Indonesia bagian Timur, dan lain-lain. Menjadi anggota kelompok ‘Gelanggang' pimpinan Chairil Anwar. Menjadi anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Hingga menjadi anggota juri Tugu Nasional (Monas), anggota MPRS, dan Anggota Front Nasional Pusat. Selama Bung Karno berkuasa, ia banyak dilibatkan pembangunan patung-patung di Jakarta , yang jejaknya masih dapat kita lihat sampai sekarang.
Kekuatan sket-sketnya, mengantar karya-karya lukisannya kuat juga secara anatomis dan perwatakannya. Ia meninggal seusai pameran tunggal di Ancol, tahun 1990-an.
back to top
HENING SWASONO
back to top
HERI DONO
back to top
HILDAWATI, Jakarta
Seniman keramik Hildawati Soemantri, lahir 26 November 1945 . Belajar seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB) tamat tahun 1971, dilanjutkan ke MFA Prett Institute, 1976, dan meraih gelar doktor di Cornel University, AS (1995) dengan thesisnya tentang seni patung keramik Majapahit . Ia mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) sampai akhir hayatnya, 17 Januari 2003.
Sejak 1970-an pernah beberapa kali melakukan pameran, di antaranya Nuansa Indonesia di TIM dan Wisma Seni P dan K (sekarang Galeri Nasional) 1987, Kalagyan di Hotel Sahid (1985), dan ditempat-tempat lain seperti Citibank, Kartika Chandra, hingga Balai Seni Rupa, Jakarta . Pada pamerannya terakhir di Galeri Cemara 6 (2003), ia seperti masih berteriak "seni keramik dimarjinalkan!"
Selama hidupnya ia penentang gigih persepsi yang melihat seni rupa di dunia tradisi non-Barat sebagai craft yang cuma menampilkan keindahan permukaan ( decorative art), termasuk di dalamnya seni keramik hanya kerajinan, yang derajatnya lebih dari seni rupa.
Dengan kapasitasnya sebagai kurator independen, antara tahun 1980an-1990an ia menggalang para pekeramik Indonesia , menggelar pameran-pameran besar keramik. Selain untuk meluaskan pandangan-masyarakat tentang seni keramik sebagai media ekspresi dan tidak memandang rendah seni keramik, juga untuk mengenalkan semua dimensi seni keramik
Dimata pengamat karya-karya Hildawati cenderung memasuki jalur perkembangan seni rupa kontemporer. Ia mengakses pemikiran-pemikiran seni rupa kontemporer untuk merombak persepsi pada perkembangan seni keramik. Namun, dalam mengembangkan pemikiran-pemikirannya yang lebih mendasar Hildawati cenderung bertumpu pada bingkai pemikiran visual art.
back to top
IDA HADJAR, Yogyakarta
Perempuan pelukis Ida Hadjar, lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 19 Juni 1942, dan meninggal pada tahun 2003. Lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta ini, sempat mengajar di almamaternya. Selain itu ia pernah mengajar batik di Ann Arbor Art Association di Michigan, Amerika Serikat.
Semasa hidupnya, ia seringkali menggelar pameran tunggal maupun ikut pameran bersama di dalam maupun di luar negeri, antara lain di Yogyakarta, Jakarta, keliling ASEAN dan Washington, DC, Amerika Serikat.
Penerima penghargaan Canting Emas ini, karya lukisannya cenderung dekoratif, dengan goresan garis-garis yang tegas dan spontan, membingkai obyek-obyeknya. Pilihan warnanya bergerak antara coklat, hitam, putih, merah, dan hijau. Mengangkat tema-tema nelayan, perempuan dan anak, termasuk didalamnya kasih sayang.
Salah satu karyanya terbaiknya menjadi koleksi Yayasan seni Rupa Indonesia (YSRI).
IPE MA’ARUF, Jakarta
Pelukis sketsa Ipe Ma’aruf, lahir tanggal 11 November 1938 di Bandar Olo, Padang, Sumatra Barat, dengan nama lengkap Ismet Pasha Ma’aruf. Ia belajar melukis pada Affandi, Surono dan S.Soedjojono, dan pernah menjadi mahasiswa luar biasa di ITB Bandung.
Ia dikenal sebagai ilustrator dan penggambar sketsa yang mengagumkan, dengan senjata utamanya garis yang lentur dan peka menangkap karakter sosok yang digambar; kebanyakan orang-orang biasa yang bersahaja. Ia sering menggantikan pena dengan benda tajam yang digoreskan di atas papan licin. Tekniknya ini, menghasilkan jejak garis yang impresif, setelah papan licin tersebut digosok dengan warna hitam. Hasilnya kadang-kadang berasa seni grafis.
Ipe kadang menggantikan pena dengan nyala korek api. Untuk menyelesaikan satu gambar, sosok orang misalnya, biasanya membutuhkan banyak sekali batang korek api. Sebab setiap batang korek api yang habis dibakar-goreskan untuk membuat garis, maka harus disusul bakaran batang korek api berikutnya, sampai sosok yang diinginkan muncul. Jejak garis korek api tersebut biasanya berwarna kecoklatan hingga kehitaman, tergantung intensitas kegosongan yang diinginkan.
Seniman yang selalu tampil sederhana ini, aktif pameran tunggal maupun bersama sejak tahun 1950-an, di Jakarta ( antara lain TIM, Balai Budaya, Galeri Lontar dan Galeri Milenium) hingga Surabaya. Pernah bekerja sebagai ilustrator majalah anak-anak Kawanku , dan penerbit Pustaka Jaya.
IPONG PURNAMA SIDHI, Jakarta
Perupa Ipong Purnama Sidhi, lahir di Yogyakarta, 5 Februari 1955. Tamat pendidikan seni lukis di STSRI-ASRI Yogyakarta 1981. Sejak 1972 Ipong telah mengikuti beberapa pameran di dalam maupun luar negeri. Pernah diundang sebagai seniman tamu di Jurusan Seni Grafis, Universitas Stockholm, Swedia, untuk mendalami seni grafis (1996).
Seniman yang pernah menjadi desainer surat kabar, buku dan majalah ini, beberapa tahun belakangan menjadi Pengelola Bentara Budaya Jakarta. Disamping itu ia tetap berkarya: membuat ilustrasi buku, ilustrasi cerpen untuk surat kabar, menulis kritik seni rupa, menulis pengantar di katalog pameran, dan pameran lukisan di berbagai kota di Tanah Air. Mulai akhir 2005-2006, ia bersama Yusuf Susilo Hartono, Deddy PAW, dll. mengadakan pameran keliling di Galeri Elcanna Jakarta, Museum Barli Bandung dan Galeri Semarang.
Ipong juga mendalami bidang kuratorial. Di antaranya pernah menjadi salah seorang kurator di Galeri Nasional, dan Biennale Bali 2005. Semasa remaja pernah menerima penghargaan dari lomba lukis yang diadakan dalam rangka Olimpiade Munchen (1972).
IDA HADJAR, Yogyakarta
Perempuan pelukis Ida Hadjar, lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 19 Juni 1942, dan meninggal pada tahun 2003. Lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta ini, sempat mengajar di almamaternya. Selain itu ia pernah mengajar batik di Ann Arbor Art Association di Michigan, Amerika Serikat.
Semasa hidupnya, ia seringkali menggelar pameran tunggal maupun ikut pameran bersama di dalam maupun di luar negeri, antara lain di Yogyakarta, Jakarta, keliling ASEAN dan Washington, DC, Amerika Serikat.
Penerima penghargaan Canting Emas ini, karya lukisannya cenderung dekoratif, dengan goresan garis-garis yang tegas dan spontan, membingkai obyek-obyeknya. Pilihan warnanya bergerak antara coklat, hitam, putih, merah, dan hijau. Mengangkat tema-tema nelayan, perempuan dan anak, termasuk didalamnya kasih sayang.
Salah satu karyanya terbaiknya menjadi koleksi Yayasan seni Rupa Indonesia (YSRI).
back to top
IPE MA’ARUF, Jakarta
Pelukis sketsa Ipe Ma’aruf, lahir tanggal 11 November 1938 di Bandar Olo, Padang, Sumatra Barat, dengan nama lengkap Ismet Pasha Ma’aruf. Ia belajar melukis pada Affandi, Surono dan S.Soedjojono, dan pernah menjadi mahasiswa luar biasa di ITB Bandung.
Ia dikenal sebagai ilustrator dan penggambar sketsa yang mengagumkan, dengan senjata utamanya garis yang lentur dan peka menangkap karakter sosok yang digambar; kebanyakan orang-orang biasa yang bersahaja. Ia sering menggantikan pena dengan benda tajam yang digoreskan di atas papan licin. Tekniknya ini, menghasilkan jejak garis yang impresif, setelah papan licin tersebut digosok dengan warna hitam. Hasilnya kadang-kadang berasa seni grafis.
Ipe kadang menggantikan pena dengan nyala korek api. Untuk menyelesaikan satu gambar, sosok orang misalnya, biasanya membutuhkan banyak sekali batang korek api. Sebab setiap batang korek api yang habis dibakar-goreskan untuk membuat garis, maka harus disusul bakaran batang korek api berikutnya, sampai sosok yang diinginkan muncul. Jejak garis korek api tersebut biasanya berwarna kecoklatan hingga kehitaman, tergantung intensitas kegosongan yang diinginkan.
Seniman yang selalu tampil sederhana ini, aktif pameran tunggal maupun bersama sejak tahun 1950-an, di Jakarta ( antara lain TIM, Balai Budaya, Galeri Lontar dan Galeri Milenium) hingga Surabaya. Pernah bekerja sebagai ilustrator majalah anak-anak Kawanku , dan penerbit Pustaka Jaya.
back to top
IPONG PURNAMA SIDHI, Jakarta
Perupa Ipong Purnama Sidhi, lahir di Yogyakarta, 5 Februari 1955. Tamat pendidikan seni lukis di STSRI-ASRI Yogyakarta 1981. Sejak 1972 Ipong telah mengikuti beberapa pameran di dalam maupun luar negeri. Pernah diundang sebagai seniman tamu di Jurusan Seni Grafis, Universitas Stockholm, Swedia, untuk mendalami seni grafis (1996).
Seniman yang pernah menjadi desainer surat kabar, buku dan majalah ini, beberapa tahun belakangan menjadi Pengelola Bentara Budaya Jakarta. Disamping itu ia tetap berkarya: membuat ilustrasi buku, ilustrasi cerpen untuk surat kabar, menulis kritik seni rupa, menulis pengantar di katalog pameran, dan pameran lukisan di berbagai kota di Tanah Air. Mulai akhir 2005-2006, ia bersama Yusuf Susilo Hartono, Deddy PAW, dll. mengadakan pameran keliling di Galeri Elcanna Jakarta, Museum Barli Bandung dan Galeri Semarang.
Ipong juga mendalami bidang kuratorial. Di antaranya pernah menjadi salah seorang kurator di Galeri Nasional, dan Biennale Bali 2005. Semasa remaja pernah menerima penghargaan dari lomba lukis yang diadakan dalam rangka Olimpiade Munchen (1972).
back to top
IRIANTINE KARNAYA, Jakarta
Pematung Iriantine Karnaya, lahir di Rangkasbitung, Banten, tanggal 9 Januari 1950. Lulus sebagai sarjana seni rupa ITB Bandung tahun 1975. Kini mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FT-UI).
Keprihatinnya terhadap eksistensi pematung di Tanah Air, mendorong dirinya bersama kawan-kawannya mendirikan Asosiasi Pematung Indonesia (API). Dengan asosiasi ini, ia aktif menggelar pameran bersekala nasional.
Selain membuat patung tunggal dari berbagai bahan dan tema, Iriantine juga membuat karya publik dan instalasi. Karya publiknya yang berjudul Flower Power, yang pernah ditampilkan dalam Pameran API 2001 di Galeri Nasional, telah menjadi koleksi Museum Sharjah, Emirate Arab.
Sejak 1971, ia aktif membuat relief, mural, menjadi juri lomba seni rupa, pembicara seminar, hingga pameran aktif pameran di dalam dan di luar negeri. Di antara pamerannya bertajuk Women and Art a Global Perspektive 2002, Sharjah Emirat Arab; Pameran Asosiasi Pertukaran Seni Internasional Indonesia-Jepang ke IV di Rudana Gallery Bali dan WTC Jakarta; dan Pameran bersama pematung Belanda-Jakarta.
Kecenderungan patung-patung Iriantine tidak sepenuhnya non-representasional. Dalam arti patung-patung yang terkesan abstrak, tidak sama sekali lepas dari citra,metafora, penggambaran, renungan. Masalah bentuk, yang pada tradisi modern merupakan masalah sentral, pada patung Iriantine hanya menjadi masalah bahasa, atau masalah medium.
Ia menerima penghargaan dari WHO untuk karyanya Kasih Sayang (perunggu, 1997), dan Trienale II DKJ di TIM 1998 untuk karyanya Gula dan Semut (perunggu, 1995).
back to top
IRSAM, Jakarta
Pelukis Irsam lahir di Klaten, Jawa Tengah, 24 Juni 1942. Irsam menempuh pendidikan seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakart, tahun 1959-1965. Setelah itu mengajar di almamaternya dan Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta, selama dua tahun, hingga 1967. Kemudian pindak bekerja sebagai Kepala Seksi Seni Lukis dan Grafika pada Direktorat Kesenian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI di Jakarta.
Selama menjadi pejabat, hingga menikmati masa pensiun beberapa tahun belakangan ini, pelukis berkumis melintang ini, aktif mengikuti berbagai pameran di dalam dan luar negeri.
Pada umumnya, lukisan-lukisan Irsam banyak mengangkat tema kenangan masa lampau, impian-impian lewat sosok perempuan, ibu dan anak, dibuat dengan corak dekoratif, yang menuntut ketekunan, kesabaran dan ketelatenan yang sama tingginya dengan pembatik (tulis).
Dia pernah mendapat hadiah dari ajang Biennale Seni Lukis Indonesia yang digelar di TIM. Dan patut dicatat, dari 12 kali biennale yang digelar oleh DKJ, 9 kali diantaranya ia diundang sebagai peserta. Sama seringnya dengan pelukis Amang Rahman dan Nuzurlis Koto, keduanya dari Surabaya.
back to top
ISA PERKASA, Bandung
Perupa kontemporer Isa Perkasa, lahir di Majalengka, Jawa Barat, 1964. Belajar grafis di Fakultas Seni Rupa dan Desain – Institut Teknologi Bandung (ITB), tamat tahun 1993. Mengikuti workshop woodblock print dan pembuatan kertas di Tsuna, Jepang, 1997.
Karyanya berjudul Indonesia Kini Sedang Luka, menerima penghargaan Philip Morris ASEAN Art Award, di Hanoi, Vietnam, 1998. Pameran tunggalnya antara lain Joking with Mirrors, di CCF Bandung (1996); Happenings on Happenings, di Taman Budaya Jawa Barat, Bandung (1997); dan ditempat yang disebut belakangan ini tahun 1999 ia menggelar pameran tunggal lagi.
Sedang pameran bersamanya antara lain Bandung Printmaking, JDC, Jakarta (1992); Biennale Jakarta 1993,di TIM, Jakarta (1993); Woodblock Prints, di Kobe dan Tsuna, Japan (1998); ASEAN Art Award, Opera House, Hanoi, Vietnam (1998); dan Pancaroba, di Oakland, U.S.A. (1999).
back to top
ITJI TARMIZI, Sumatra Barat
Pelukis Itji Tarmizi, lahir di Lintau, Tanah Datar, Sumatra Barat, tahun 1935, dan meninggal di Jakarta, 2001; saat pameran tunggal pertama sekaligus terakhir dihadapan publik seni lukis di Jakarta.
Murid Hendra Gunawan ini, menjadi anggota termuda Pelukis Rakyat di Yogyakarta. Tahun 1955 pameran bersama Pelukis Rakyat di Jakarta. Setelah itu, melakukan perjalanan ke China dan Rusia untuk berobat, sekaligus dimanfaatkan untuk belajar melukis.
Dalam situasi genting penumpasan PKI tahun 1965, Itji meninggalkan Yogyakarta kembali ke Sumatra. Lantaran anggota Pelukis Rakyat tak luput menjadi sasaran, karena kelompok tersebut selama berdirinya didukung oleh Lekra, antek PKI. Maka sejak itu namanya hilang. Baru setelah Indonesia berubah, pada masa reformasi beberapa kali sketsa-sketsanya muncul dalam pameran. Ketika usianya sudah 70 tahun, Itji muncul kembali pameran tunggal pertama di Jakarta. Sayangnya, 23 November, atau 4 hari setelah pamerannya dibuka untuk public, ia mengembuskan nafas terakhir.
back to top
IVAN SAGITO, Yogyakarta
Perupa Ivan Sagito, lahir di Malang, Jawa Timur, 13 Desember 1957. Menamatkan pendidikan seni rupa di Fakultas Seni Rupa dan Desain- Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1985). Tinggal dan berkarya di Yogyakarta. Selain melukis, ia juga membuat patung.
Pameran tunggalnya Hidup Bermuatan Mati di CP Art Space Jakarta (2005), Red Mills Gallery, Vermont,USA (2003), Freezing the Time, Nothern Territory University Gallery (2000), dan Duta Fine Art Gallery, Jakarta.
Sedangkan dari puluhan kali pameran bersamanya antara lain 21st and beyond, Edwin’s Gallery Jakarta (2005), CP Open Bienniale, Galeri Nasional, Jakarta (2003), Osaka Triennale, Osaka,Jepang (2001), Melik Nggendong Lali, Ulang tahun Basis 50, Bentara Budaya Yogyakarta (2001) Soul Ties –Art from Indonesia, Singapura Art Museum, Singapura (1999), Bienalle Seni Lukis DKJ di TIM (1987, 1989, 1996,1998).
Ivan menerima penghargaan Karya Lukisan Terbaik dari Biennale DKJ (1987, 1989), Medali Perak, The Osaka Triennale,Jepang (1996), dan Mainichi Broadcasting System Prize, The Osaka Sculpture Triennale, Osaka, Jepang.
Pelukis yang masuk dalam barisan ‘surealisme Yogya’ ini, salah seorang dari sedikit pelukis yang secara serius dan dalam mengolah ide-ide tentang realitas manusia dan kemanusiaan sehari-hari, serta kefanaannya; tanpa bermaksud menyampaikan komentar sosial, dengan kecenderungan bahasa ekspresi realistik.
back to top
IWAN KUSWANNA, Tasikmalaya
Perupa Iwan Kuswanna, lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Oktober 1960. Menempuh pendidikan seni rupa di Sekolah Menengah Seni Rupa (1980), dilanjutkan ke Institut Kesenian Jakarta (1981-1983), dan Jan Van Ejck Akademie Belanda (1984-1986).
Ditengah para pelukis daerah hijrah ke kota besar, Iwan justru tetap setia hidup di kampung halaman, ditengah-tengah famili dan sanak-saudara. Rumahnya terletak di Jl. RE Martadinata, Tasikmalaya.
Bagi Iwan melukis adalah ibadah. Tidak melukis berarti tidak menjalankan ibadah. Melukis juga proses belajar. Karena itu jika tidak melukis, maka ia merasa tidak belajar. Melalui sejarah seni lukis, ia belajar untuk memutuskan corak lukisannya , dengan garis dan warna yang terus berubah.
“ Sekarang aku di puncak gunung sepi,” begitu ia mengaku. “ Taka ada kolektor. Tak ada galeri. Hidupku seperti seekor laba-laba. Menunggu dalam sarang-sarang. Lalat lewat kumakan. Capung lewat kumakan. Karena aku ingin menemukan obyektivitas, intensitas, orijinalitas.Tiga orientasi ini aku harus temukan…. Lukisan-lukisanku juga cermin jiwaku…”
Perupa yang pernah menerima medali emas dari DKJ 1983, telah sering pameran didalam dan di luar negeri, antara lain Pameran Tunggal Keliling Negeri Belanda (1986-1987), Pameran Tunggal di Erasmus Huis, Jakarta (1990), Pameran Seni Lukis di Gedung Seni Rupa Depdikbud, Gambir, sekarang Galeri Nasional (1991), Europa Ceramik Work , Den Bosch Belanda (1992) , Pameran Tunggal di Galeri Cemara Jakarta dan Tasikmalaya (2000), dan Pameran Tunggal di Tasikmalaya (2002).
back to top
I MADE SUKADANA, Bali
Pelukis I Made Sukadana, lahir di Amiapura, Bali, 12 Maret 1966. Ia belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Prestasinya sudah cukup menonjol sejak mahasiswa dengan memperoleh penghargaan Karya Sketsa terbaik tahun 1987-1988 dari fakultasnya. Selain itu memperoleh hadiah Lempad dari sanggar Dewata Indonesia pada tahun 1992. Finalis kompetisi seni rupa Indonesia Art Award 1997, 1998 ini mendapat penghargaan dari Menteri Pariwisata tahun 1998.
Karya-karyanya sering tampil dengan sapuan warna pekat dan ekspresif, hampir memenuhi seluruh ruang kanvas, banyak melukiskan tema-tema pewayangan dan mitologi Hindu.
back to top
JEIHAN, Bandung
Pelukis Jeihan Sukmantoro, lahir di Solo, Jawa Tengah, tanggal 26 September 1936. Pelukis yang telah mapan dengan karya-karya figuratif perempuan bermata bolong ini, di masa tuanya sekarang ini justru melakukan pemberontakan terhadap dirinya sendiri, dengan memasuki wilayah seni lukis abstrak dan patung.
Pasalnya, hendak menyatukan imaji-imaji, simbol-simbol dan filosofi budaya timur, yang padat esensi dan makna hidup. Karya-karyanya terbarunya ini muncul dalam pameran bersama di Galeri Cipta 2 TIM, bulan silam.
Jeihan belajar seni rupa di ITB Bandung. Telah malang melintang pameran tunggal maupun bersama sejak 1958, di dalam hingga luar negeri. Lukisan-lukisannya yang mengangkat para perempuan bermata bolong, yang umumnya tampil diam mencitrakan suasana meditatif, memadukan alam mistik timur dan alam analitis Barat.
Karya-karya perempuan mata bolong Jeihan telah menjadi koleksi para kolektor hingga pengusaha di dalam dan luar negeri. Juga meramaikan pasar lelang seni rupa di dalam dan di luar negeri.
back to top
JERRY T, Jakarta
Perupa Jerry T lahir di Bogor, tanggal 8 Juli 1962. Menyelesaikan pendidikan seni rupa hingga meraih gelar sarjana di Fakultas Seni Rupa dan Desain IKJ.
Menggelar pameran tunggal antara lain di Galeri Cipta II TIM, Australian Embassy Gallery, Ganesha Gallery di Bali. Selain itu aktif pameran bersama di beberapa kota dan negara diantaranya pada kegiatan pameran ASEAN di Brunai Darussalam, The Japan Foundation Jakarta, Museum Nasional-Jakarta, Biennale X di TIM, hingga Galeri Lontar.
back to top
JIM SUPANGKAT, Jakarta
Perupa Jim Supangkat yang menjadi salah satu tokoh kunci Gerakan Seni Rupa Baru (GRSB), lahir di Ujung Pandang 2 Mei 1948. Belajar arsitektur di Universitas Parahyangan,Bandung (1969-1971), belajar seni rupa di ITB Bandung (1970-1975), studi lanjutan tentang estetika dan filsafat seni di Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta(1974—1975)dan pascasarjana Psychopolis Art-Academy, Den Haag, Belanda (1978—1979).
Pernah menjadi redaktur di Majalah Aktuil, Zaman dan Tempo, sebelum akhirnya mengundurkan diri (termasuk sebagai perupa), guna berkonsentrasi penuh sebagai kurator dan konsultan seni. Semasa masih berkarya, ia cenderung menggunakan media campuran.
Tulisan seni rupanya tersebar di berbagai media cetak di dalam dan luar negeri (Art and Asia Pacific, Australia dan Asian Artnews Hong Kong). Juga pada katalog pameran hingga buku-buku berbahasa Indonesia maupun Inggris, antara lain Introspeksi di Balik Wajah Affandi; Wanita dalam Lukisan Jeihan; Indonesia New Art Movement; A Brief History of Modern Indonesian Art; Indonesian Modern Art and Beyond.
Jim yang sering tampil sebagai pembicara di berbagai seminar di tingkat nasional maupun internasional, termasuk pendiri CP Art Space yang berada di AS maupun di Jakarta. Ia sering menjadi kurator pameran kontemporer di dalam dan luar negeri. Prakarsanya menggelar CP Open Biennale 2005 di Jakarta -- sebagai kelanjutan 2003 -- menyisakan persoalan hukum dengan adanya tuduhan pornografi terhadap salah satu karya peserta pilihannya. Sementara perkaranya masih menjadi urusan penegak hukum, Jim telah memutuskan tidak bakal menggelar CP Bienalle lagi. Sayang!
back to top
DJONI TRISNO, Jakarta
Pelukis Djoni Trisno, yang dikenal juga sebagai aktor , adalah anggota Pelukis Rakyat pimpinan Hendra Gunawan. Dalam pameran 1955 di Jakarta, ia termasuk pelukis yang menarik perhatian sejarawan seni Claire Holt (penyusun buku klasik Art in Indonesia: Continuities and Change), sejajar dengan Batara Lubis, Abas Alibasjah, dan Itji Tarmizi.
Dalam sebuah lukisan cat minyaknya Menghadang Konvoi (1961), yang menjadi koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta atas sumbangan kolektor Surabaya Ki Sunaryo Umar Sidik, menggambarkan suasana perjuangan.
back to top
KABOEL SUADI, Bandung
Perupa Kaboel Suadi lahir di Cirebon, Jawa Barat, tanggal 7 November 1935. Kini menikmati masa pensiun, setelah puluhan tahun mengajar di almamaternya, Jurusan Seni Rupa dan Desain ITB Bandung.
Saat memperdalam ilmu seni rupa di Honschule fur Bildende Kunste, Jerman (1968-1969) ia membikin sketsa, yang beberapa tahun kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku atas bantuan BJ Habibie.
Kaboel telah aktif bepameran seni lukis maupun grafis sejak 1962 sampai sekarang, baik tunggal maupun bersama, di Bandung, Jakarta, Sinagpura, Kuala Lumpur, Tokyo, New York, Berlin, Pusan, Hannover, hingga Bangkok.
Karya-karya grafis maupun lukisannya, baik diatas kanvas maupun kaca seorang modernis ini tak henti-hentinya mengolah tradisi, terutama Sunda dan Cirebon, dengan bahasa visual yang universal.
Ketika masih aktif mengajar, selain di ITB, beberapa kali menjadi dosen tamu di IKJ, Trisakti dan di Jerman. Beberapa penghargaan diperolehnya dari Deutscher Akademischer Austauschdienst I dan II (1967 dan 1990).
back to top
KARTIKA AFFANDI, Yogyakarta
Pelukis Kartika Affandi, lahir di Jakarta, tanggal 27 November 1934. Lulus Taman Dewasa di Lembaga Pendidikan Taman Siswa, Jakarta. Belajar melukis kepada sang ayah, pelukis Affandi, dan S.Soedjojono. Kemudian ia memperdalam seni rupa di Universitas Shantiniketan, India (1950-1952).
Selain itu ia juga pernah mengenyam pendidikan di sebuah akademi seni rupa di Wina, Austria, untuk teknik pengawetan dan restorasi. Ketrampilannya ini penting, terutama dalam kaitan dia sebagai pengelola Museum Affandi di Yogyakarta, yang mau tak mau lukisan peninggalan almarhum yang tiada tara nilainya, memerlukan perawatan yang profesional.
Seperti juga sang ayah, Kartika selain menggunakan teknik plotot, juga senang melakukan perjalanan di dalam dan ke luar negeri, untuk melukis berhadapan obyek secara langsung. Pada pameran retrospeksinya di Galeri Nasional, tahun 2004, untuk merayakan usianya 70 tahun, Kartika (hendak) menegaskan bahwa karyanya mempunyai ciri tersendiri, dibanding papinya.
Semasa papinya masih hidup, ia sering pameran bersama, maupun tunggal. Selain di Jakarta dan Yogyakarta, ia pernah pameran di Paris, Roma, Bangkok, Australia, dll. Sering menerima penghargaan seni dari dalam dan luar negeri.
back to top
KARTONO YUDHOKUSUMO, Bandung
Pelukis dekoratif Kartono Yudhokusumo, lahir di Medan, Sumatra Utara, 1924, dan wafat di Bandung 1957, akibat kecelakaan speda motor. Sejak kecil ia tumbuh dalam lingkungan kesenian. Ayahnya seorang guru seni rupa di Jawa Tengah; yang juga seorang pemimpin kesenian Ketoprak, sekaligus penulis lakon dan pelukis layar panggung.
Kartono sekolah SMA di Jakarta, salah satu gurunya Syafei Sumardja, yang kelak kita kenal sebagai dekan seni rupa pertama ITB. Sejak usia 7 tahun sudah melukis pemandangan alam. Belajar dari guru-guru orang Jepang maupun Belanda, antara lain Yazaki, Bossardt, Rutgers, Akatsuka, Ernest Dezentje. Tahun 1943 pernah pameran di Jakarta , disponsori Poetera.
Tahun 1945, pindah ke Yogyakarta, menikah dengan bintang film Nurnaningsih, bercerai 1952. Tahun 1946-1948 bergabung dengan SIM, di Solo dan Yogya. Dalam masa sulit itu ia berdagang kayu dan arang bakar. Sebentar meminpin Sanggar Tunas Muda di Madiun, lalu hijrah ke Bandung, mengajar seni lukis di Sanggar Seniman (1952) yang disponsori Jawatan PDK. Belum sempat menikmati beasiswa Ford Fondation, ke AS, keburu meninggal.
Karya-karya Kartono, banyak dikoleksi Presiden Soekarno, dan komunitas Skandinavia di Indonesia. Karya-karyanya yang melintasi zaman, memberi sumbangan penting bagi seni rupa di Tanah Air, sebagai perintis dekoratif, yang kemudian diikuti Widayat dan lain-lain.
back to top
KOMRODEN HARO, Yogyakarta
Pematung Komroden Haro, lahir di Baturaja, Palembang, Sumatra Selatan, 26 Mei 1966. Sejak kecil senang membuat mainan sendiri. Setamat SMA, ke Jawa, melanjutkan kuliah di Jurusan Seni Patung, FSRD-ISI Yogyakarta.
Anggota Asosiasi Pematung Indonesia (API) ini, sering mengikuti pameran bersama, antara lain di Gallery Canna dan Gallery 678 Jakarta, Gallery Langgeng Magelang; dan di Galeri Nasional (bersama API) 2003.
Patung Komroden belakangan cenderung kearah kria, yang selalu nampak ramai dan berwarna. Dari bentuk-bentuk kayu dibangunnya pelbagai citraan yang membuka berbagai tafsir. Menurut pengamat, Komroden menggunakan pendekatan seni rupa bawah (low art) yang, dalam perkembangan seni kontemporer internasional, kerap dipakai sebagai alat provokasi dan kritik terhadap dominsi arus utama.
back to top
KRISNA MURTI, Bandung
Perupa Krisna Murti lahir di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 49 tahun yang lalu. Meraih gelar sarjana seni rupa dari FSRD-ITB Bandung tahun 1981. Di almamaternya, ia menjadi asisten dosen Prof Sadali. Di bawah bimbingan Prof But Mochtar ia melakukan penelitian kerajinan di FSRD-ITB.
Tahun 1980-an ia menjelajah kolase dan tekstur, seperti yang pernah dipamerkan di CCF Bandung. Perupa yang pernah mengikuti Biennale Seniman Muda Indonesia di TIM dan kompetisi Seniman Muda di ITB Bandung ini, pada tahun 1990-an merambah ke dunia instalasi dan seni rupa video. Kreativitas dibidang ini, dipertunjukan dalam karyanya yang dipamerkan dalam pertunjukan 12 Jam dalam Kehidupan Penari Agung Rai di Studio R 66 Bandung. Juga dalam instalasinya Obyek dari Kampung Nagrak, di Aula Barat ITB. Karya ini pula yang diusung ke TIM saat mengikuti Bienniale Seni Rupa Jakarta IX 1993/1994 di TIM. Ia menggunakan media lesung tua, monitor televisi, ranting pohon, sekam padi, biji-bijian, dan api.
Karya-karya video instalasinya menampakkan kecenderungan menyentuh persoalan, tidak hanya seni semata, tapi meluas ke ranah psikologis, sosiologis, antropologis, hingga politis. Karya terbarunya yang mengangkat soal TKW di negeri jiran, yang melukiskan tegangan: di satu sisi mereka ‘merayakan’ tubuhnya dalam kemodernan, sementara disisi lain – dalam pekerjaan domestik —tubuh itu di dalam kendali majikan.
back to top
KOEBOE SARAWAN, Malang
Pelukis Koeboe Sarawan, lahir di Malang, 29 Juni 1961. Seusai belajar batik di Surakarta (1983), ia menempuh pendidikan seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1985).
Karya-karyanya yang masuk dalam gaya ‘Surealisme Yogya” itu, cenderung menghadirkan absurditas kehidupan manusia dalam jaringan ruang sosial – masyarakat yang sering kali tak terpahamkan. Disajikan dalam suasana mencekam, sepi, dengan penguasan teknik realisme yang baik.
Sampai sekarang telah seringkali pameran bersama di dalam negeri, antara lain, Citra Realistik Indonesia, Galeri Nasional,Jakarta (1995), Biennale Seni Lukis di TIM ( 1996, 1998), Philip Morris Indonesia Art Award, Galeri Nasional, Jakarta (2000), pameran bersama di Puri Art Gallery, Malang (2002), Still Life, Raka Gallery,Bali (2004), Pameran bersama Kelompok Holopis Kuntul Baris, di Balai Pemuda,Surabaya (2005), dan 21st and beyond Edwin’s Gallery,Jakarta (2005).
back to top
KOESNADI, Jakarta
Perupa Koesnadi (almarhum) dikenal juga sebagai fotografer dan kritikus yang handal. Lahir di Kaliangkrik, Magelang (Jawa Tengah), tanggal 1 April 1921. Setelah belajar melukis secara otodidak, tahun 1942-1944 belajar melukis di Keimin Bunka Shidoso, Jakarta, dengan bimbingan Basoeki Abdullah.
Pernah menjadi dosen di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, 1950-1966. Sambil menjadi Ketua Redaksi Majalah Budaya, Yogyakarta (1954-1963). Tahun 1963 mendapat leaders grant dari Pemerintah AS untuk mengadakan studi perbandingan.
Mantan dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini, pada tahun 1977 menerima penghargaan dari Pemerintah RI sebagai pelukis dan Pembina seni rupa Indonesia.
Karya-karya lukisannya, cenderung berwarna lembut, seperti penampilannya. Bertolak belakang dengan bahasa tulisannya, yang tak jarang lugas, sehingga memerahkan telinga.
back to top
KUSWADJI
LAKSMI SITORESMI, Yogyakarta
Perupa Laksmi Sitoresmi lahir di Yogyakarta, 9 Mei 1974. Belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1997-1999).
Sejak 1987, telah sering pameran lukisan dan gambar, di Yogyakarta, Bandung, Magelang, Jakarta, hingga ke luar negeri (Jepang). Adapun pameran tunggalnya, antara lain Bahasa Lukis Sebagai Terapi, di Lembag Indonesia-Perancis,Yogyakarta (1999); dan Dunia Laksmi di Bentara Budaya Jakarta (2004).
Laksmi sejak remaja gemar mengikuti kompetisi seni lukis hingga baca puisi, sehingga dirumahnya menumpuk banyak penghargaan. Antara lain dari memenangi Kompetisi Internasional Seni Lukis Anak dan Remaja di Chili (1988) ; Medali emas dalam pameran lukisan Indonesia-Jepang di Tokyo (1988), sepuluh besar dalam pameran lukisan Imajinasi tentang Negaraku di India (1990). Juga menjadi finaliss kompetisi Philip Morris Indonesia Art Award dan Nokia Art Award Indonesia (1999).
Lukisan Laksmi cenderung mengangkat kisah dan pengalaman pribadi, baik itu endapan memori masa lalu, semenjak balita hingga dewasa; maupun pengalaman keseharaian sebagai istri, ibu rumah tangga dan anggota masyarakat biasa.
back to top
LEE MAN FONG, Jakarta
Pelukis Lee Man Fong lahir di Guangzhou, Canton, China, 1913, dan meninggal di Jakarta, tahun 1988. Salah satu jasanya yang sangat bermanfaat bagi dunia seni rupa Indonesia adalah ketekunannya dalam menyusun 5-jilid buku Koleksi Seni Rupa Presiden Soekarno. Buku tersebut sangat membantu dalam menggambarkan seni rupa modern Indonesia, sehingga menjadi pegangan para peneliti, kritikus, kolektor, pedagang lukisan hingga biro lelang di dalam dan di luar negeri (terutama komunitas seni di RRC selama terputus hubungan diplomatiknya dengan Indonesia).
Lee Man Fong menetap di Jakarta, sejak berusia 19 tahun (1932), setelah beberapa tahun belajar melukis di Singapura. Ia memulai kariernya dengan bekerja di biro iklan dan pelukis komersial.
Sebelum kemerdekaan, tepatnya tahun 1941, ia mengunjungi Bali untuk melukis. Hasilnya dipameran di Jakarta, dalam pameran tunggalnya yang pertama.
Tahun 1947, ia mendapat grant dari Pemerintah Belanda untuk belajar seni lukis di Holland, dan tinggal disana sampai tahun 1952. Pada masa itu ia banyak melakukan perjalanan dan pameran tunggal di berbagai tempat. Sepulang dari Belanda, Lee Man Fong aktif pameran tunggal maupun bersama di berbagai kota di Tanah Air.
Karya-karyanya yang dibuat dengan ketrampilan teknis tinggi, dengan mengambil obyek perempuan Bali, menyiratkan keindahan yang tak lekang oleh waktu, bahkan melintasi ruang kebangsaan dan bahasa.
back to top
LIAN SAHAR,Yogyakarta
Pelukis Lian Sahar, lahir di Aceh, tahun 1933. Pendidikan seni rupa diperolehnya dari Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI)Yogyakarta dan ITB Bandung.
Kiprah seni lukisnya dimulai tahun 1956, dan berlangsung hingga sekarang. Ia aktif mengikuti pameran di dalam hingga luar negeri, antara lain pameran keliling Asia Tenggara, AS hingga Jepang.
Pelukis yang amat menyukai medium cat air dan akrilik di atas kertas ini, juga membuat patung serta relief untuk beberapa kantor dan museum di Indonesia. Dalam pameran Biennale II yang digelar di TIM tahun 1976, ia termasuk yang mendapat penghargaan sebagai pelukis terbaik dari DKJ.
back to top
LUCIA HARTINI, Yogyakarta
Pelukis Lucia Hartini yang akrab disapa Tini, lahir di Temanggung, Jawa Tengah, tanggal 10 Juni 1959. Menimba pengetahuan seni rupa di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR),Yogyakarta.
Karya-karyanya yang masuk dalam mazab surealisme Yogyakarta, bersumber dari fantasi, imajinasi dan pengejawantahan spontan alam bawah sadar, dengan simbol-simbol seperti batu karang, kuda, perempuan, wajan, awan, atau cakrawala yang penuh benda-benda langit. Di tengah semua itu, tak jarang hadir simbolisme kehidupan perempuan atau sosok perempuan yang tampak sendiri di tengah dunia yang luas dan galau.
Dalam setiap kali pamerannya, baik tunggal, bersama maupun dalam biennale, Hartini menghadirkan karya-karyanya melalui teknik melukis realis-fotografis yang serba cermat dan teliti, terutama kalau sudah melukis impresi air laut atau karang. Gagasan-gagasan imajinatifnya seringkali aneh, ganjil, liar dan mencengangkan.
back to top
MADE WIANTA,Bali
Perupa Made Wianta lahir di Apuhan, Baturiti, Tabanan, Bali, tanggal 20 Desember 1949. Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Denpasar,Bali (1967-1969). Melanjutkan di Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI” (1970-1974). Lalu bekerja di Brussel,Belgia (1974-1977). Penggenggam Ksatria Award dari Museum Rudana, Ubud Bali, tahun 1996 mendapat penghargaan honorary professor dari Academy Internationale Greci-Marino, Itali.
Sejak 1976 sampai sekarang, telah puluhan kali pameran tunggal di dalam dan diluar negeri, antara lain di Jakarta (TIM, Galeri Canna, Galeri Santi), Yogyakarta, Surabaya, Bali, Rusia, Jepang, Singapura, Belgia, hingga Perancis.
Juga sering diundang mengikuti pameran bersama, termasuk di dalamnya biennale, antara lain +Positive, Kunst Merano Arte, Biennale Italy dan Art Summit, Jakarta (2004), Venezia Biennale, Italy (2003), Langkawi International Festival of Art (LIFA) Langkawi, Malaysia (2000), Jakarta Art &Design Expo 1992, Jakarta (1992), Festival Seni Indonesia di AS ‘KIAS’ (1990), ASEAN Paining Graphics Arts and Photography (Manila, Singapura, Kuala Lumpur, Jakarta,Bangkok).
Karakter dan karya –karya Made Wianta berbeda dibanding lukisan Bali pada umumnya yang naratif. Karena itu ia dituduh “berkhianat pada nilai-nilai masyarakat Bali.” Meskipun tuduhan itu tidak seluruhnya benar, sebab kalau ditengok lebih dekat, gagasannya masih tetap Bali, dimana dia memenuhi bidang kanvas: unit-unit ikonik/ sub ikonik dari karya abstraknya berpola bentuk repetitip yang mengingatkan kita pada pola-pola figuratif lukisan tradisional Bali.
Lukisan-lukisan Wianta secara ambigu menyodorkan spirit dan bentuk sangat individualistik; yang menghadapkan dirinya pada tatanan global dari masyarakat modern masa kini. Lukisannya, termasuk kaligrafi, tidak punya konteks dengan simbolisme Bali tetapi berfokus pada bentuk dan warna, biasanya secara abstrak.
back to top
MAHYAR, Yogyakarta
Ditelinga anak muda sekarang, nama pelukis Mahyar termasuk asing. Dia dilahirkan di Cikampek, Karawang, Jawa Barat 15 November 1948. Mengenyam pendidikan seni rupa secara runtut, sejak usia muda. Pada tahun 1965 – 1968 belajar di SSRI Yogyakarta, jurusan seni lukis . Tahun 1969 – 1976 di FSRD seni lukis STSRI Yogyakarta. Tahun 1981 – 1976 di FRSD seni lukis ISI Yogya.
Selama 30 tahun (1965 – 1995) Mahyar sudah pameran bersama sebanyak 112 kali, baik di dalam dan di luar negeri. Mulai 1976 –1993 mengadakan pameran tunggal diberbagai kota di Indonesia dan manca Negara,seperti Itali dan Guyana .
Pada tahun 1969 mendapat penghargaan karya terbaik bidang studi seni lukis sketsa, gambar bentuk ornament dan ilustrasi dari sekolah seni rupa Indonesia di Yogyakarta
back to top
MAKHFOED, Surabaya
Cak Foed, begitulah kawan-kawan dekatnya biasa menyapa Makhfoed, pelukis kelahiran Surabaya, Jawa Timur, 10 Mei 1942. Dari 12 kali penyelenggaraan biennale DKJ, dengan nama yang berbeda-beda akan tetapi substansinya sama, ia ikut sebanyak 6 kali (1974, 1976, 198, 1996, 1998, 2006).
Sejak kecil dia sudah menyukai seni lukis. Namun, baru tahun 1968 ketika masuk Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera), ia mulai mengakrabi dunia seni rupa. Dan, memasuki tahun 1970-an, ia total di seni rupa itu.
Lukisan-lukisannya yang cenderung surealis dengan mengeksplorasi simbol-simbol subyektif untuk menyatakan sebuah (catatan) perjalanan, hadir dengan warna-warna yang tak jarang berat, kelam, dan menyimpan misteri. Dalam banyak kanvasnya, ia selalu menghadirkan bayangan-bayangan sosok perempuan terbang dan menari-nari ataupun menyembul dari lubang , bagaikan bidadari dalam kisah-kisah klasik. Mungkin sosok perempuan itu, berkaitan dengan kerinduannya yang tak pernah putus pada seorang ibu yang melahirkan dirinya. Sosok ibu yang telah meninggalkan dirinya sejak usianya baru satu tahun.
Pelukis sederhana yang menerima penghargaan International Professional of The Year 2004 tersebut, sejak tahun 1972 telah malang melintang berpameran tunggal maupun bersama di Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, Bali, hingga Manado, Sulawesi Utara. Beberapa di antaranya pameran tunggal seni lukis di DKS Surabaya (1994), di Bentara Budaya Jakarta (2001), di Museum Ronggowarsito, Semarang (2004). Finalis Philip Morris Art Award 1996 ini, pernah juga pameran bersama di luar negeri, di antaranya pada Festival Pekan Seni Ipoh, Malaysia (1999), setelah tahun sebelumnya tampil di Pameran South East Asian Paintings SOTHEBY’S di Singapura.
back to top
MARIDA NASUTION, Jakarta
Pegrafis Marida Nasution, lahir di Jakarta, tanggal 2 Januari 1956. Sarjana seni rupa lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), jurusan seni grafis (1981), kini mengajar di almamaternya, disamping aktif pameran di dalam dan luar negeri.
Ia suka berjalan menyusuri berbagai kawasan kumuh, membuat potret, untuk bahan garapannya kemudian. Dan dari karya-karyanya selama ini, menampakkan jejak kepedihan kaum papa di kota besar yang ia tangkap dan ungkapkan lewat sejumlah karya seni grafis dan instalasinya.
“Saya merasa simpati kepada kepada masyarakat kalangan bawah yaitu para pengemis dan masyarakat bawah yang hidup tersisih di kota besar,” yang melatari sebuah karyanya Kehidupan, berupa instalasi grafis yang sudah menjadi koleksi Galeri Nasional Indonesia,Jakarta sejak 1998.
Selain menggarap seni grafis dua dimensi, ia juga menggarap instalasi. Karya-karya dwimatranya, rata-rata dibuat dengan ukuran "standar" digarap dengan cetak saring, photo etching, etsa, aquatint, serta paduan berbagai teknik.
Sejak 1984, ia aktif pameran di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Bali, hingga Korea, Jerman (Barat), Yugoslavia, Swedia, Nederlands, Italia, dan lain-lain. Dari tujuh pameran tunggalnya antara lain Pameran Instalasi Grafis dan Grafis Harkat Perempuan di Galeri Nasional (2001), dan Pameran Tunggal Instalasi dan Seni Grafis Opera Biru di Museum Nasional Jakarta.(2004).
Penghargaan yang pernah diterima Marida berupa medali khusus dari pameran Pan Pacific Art Seoul, II Mediteranian Biennale Graphic Art Athena, Biennale of Grafic Arts LJUBIJANA Yugoslavia (Slovenia), dan dari Galeri Nasional Indonesia.
back to top
MOCHTAR APIN, Bandung
Perupa dan sastrawan Mochtar Apin,(1923-1994) lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, 23 Desember 1923. Pendidikan formal ditempuh di Perguruan Tinggi Kesusastraan Jakarta (1946-1948). Juga di Balai Pendidikan Universitas Guru Seni Rupa Fakultas Teknik Indonesia di Bandung, sekarang ITB (1948-1951). Setelah itu melanjutkan belajar ke luar negeri:
unstnijverheid School, Amsterdam (1951-1952), Ecole Nationale Superieure des Beaux Arts, Paris (1953-1957) dan di Deutsche Akademie der Kunste, Berlin (1957-1958).
Setelah kenyang belajar, Mochtar Apin menjadi tenaga pengajar tetap di FSRD-ITB sejak 1959. Karya-karyanya sering dipamerkan dalam pameran tunggal maupun bersama, di beberapa kota di Tanah Air, maupun di beberapa kota di Eropa antara lain Amsterdam, Swiss, Paris juga di kawasan Asia antara lain Jepang dan Bangkok.
Sampai akhir hayatnya ia menjabat sebagai Guru Besar di Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB Bandung. Karya-karya di masa tuanya, banyak mengekplorasi tema perempuan telanjang. Oleh kritikus Jim Supangkat, kemudian diterbitkan kedalam sebuah buku berjudul Tubuh-tubuh Provokatif.
“Berbeda dengan perupa modernis yang mencari terobosan baru dalam berkarya, Mochtar Apin justru melakukan terobosan sebaliknya, kembali ke ideom lama. Pemikiran dan penjelajahan pada karya-karya ini lebih dekat dengan pengujian kadar komunikasi sebagai bahasa ungkapan (ideom) seni rupa,” kata Jim.
back to top
MUDJITHA, Yogyakarta
Boleh jadi komunitas seni rupa sekarang ini tidak mengenal siapa Mudjitha. Perupa ini lahir di Jember, Jawa Timur, 4 Desember 1934. Belajar melukis di ASRI (1955-1960) jingga memperoleh gelar Diploma I dan II. Kemudian melanjutkan kembali hingga tahun 1968 berhasil meraih gelar Sarjana Muda untuk bidang dekorasi dari STSRI “ASRI” Yogyakarta.
Namanya berkibar pada tahun 1970-an, setelah berkiprah bersama rekan-rekannya dalam Sanggar Batik Banjar Barong Yogyakarta, dan banyak melakukan pameran di dalam dan di luar negeri.
Dari dua lukisan batik yang dikoleksi Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, karya tahun 1974 dan 1976, menunjukkan upaya Mudjitha mencari pembaruan tradisi dengan pendekatan modern.
back to top
MULYADI W, Jakarta
Pelukis Mulyadi W, lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 22 Agustus 1938. Belajar seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta (1955-1960). Tahun 1959 turut mendirikan Sanggar Bambu bersama Sunarto PR dan kawan-kawan. Tahun 1972, dipercaya kawan-kawannya menjabat Ketua Sanggar Bambu.
Mulai tahun 1970 sampai sekarang aktif pameran didalam hingga luar negeri. Meski sudah tidak muda lagi, ia aktif mengikuti kompetisi seni lukis yang ada di Tanah Air, dengan ‘lawan-lawannya’ para pelukis muda dari berbagai pelosok. Menerima penghargaan dari Indofood Art Award 2002.
Karya-karya Mulyadi, dari tahun 1960- sekarang, cenderung mengangkat sosok-sosok perempuan hingga anak-anak, dalam tema keseharian, dengan pendekatan realistik, dengan terus mengadakan pembaruan disana-sini, termasuk penggarapan barik. Kadang karyanya mengajak kita melongok kedalam diri sendiri, tapi juga mengajak kita tertawa mengenang masa kecil. Meskipun semua itu bukan lahir karena konsep. Ia melukis apa yang terpikir dari apa saja yang terekam di kepala dengan corak yang di dapat dari sepanjang penghayatannya sebagai seniman.
back to top
MOELYONO, Tulungagung
Perupa Moelyono, setelah lulus dari belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, memilih kembali dan berkarya di kampung halamannya, Desa Winong, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulung Agung, Propinsi Jawa Timur.
Meski tinggal di kampung, melalui berbagai jaringan yang ia punyai, perupa yang penah mengajar di sekolah menengah swasta itu tak pernah sepi dari kegiatan seni dan kemasyarakatan, termasuk didalamnya pameran di berbagai kota. Pameran terbarunya berlangsung di Bentara Budaya Jakarta (2006). Dekade 1990-an, ia pernah pameran drawing hitam putih di Galeri Lontar, Jakarta, dan pada pasca reformasi ia menggelar pameran instalasi Orde Batu; untuk menggambarkan kekerasan semasa Orde Baru.
Pak Moel, sapaan akrabnya, mendirikan kelompok seni rupa lingkungan yang bisa menerapkan gerak seni rupa yang mengangkat dan memecahkan praktik problem sosial masyarakat (praksis dialogis). Kegiatannya dalam hal ini antara lain membimbing anak-anak (usia SD) mampu memecahkan masalah kemiskinan sendiri dengan cara menjual gambar-gambar mereka, yang di cetak menjadi kartu pos. Uang hasil jualan bisa untuk mengatasi hidup anak-anak sendiri sehari-hari.
Praktik kesenian Moelyono, tidak berhenti pada keindahan. Bagi dia, seni rupa sebagai media penyadaran untuk mendorong perubahan sosial.
back to top
MURYOTO HARTOYO, Jakarta
Perupa Muryotohartoyo lahir di Yogyakarta, 1 Maret 1942. Alumnus STSRI “ASRI” Jurusan Seni Lukis ini, dikenal sebagai salah satu eksponen Gerakan Seni Rupa Baru (1973-1979) yang merupakan sebuah tonggak seni rupa Indonesia setelah era Persagi (1938-1942).
Konsep berkaryanya saat itu – melukis adalah main-main – sempat menjadi bahan perdebatan sengit di media massa antara dua kritikus besar pada zamannya, yaitu Kusnadi dan Sudarmadji. Menurut Kusnadi kalau konsepnya main-main hasilnya ya main-main. Lalu dengan geram menuding Sudarmadji tidak (berani) memberi pendapat atas kemerosotan ide maupun hasil karya ini. Namun dalam sanggahannya Sudarmadji mengaku telah menyindir bekas mahasiswanya itu lewat tulisan di Sinar Harapan. Intinya, karena konsepnya main-main, maka pengamatan serius kurang diperlukan.
Sesungguhnya konsep Muryoto tersebut lahir sebagai penentangan terhadap konsep seni lukis ‘jiwa ketoknya’ S.Soedjojono yang telah dijadikan jimat banyak orang. “ Bagi saya menulis adalah main-main. Persoalan tersebut tidak perlu harus dilakukan penuh haru, penghayatan, memadu rasa, serta dengan pernyataan jiwa (ekspresi) yang mendalam, nggekeng atau serius! Tetapi tepat apabila dikatakan , dilakukan secara santai, seperti melobangi kanvas, corat-coret sambil menutup mata atau memasang apa saja di atas atau disatukan dengan kanvas. Pokoknya melukis tidak ada lebihnya dengan makan minum atau memecahkan telur untuk campuran bikin martabak.”
Tahun 1960-an sampai 1970-an ia aktif pameran bersama, antara lain Pameran Muhibah Keliling Sanggar Bambu di Jawa dan Madura (1961-1965), Pameran berdua dengan Bambang Bujono di Balai Budaya (1972), Pameran Besar Seni Lukis - Bienal DKJ (1974 -1980), Pameran Kelompok ASRI dan ITB, sebagai embrio GSRBI (1974), Pameran Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia di TIM Jakarta (1975).
Pasca GSRB, ia mencurahkan waktunya untuk mengajar seni rupa, berceramah, dan duduk di Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006). Dan dalam Biennal Jakarta 2006, ia akan mengaktualisasi kembali konsep lamanya : melukis adalah main-main.
back to top
NARSEN AFATARA, Surakarta
Perupa Narsen Afatara, lahir di Surabaya, Jawa Timur, 11 Juli 1950. Lulusan STSRI “ASRI” Yogyakarta (1978) dan Pasca Sarjana (S2) Universitas Gajah Mada Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1991) ini, telah lama mengabdikan diri sebagai dosen di UNS Surakarta, Jawa Tengah.
Untuk mengungkapkan ide-idenya, Narsen tidak cukup menggunakan bahasa seni lukis saja. Beberapa tahun belakangan ini, karya-karyanya cenderung menggunakan mix media, bahkan berujud performance art. Publik seni di Jakarta, masih ingat dengan baik salah satu karyanya berjudul Power , yang tampil dalam Pameran Seni Rupa Kontemporer – Festival Istiqlal II 1995.
Karya instalasi bercampur dengan pertunjukan tari dan musikalisasi tembang-tembang religius itu, mencoba menggambarkan sebuah kekuasaan, lengkap dengan sebab akibatnya, saat itu.
Kegiatan pamerannya antara lain Pameran Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat /KIAS (1991), Pameran Multi Media Nawagatra, Taman Budaya Jawa tengah,Solo (1994), Pameran Internasioanal Performance Art Seni Rupa Kontemporer Istiqlal II di Gedung Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional) 1995, Performance Art/Kolaborasi Festival Seni Surabaya (1996), Pameran di Museum Seni Lukis Klasik Bali Nyoman Gunarsa (2000), Pameran Anugerah Adipura Citra Raya Jakarta (2004).
Semasa kuliah di kota gudeg, ia berhasil meraih Penghargaan Affandi Prize “ASRI” Yogyakarta (1976) dan Karya Terbaik “ASRI” STSRI Yogyakarta (1978).
back to top
NASHAR, Jakarta
Nashar (1928-1994) adalah pelukis yang dengan intens mencari esensi obyek-obyek manusia, alam dan lingkungan, tetapi esensinya adalah bagaimana ia mengungkapkan totalitas jatidiri. Perjuangan kreativitas Nashar dirumuskan lewat kredo ‘Tiga Non’, seperti termuat dalam buku Surat-surat Malam (1976).
Pertama, Non konsep, maksudnya ketika mulai melukis ia belum punya gambaran, konsep, bahkan gaya apa yang mau dipakai. Ia hanya mengandalkan keinginan jiwa dan intuisi pada sat itu. Kedua, Non obyek. Ia percaya bahwa suasana intens dalam melukis akan mendorong untuk mendpatkan suatu bentuk atau obyek sendiri dalam kanvas. Ketiga, Non teknis. Dalam melukis ia tidak berangkat dari pola teknis. Teknis akan menyesuaikan dengan citra dalam berkarya.
Tahun 1970-an, pelukis kelahiran Pariaman, Sumatra Barat, yang pernah menjadi mengajar seni rupa di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), mencapai totalitas abstaksi dalam karya-karyanya.
Tiak hanya lukisannya yang fenomenal, sikap hidup Nashar juga fenomenal. Sikap asketik dan non komporomis sering dianggap mengabaikan kesehatan dan keluarganya. Sampai akhirnya ia “kalah” dan mengembuskan nafas pada tahun 1994.
Semasa hidupnya, Nashar aktif pameran. Pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1973-1976) dan kemudian menjadi Pengurus Harian Kesenian Jakarta periode 1981-1984. Ketika Biennale 1993/1994 kurator Jim Supangkat lebih memberi tempat pada seni rupa kontemporer, ia marah dan menuduh Jim sedang melakukan pembunuhan pada seni lukis Indonesia. Waaupun tuduhan itu sampai sekarang tidak terbukti.
back to top
NASIRUN, Yogyakarta
Pelukis Nasirun lahir di Cilacap, Jawa Tengah, 1965. Ia menjalani pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, hingga meraih gelar sarjana seni rupa tahun 1994.
Karyanya terpilih sebagai finalis dalam acara Philip Morris – Indonesia Art Award 1996 dan 1997. Penghargaan lain yang pernah diterima adalah Sketsa dan Seni Lukis Terbaik ISI Yogyakarta, McDonald Award pada Lustrum ISI ke X.
Ia aktif berperan, baik tunggal maupun bersama, sejak tahun 1993 sampai sekarang, antara lain di Yogyakarta, TIM, Galeri Nasional, galeri-galeri di Jakarta, Bentara Budaya Jakarta dan Yogyakarta, CP Open Biennale 2003.
Dalam karya-karyanya, Nasirun sering mengangkat suasana malam lengkap dengan kisah-kisah pertunjukan wayang hingga mitologi, menggunakan warna gelap dan pekat. Kepekatan dan ketebalan cat memunculkan kesan guratan dan barik pada permukaan lukisannya.
back to top
NASYAH DJAMIN, Jakarta
Seniman Nasyah Djamin (almarhum), lahir di Perbaungan, Deli, Sumatra Utara, 1924. Dikenal luas sebagai pelukis, pemain teater dan sastrawan. Belajar melukis tahun 1944 pada seorang Jepang, Kikuo Matushita, di Medan. Dilanjutkan 1946, belajar melukis di Seniman Indonesia Muda (SIM) di bawah bimbingan S.Soedjojono, Affandi dan Sudarso.
Tahun 1945, sebelum merantau ke Jawa, mendirikan organisasi pelukis Angkatan Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Medan. Sejak tahun 1952 bekerja pada bagian Kesenian Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, Jakarta; yang memberi peluang ia aktif pameran di dalam dan luar negeri.
Penerima Hadiah Anugerah Seni dari Pemerintah RI (1971) ini, hijrah ke Yogyakarta, sambil terus aktif berkarya, ia menjadi pegawai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sampai pensiun. Di kota itu pula, seniman yang pernah menerima penghargaan dari BMKN itu, mengembuskan nafas terakhir.
Lukisan-lukisannya cenderung puitis, dan menempatkan manusia sebagai bagian dari alam yang luas. Kemistisan karya-karya Nasyah Djamin tidak hanya terletak pada warna, tapi juga dalam perbandingan ukuran manusia (selalu digambar kecil) ditengah alam yang begitu luas, pohon, rumput dan bunga begitu besar, cakrawala laut pun begitu perkasa.
back to top
NINDITYO ADIPURNOMO, Yogyakarta
Perupa kontemporer AL Nindityo Adipurnomo, lahir di Semarang, Jawa Tengah, 1961. Setelah lulus dari FSRD-ISI Yogyakarta, memperdalam ilmunya di Rijksakademie van Beeldende Kunsten, the Nederlands. Mendapat kesempatan residensi antara lain di Fukuoka Asian Art Museum (2002), dan Amsterdam Graphic Studio (2006). Kini bersama perupa Mella Jaarsma (istrinya), dan kawan-kawannya, mengelola Galeri Cemeti.
Nindityo termasuk salah satu perupa kontempor yang berada di barisan depan seni rupa Indonesia masa kini. Ia aktif menggelar pameran tunggal maupun bersama di Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Filipina, Belanda, Jerman hingga Amerika Serikat, dengan melibatkan curator nasional/internasional. Menampilkan lukisan, patung, instalasi dan mixed media.
Lewat tema konde (Jawa) antara lain jenis gelung tekuk, Nindityo ingin “mengatakan berbagai hal” dengan cara “mencubit”, menertawakan, hingga mengagumi budayanya sendiri (Jawa) yang complicated. Tidak dengan bahasa ngoko atau bagongan, yang langsung dan kasar, tetapi tetap saja dengan gaya orang Yogya, kromo halus, dengan banyak kiasan. Justru disitulah ia memberi ruang kepada apresiator untuk melihat apa yang ada dibalik , misalnya kondenya yang diperbesar secara ekstrim, menjadi 300 cm X 250cm X 90 cm, yang terbuat dari besi, rambut (kepala sampai kemaluan).
Penggenggam penghargaan Pratita Affandi Adi Karya 1988 ini, tahun lalu mendapat penghargaan dari luar negeri, John D.Rockefeller 3rd Award 2005.
back to top
NOOR SUDIYATI AGUNG, Yogyakarta
Perupa Noor Sudiyati Agung, lahir di Magelang pada 14 November 1962. Pada tahun 1983 belajar di Jurusan Kriya Kayu STSRI “ASRI” (kini FSRD ISI-Yogyakarta). Namun minatnya besar pada seni keramik. Tamat dari ISI, ia nyantrik, magang, di studio Keramik Agung Oka, di desa Munggu, Kapal, Bali. Pada 1990, Noor bersama suaminya Agung Aninditiawan, mendirikan studio "Keramik Kreatif". Melakukan berbagai eksperimen untuk pengembangan teknik maupun gagasan dalam karya keramik-nya. Noor yg baru saja merampungkan pendidikan master bidang seni rupa di ISI-Yogyakarta, adalah pengajar di almamaternya.
Sejak 1984, ia seringkali melakukan pameran bersama di berbagai kota di Tanah Air, diantaranya, di Jakarta: Pameran seni rupa Biennale Seni Lukis di TIM, Pameran seni rupa kontemporer, Pameran seni rupa keramik ekspresif, keduanya di Depdikbud, Gambir; Festival Istiqlal I, Pameran seni keramik di Edwin Gallery, Pameran seni keramik di Bank Universal.2001, dan pameran tunggal Tanah ke Tanah di Galeri Lontar.
Di Semarang: Pameran seni rupa Nasional. Di Yogyakarta: Pameran seni rupa di Senisono, Pameran seni rupa di Bentara Budaya, pameran seni keramik di Hotel Ambarukmo, Pameran FKY III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, Pameran Ajiyasa, FSR ISI, Pameran SSYawalan 1997, Biennale Seni rupa V, pameran seni keramik Nasional, Pameran Festival Kesenian Indonesia, Pameran di Galeri Ardiyanto. Surabaya: Pameran Seni Kriya Genteng Kali. Dan Bali: Pameran tunggal di Kinnara Galeries, Nusa Dua.
back to top
NUNUNG WS, Jakarta
Pelukis Nunung WS, lahir di Lawang, Jawa Timur, 9 Juli 1948. Memperoleh pendidikan seni rupa di Akademi Seni Rupa (Aksera) Surabaya (1967) dengan para gurunya antara lain Amang Rachman dan M Daryono. Melanjutkan belajar kepada pelukis Nashar.
Sejak tahun 1970 sampai sekarang aktif mengikuti pameran bersama maupun tunggal. Selain itu bersama suaminya, pelukis M Sulebar Sukarman, sering menangani berbagai event seni rupa. Memperoleh penghargaan dari DKJ (1978) dan Krida Wanodya sebagai karya terbaik seni rupa (1994). Pelukis yang pernah aktif di kelompok Nuansa ini, sekarang banyak berkarya di Yogyakarta.
Karya Nunung yang abstrak itu cenderung mengekspresikan kembali apa yang pernah dilihat, dirasakan, di alam ini , lewat warna. Lukisannya tidak mau terikat bentuk, bahkan lebih jauh dari itu ia masuk dan mengabstraksikan terhadap bentuk itu sendiri. Sehingga ia bisa membebaskan diri, menyapukan berbagai warna yang diinginkan.
back to top
NUZURLIS KOTO, Surabaya
Perupa Nuzurlis Koto, lahir di Lasi, Bukit Tinggi. Sumatra Barat, 15 Agustus 1946. Pernah belajar seni lukis di bawah bimbingan pelukis terkemuka Wakidi. Kemudian hijrah ke Jawa Timur. Tahun 1967 belajar seni rupa di Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera); sebuah institusi pendidikan seni yang telah banyak melahirkam seniman Surabaya, meskipun belum pernah sekalipun menghasilkan lulusan sampai akhirnya tutup awal 1970-an.
Ia telah puluhan tahun malang melintang berkarya dan mengadakan pameran lukisan maupun patung, baik di Surabaya, Jakarta maupun kota-kota lainnya. Pernah sekali pameran tunggal seni patung di Lembaga Indonesia Amerika (LIA) Surabaya. Dalam konteks biennale yang digelar DKJ, Nuzurlis termasuk ke dalam tiga perupa yang paling banyak ikut serta, yakni 9 dari 12 kali penyelenggaraan.
Karya-karya lukisan maupun patungnya cenderung abstrak, namun jejak representasinya masih terasa kuat di balik pilihan tema dan obyeknya. Adapun pilihan warna dalam karya-karya lukisannya dominan keras dan menyengat, bagai matahari kota Surabaya.
Atas dedikasi dan ketekunannya berkarya, Nuzurlis Koto mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Timur.
back to top
NYOMAN ERAWAN, Bali
Perupa, dan pemain seni (rupa) pertunjukan I Nyoman Erawan, lahir di Sukawati, Bali, 27 Mei 1958. Lulusan ISI Yogyakarta ini hidup sebagai perupa profesional, di kampung halamannya Dlodtangluk, Bali.
Karya-karyanya, sejak 1980-an memperjelas bahwa ‘pencarian corak keindonesiaan’ telah sampai pada ‘penemuan nafas segar’ dalam salah satu belahan peta seni rupa modern Indonesia. Meski tak kuasa lepas dari wilayah kemenduaan (ambigu) – sekaligus menjadi kekuatan bahasa rupanya – kehadiran Erawan menambah catatan panjang bagiproses pencarian dan penemuan yang ditempuh para perupa generasi sebelumnya sejak penghujung tahun 1930-an hingga awal 1970-an.
Dalam seperempat abad proses kreatif seni rupanya, ia telah menggelar puluhan kali pameran bersama dan tujuh kali pameran tunggal lukisan maupun instalasi, didalam dan luar negeri. Pameran tunggalnya Pralaya Prosesi Kehancuran dan Kebangkitan di Bentara Budaya Jakarta (2003) mendapat tanggapan ramai di media massa.
Tahun 1979 ia bermain teater asuhan Ikranegara di TIM. Setelah itu ia banyak bermain dalam seni (rupa) pertunjukan, yang popular disebut performance art, sebagian besar berlangsung di Bali.
Untuk kiprahnya tersebut ia diganjar 11 penghargaan dari berbagai pihak. Setelah penghargaan pertama First Prize ‘The Philip Morris Group of Companies’, Indonesia Art Award 1994; disusul penghargaan Winsor and Newton,Inggris; Lempad Prize untuk Seni Lukis dari Sanggar Dewata Indonesia; Penghargaan dari Masyakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dalam Milleni-Art Menyongsong Millenium III; Piagam Penghargaan Wija Kesuma 2004, dari Pemda Kabupaten Gianyar-Bali; Penghargaan Astra Otoparts Art Award 2005 sebagai Time Achievment , Bali Biennale 2005.
back to top
NYOMAN GUNARSA, Bali
Pelukis Nyoman Gunarsa, lahir di Banda Klungkung, Bali, tanggal 15 April 1944. Belajar seni rupa di Sekolah Tinggi Seni Rupa – (STSRI) “ASRI “ hingga tamat tahun 1976. Menjadi dosen di ISI Yogyakarta, sampai tahun 1994 mengundurkan diri untuk fokus melukis dan mengelola Museum Nyoman Gunarsa di kampung halamannya.
Tahun 1967 menggelar pameran tunggal di Museum Nasional, Jakarta. Disusul puluhan kali pameran tunggal berikutnya di TIM Jakarta, Art Center Bali, Yogyakarta, hingga berbagai galeri di Singapura, Malaysia, Polandia, Belanda, Paris, Jerman, Swiss, Jepang dan AS. Selain itu Nyoman Gunarsa juga aktif mengikuti puluhan kali pameran bersama, di antaranya bareng Sanggar Dewata Indonesia berpameran di Jakarta, Yogyakarta dan Bali. Maupun di luar itu ikut pameran KIAS (1981), Biennale Sao Paulo, Brasil (1983), dan Bali Art Festival PKB XXV
Penerima Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI (2003) ini, sampai sekarang mengantongi banyak penghargaan diantaranya tahun 1976 dan 1978 terpilih sebagai pelukis terbaik Indonesia versi DKJ, Affandi Adi Karya ISI Yogya (1976) dan Biennale Yogyakarta(1984).
Karya-karya lukisan dan sketsa (drawing)-nya sejak sebelum maupun pasca stroke, cenderung konsisten mengangkat tema Bali (tarian, dan perempuan), dengan ciri khasnya sendiri. Hal ini laras dengan pandangannya dalam mencipta bahwa nilai-nilai seni budaya Indonesia merupakan sumber inspirasi. Lukisan yang baik, katanya, haruslah memiliki kriteria artistik, ekspresif, kreatif, mempribadi, dan bertaksu.
back to top
NYOMAN NUARTA, Bandung
Pematung Nyoman Nuarta, lahir di Tabanan, Bali, 1951. Belajar mematung di Fakultas Seni Rupa dan Desain – Institut Teknologi Bandung (ITB) hingga meraih gelar sarjana (1976).
Nyoman yang namanya berkibar sejak 1970-an dalam arena seni rupa di Tanah Air, mengembangkan gagasan seni patungnya dengan memberi ruang yang besar pada kecenderungan figuratif. Karya-karyanya perjalanan ulang alik antara menyerap tradisi dengan cara pandang masa kini. Ia mengambil cerita dari tradisi atau budaya leluhurnya (Bali), tapi juga menimba gagasan dari kehidupan modern.
Pameran tunggalnya yang berlangsung sejak 1989 sampai sekarang yaitu Menembus Ruang dan Waktu, Galeri Nasional, Jakarta (1989), Menguak Tabir Kawat, Jakarta (1990), Kalamatra, Galeri Nasional,Jakarta (1995), Reflection, Bali (1999), Sekala dan Niskala, Edwin’s Gallery (2000), Reality and Bion, Washington DC, USA (2002), UWCA, Singapura (2003), Solo Exhibition, Plaza Indonesia,Jakarta (2003).
Adapun pameran bersamanya telah berlangsung puluhan kali di Jakarta, Bandung, Paris, New York, India, Jepang, Pilipina, Swiss, hingga Italia.
Ia termasuk salah satu dari sedikit pematung yang sering mendapat kesempatan membuat patung monumen antara lain Monumen Proklamator Indonesia di Jl. Proklamasi, Jakarta (dibuat bersama G Sidharta Sugiyo), Monumen Jales Viva Jayamahe di Surabaya, Arjuna Wijaya di Jakarta, dan Garuda Wisnu Kencana, Bali.
Penghargaan diperoleh antara lain dari Pemerintah Indonesia untuk Monumen Proklamasi (1979), dari Gubernur DKI untuk Arjuna Wijaya (1987), Nanyang Academy of Fine Art Singapore (1989), Pemenang Kompetisi Patung Monumen Nasional Indonesia (1995) dan APEC Sculpture Garden, Philipina, dari Kedutaan Indonesia di Manila.
back to top
NYOMAN SUKARI, Yogyakarta
Pelukis Nyoman Sukari, lahir di Karangasem, Bali, 1968. memperdalam seni lukis di Fakultas Seni Rupa dan Desain-Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, jurusan seni lukis.
Aktivitas pameran bersama Sanggar Dewata. Selain itu mengikuti pameran Festival Mahasiswa Seni se-Indonesia, pameran Philip Morris Indonesia Art Award, dan pameran-pameran lainnya yang berlangsung di Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Bali, hingga Darwin (Australia).
Sejumlah penghargaan yang pernah diterima antara lain Hadiah Sketsa Terbaik dari SMSR Denpasar (1989), Penghargaan Sketsa dan Seni Lukis Terbaik dari FSRD-ISI (1990), Penghargaan Pratisara Affandi Adi karya (1994), dan finalis Philip Morris Indonesia Art Award.
Karya-karya lukisan Sukari menampakkan kecenderungan surealitas yang hadir ke dalam dunia realitas. Ia menggambarkan dewa-dewa, ruh-ruh yang jauh, supra manusia, bayi yang belum ada dalam kandungan, atau hewan-hewan purba yang tak pernah dilihatnya. Imajinasinya itu digambarkannya dalam sapuan-sapuan cat yang ramai berkelebat, dan guratan-guratan diatas cat basah.
back to top
NYOMAN TUSAN, Bali
Tubuh boleh di mana saja, hati tetap Bali. Begitulah pelukis Nyoman Tusan, lahir di Tejakula, Bali, tanggal 10 Januari 1933. Meski ia lama tinggal dan bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, lukisan-lukisannya tidak pernah berhenti menggali falsafah hingga obyek tradisi Bali, termasuk di dalamnya Cili. Maklum, Bali tempat ia lahir, dan Bali menjadi tempat ia pulang menghadap Dewata.
Semasa hidupnya, Nyoman Tusan kuliah di Departemen Seni Rupa ITB Bandung. Tahun 1976-1977 mengikuti kuliah pada Koningklijke Academi voor Schone Kunsten di Geut, Belgia. Pernah menjadi dosen tidak tetap di Universitas Udayana, Bali, tahun 1966-1974.
Sejak duduk dibangku kuliah, ia telah aktif mengikuti pameran di dalam dan di luar negeri. Karya-karyanya antara lain menjadi koleksi Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
back to top
OESMAN EFFENDI, Jakarta
Kehadiran pelukis Oesman Effendi (1919-1985) asal Sumatra Barat, yang akrab dipanggil OE dalam jagad seni rupa, menandai era individualitas. Bersama Nashar dan Zaini, sering disebut pelukis “tiga serangkai” dari seberang (Pulau Jawa), yang memiliki visi maupun riwayat hidup yang seiring.
Pada waktu ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta pada masa revolusi kemerdekaan, mereka termasuk para pelukis yang mengalihkan aktivitasnya keluar dari Jakarta dan bergabung ke kota revolusi Yogyakarta. OE masuk sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM) yang berpindah-pindah dari Madiun, Solo, dan Yogyakarta.
OE bersama tiga serangkainya, kemudian keluar dari sanggar SIM Yogyakarta yang dirasakan semakin hanyut pada ideologi kerakyatannya, yang cenderung
politis dan kekiri-kirian. Lalu balik kembali ke Jakarta.
Ketika berada di Yogyakarta, tahun 1950-an itu, katakanlah di tengah kepungan seni lukis berorientasi kerakyatan tersebut, OE cenderung pada seni lukis abstrak. Ia melakukan eksperimen-eksperimen dengan warna dan garis, terutama dengan media cat air dan pastel. Tujuan utamanya tak lain untuk (terus) mencari kemerdekaan pribadi.
Sesudah tahun 1960, OE semakin intens dengan dunia abstrak, sehingga alam dan obyek-obyek hanya tinggal esensi yang diungkapkan lewat ritme visual. Dalam ritme itu ia mengekspresikan karakter-karakter medidatif, puitis, dramatik, dan magis lewat garis dan warna. Pencapaian ini dimulai lewat proses perjuangan sikap kesenian yang soliter dari lingkungan sosiokulturnya. Ia juga mendalami tasawuf, sehingga menambah intensitas spiritualitas karya-karyanya. Sehingga beberapa pengamat menyebutnya sebagai pelopor seni lukis abstrak Indonesia.
Selama hidupnya OE telah sering pameran. Antara lain, diundang Dewan Kesenian Jakarta mengikuti bienal pertama 1974, 1976 1978, 1982, dan pada Biennale Jakarta 2006 sekarang ini. Jadi, dari 12 kali biennale, 5 kali ia ikut. Pada tahun 1976 tersebut ia termasuk salah satu pemenang Penghargaan Lukisan Terbaik pada Pameran Biennale Indonesia.
back to top
O.H. SUPONO, Surabaya
Pelukis dan pematung Surabaya yang bernama lengkap Raden Ogeng Heru Supono , lahir di kota pahlawan, 14 Juli 1937, meninggal tahun 1991. Mulai melukis sejak SMA, tahun 1955. Pernah belajar di Akademi Kesenian Surakarta, Jurusan Seni Rupa. Ia juga pernah bergabung dalam kelompok Sanggar Angin Surabaya.
Semasa hidup sering mengikuti pameran di kota-kota besar di Indonesia, Asean hingga Eropah. Lukisannya banyak dikoleksi oleh kolektor maupun instansi di dalam dan luar negeri.
Supono, oleh teman sejawatnya dikenal sebagai seniman yang tekun dan terus mencari berbagai gagasan baru dan teguh dalam bersikap. Selain mengangkat tema nostalgia, ia tertarik mengangkat tema binatang hingga Borobudur. Khusus Borobudur, ia menaruh kekaguman luar biasa, tidak hanya karena tiada taranya di dunia ini, tapi juga kandungan isi yang ada pada reliefnya. Itulah sebabnya ia sambil melukis juga berguru pada candi itu.
back to top
OSCAR MATULLOH, Jakarta
Fotografer Oscar Matulloh, lahir di Surabaya, Jawa Timur, 17 Agustus 1959. Pengajar di Jurusan Film dan Fotografi Institut Kesenian Jakarta (IKJ), memulai karier jurnalis foto, sebagai wartawan tulis merangkap fotografer di Lembaga Kantor Berita Nasional Antara. Kematangan dan keuletan di lapangan, serta peluang yang diperoleh dari tempat kerjanya, menjadikan Oscar kini mengepalai Galeri Foto Jurnalistik Antara, yang terletak di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat.
Di bawah kepemimpinannya, galeri foto tersebut kini menjadi medan ekspresi yang penting bagi fotografer profesional, maupun para kader-kader fotografer.
Kalau sebelumnya karya-karya fotonya hanya untuk dimuat di media massa, mulai tahun 1999 ia gelar melalui sebuah pameran tunggal maupun bersama, yang mendapat respon gegap gempita dari komunitas fotografi maupun media massa. Pernah menggelar pameran tunggal, antara lain Karnaval, di Galeri Lontar, Jakarta (1999),The Art of Dying, CP Art Space, Washington DC, AS (2002), dilanjutkan di Bentara Budaya Jakarta dan Chansons Peripheriques, Galeri CCF, Jakarta (2003). Pada tahun yang sama, ia diundang mengikuti biennale internasional CP Open Bienniale, di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
back to top
OTTO DJAJA, Jakarta
Pelukis Otto Djaja (1916-2002) dilahirkan di Rangkas Bitung, Banten. Anggota Persagi dan SIM ini, pada zaman pendudukan Jepang mendapat pendidikan ketentaraan untuk perwira Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor, Jawa Barat. Pada masa revolusi dengan pangkat Mayor TNI ia ikut maju ke medan tempur. Setelah proklamasi mendapat kesempatan belajar di Rijksacademie van Beeldende Kunsten Amsterdam dan Universiteit van Amsterdam, Faulteit Letteren en Wijsbegeerte. Selain itu ia juga mengikuti studi keliling ke negeri Belanda, Belgia, Perancis, Itali dan Swiss.
Pada zaman Jepang, Otto menjabat sebagai wakil ketua bagian Seni Rupa, Pusat Kebudayaan di Jakarta. Pernah mengikuti Exposition le Grand Prix de Peinture en Monaco di Monte Carlo, mendapat predikat Mention Honorable, dan pameran bienale di Salo Paolo, Brasilia. Selama hidupnya sering pameran di Jakarta, maupun di Melbourne, Australia. Untuk biennale yang digelar DKJ, Otto pernah ikut tahun 1974, 1978, lalu absen lama, baru kemudian 2006 diundang kembali.
Lukisan Otto dengan figur-figur naif, warna cerah dan goresannya yang linier, dapat menangkap jiwa kehidupan masyarakat, dan dibungkus humor yang satiris. Ia suka mengangkat tema sindiran tentang kemunafikan lingkungan sosial. Misalnua dalam karyanya tentang tema resepsi, suasana pasar kain batik, atau adegan praktik perdukunan. Agar kritiknya yang tajam itu tidak terlalui melukai perasaan, Otto menggunakan tokoh-tokoh Punakawan dari dunia pewayangan, dan legenda-legenda tradisional.
back to top
PANDE GDE SUPADA, Bali
Perupa Pande Gde Supada, lahir di Singaraja, Bali, tanggal 8 Maret 1949. belajar seni rupa dijalaninya di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, Jurusan Seni Lukis.
Karya-karya salah satu pendiri Sanggar Dewata di Yogyakarta ini, banyak mencitrakan tema dan obyek yang ada dalam keseharian masyarakat Bali, seperti wayang dan berbagai perlambang dari khasanah perlengkapan sesaji yang bersemangat religiusitas Hindu.
Tema-tema pewayangan tersebut digarap dengan teknik realisme yang menggambarkan plastisitas bentuk, disertai penebalan tekstur yang ornamentik.
Ia aktif aktif pameran di berbagai kota di Tanah Air. Dan karya-karyanya banyak menghiasi dinding kolektor dan institusi, antara lain Bentara Budaya Jakarta.
back to top
PANDE KETUT TAMAN, Yogyakarta
Pelukis berdarah Bali, Pande Ketut Taman, lahir di Gianyar, 9 April 1970. Belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, hingga meraih gelar sarjana seni (1998). Setelah lulus, ia memilih tidak kembali ke kampung halaman, melainkan menetap tinggal di Bantul, Yogyakarta.
Dalam berkarya ia kerap membuat figur orang secara deformatif dengan medium cat minyak di atas kanvas, maupun dengan media campuran.
Ia sering menggelar pameran tunggal di dalam dan di luar negeri, di antaranya di Sika Gallery, Bali (1999), di Museum del Kulturen Basel, Swiss (2001), di Langgeng Gallery, Magelang (2002). Selain itu juga aktif ikut pameran bersama antara lain Biennale Yogyakarta (1999), Philip Morris Art Awardss, Jakarta (1999), dan bersama Yayasan Seni Rupa Indonesia pameran di Beijing dan Shanghai, China (2003).
back to top
PINTOR SIRAIT, Bali
Pematung berdarah Indonesia-Jerman, Pintor Sirait, lahir di Braumsweig, Jerman, 1962. Belajar seni liberal di University of Nevada, Reno (UNR) Amerika Serikat. Di AS ia pernah bergabung dengan kelompok perupa yang mempromosikan semangat multikulturalisme. Sekembalinya di Indonesia, sempat mengikuti workshop di Jurusan Seni (Patung) FSRD-ITB.
Sejak 1991 aktif pameran tunggal maupun bersama, di beberapa kota di Jakarta, Bali, Singapura, dan Eropa.
Kara-arya Pintor mencerminkan suatu keberagaman yang tak hanya memperlihatkan penjelajahan tapi juga gagasan. Tak hanya ruang galeri, tapi juga ruang publik dan ruang kehidupan itu sendiri. Misalnya, pada Bienniale Seni Rupa Jakarta IX, 1993/1994, ia menampilkan karya instalasinya pada publik Jakarta. Ia juga pernah membuat instalasi ruang dengan efek cahaya, serta patung-patung konstruktif untuk ruang terbuka.
Penerima penghargaan The 6th Symposium d’Art Plastique dari Pemerintah Prancis ini, ikut menangani sejumlah Monumen 66. Bersama Michael Sarich, Yen-Chung dan Dei Flint membangun mural yang disponsori oleh C.I.T.Y 2000 dan The Reno Development Agency, Reno, NV-USA.
back to top
POPO ISKANDAR,Bandung
Bapak “jago” dan “kucing” Popo Iskandar (1929-2000) kelahiran Garut, Jawa Barat, sebelum belajar seni rupa di ITB (1954) sampai meraih gelar sarjana, ia lebih dahulu belajar melukis pada pelukis Angkama, Hendra dan Barli.
Selain melukis, ia mengabdikan diri di jalur pendidikan. Pernah menjadi guru SMP, SPG, asisten dosen di almamaternya, kemudian diangkat menjadi doawn Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung – sekarang berganti menjadi Universitas Negeri Bandung-- sampai pensiun.
Popo yang rajin menulis masalah seni dan budaya di media massa terbitan Bandung, Yogyakarta dan Jakarta, tahun 1970 diangkat menjadi anggota Akademi Jakarta hingga wafat. Pada ahun 1979 membuka museum pribadi di Bandung. Aktif pameran di dalam dan luar negeri, termasuk 4 kali ikut biennale yang digelar DKJ : 1982, 1984, 1998 dan 2006.
Dalam ranah seni lukis, ia dikenal sebagai pelukis yang sangat esensial dalam menangkap obyek-obyeknya. Dengan tetap mengembangkan berbagai unsur visual lain dan cara pengolahan. Hal itu dapat dilihat misalnya dalam pengolahan tekstur, efek-efek teknik transparan, maupun pengolahan deformasi dan komposisi obyek-obyeknya.
Popo juga melakukan penggalian psikologis untuk menampilkan esensi dan ekspresi obyek yang dilukis, sehingga karakter obyek bisa diungkapkan secara khas. Dalamserial obyek kucing, ia menggali esensi berbagai gerak kucing: jinak, lucu, indah, hingga misterius. Dengan obyek ayam jago dan kuda ia bisa menampilkan kejantanan, hingga kegagahan. Dari berbagai serial obyek-obyek itu, yang paling femomenal dan akhirnya menjadi ciri adalah obyek kucing.
Oleh pengamat Popo diletakkan sebagai seorang modernis yang berhasil meletakkan azas kemurnian kreativitas individu dalam karya-karyanya.
back to top
PRATOMO SUGENG, Jakarta
Pratomo Sugeng mempunyai dua nama lain, yakni Pringgo Utomo alias Geng Tjwan Tek. Lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 1946.Perjalanan hidupnya untuk menjadi seorang pelukis ditekuni dengan tekad dan kemauan yang keras. Niat ingin belajar seni rupa di ASRI tidak pernah kesampaian. Disamping karena peraturan pemerintah saat itu yang tidak mengizinkan para siswa dari sekolah Tionghowa belajar di sekolah milik Negara. Lagi pula baru kelas dua SMA, ia sudah berhenti, karena sekolahnya ditutup menyusul peristiwa G30S/PKI 1965.
Lalu ia belajar melukis pertama kali kepada pelukis R. Hadi. Dilanjutkan belajar pada jago pelukis realis-naturalis Dullah sejak 1973-1978, mulai di Himpunan Budaya Surakarta, Solo, Jawa Tengah, sampai di sanggar Pejeng, Bali. Setelah tinggal di Madiun, Singosari, Malang dan Pandaan, Jawa Timur, pada awal 1990 hijrah ke metropolitan Jakarta. Tidak seperti kebanyakan murid Dullah, ia terus mencari jalannya sendiri; terutama jalan visual yang mempribadi.
Dalam usianya yang tidak muda lagi, ia tetap bersemangat mengikuti kompetisi seni lukis yang ada di Tanah Air. Tidak sia-sia, tahun 2002, karyanya terpilih sebagai salah satu finalis Indofood Art Award.
Impian untuk bisa menggelar pameran tunggal, baru terwujud pada tahun 2004, di Nadi Gallery, Jakarta, ketika usia Pratomo menginjak usia 58 tahun. Pameran tersebut bertajuk Retorika Pe(r)sona. Dari pameran ini, namanya kemudian masuk dalam peserta Summit Event Bali Biennale (SEBB) 2005, serta lima pameran bersama dalam sepanjang tahun kemarin., yakni di Edwin’s Gallery, Vanessa Art House, Gallery Canna, dan Ancol.
back to top
PRIYANTO S, Bandung
Kartunis Priyanto Sunarto, yang popular Pri S, lahir di Magelang, 10 Mei 1947. Sejak 1973 menjadi staf Staf Pengajar di FSRD-ITB Bandung. Sejak 1978 menjadi dosen , dan bekerja sebagai kartinus majalah Tempo (1977-1994, 1998 - sekarang). Ia juga sering berceramah dan menggeluti desain.
Hingga sekarang, salah satu kartunis penting di Indonesia ini, telah sering pameran, diantaranya Pamer'74 (1974). Pameran Konsep (1976), Pameran & Diskusi Keliling Gambar bebas "Persegi", Jakarta, Bandung, Yogya, Solo (1978,1979-1980,1981), Pasaraya Dunia Fantasi (1987), Pameran & workshop kartun di Kualalumpur (1989), Pameran & ceramah kartun di Tokyo (1991). Pameran & ceramah kartun di Surabaya (1992), Pameran keliling gambar bebas Segi Enam Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya (1995-1996), Pameran gambar Artrologia (2005)
Disamping itu, ia melakukan ekperimen bebas, diantaranya eksperimen buku Puisi Kongkret O puisi Sutardji Calzoum Bachri (1973), Evaluasi & reorganisasi (disoreintasi) Peta Bumi Indonesia Baru (1977), Proyek Pasir ( Curiosity ) Hak Azasi Pasir dan Migrasi Pasir ke 80 alamat pos (1987-1988), Bioskop Eksperimental Gambar Toong ( Voyeurism ) Jakarta, Bandung, Medan, Yogya (1982-1984). Bioskop eksperimental Sineraya Bioskop 5 Dimensi (information Boom ) Bandung (1987).
back to top
RITA WIDAGDO, Bandung
Pematung dan pendidik, Rita Wizemann, lahir di Rottweil Jerman, tanggal 26 November 1938 . Setelah menikah dengan Widagdo, seorang desainer asal Solo, Jawa Tengah, maka namanya menjadi Rita Widagdo. Meninggalkan Jerman pindah ke Indonesia tahun 1965, ketika situasi politik di negeri ini memanas disusul peristiwa berdarah G 30 S/PKI. Ia menjadi warga Negara Indonesia sejak tahun 1980.
Lulusan Staatliche Akademie der Bildenden Kunste, Stutgard, Jerman dengan gelar Meisterschuler , setingkat master ini, di Tanah Air barunya, selain tetap mematung juga mengajar di ITB. Bersama G Sidharta Soegiyo dan But Mochtar, membina jurusan seni (patung) FSRD ITB.
Seiring perjalanan waktu, Rita yang penampilan luarnya selembut putri Solo tapi hatinya sekeras baja, dikenal sangat berpengaruh di lembaga tersebut. Keberadaannya mempertegas garis modernisme, warisan Ries Mulder, pada lembaga pendidikan itu.
Pameran tunggalnya di Galeri Nasional, tahun lalu, yang diprakarsai oleh Galeri Nadi, menggambarkan sebuah perjalanan kreatifnya selama puluhan tahun. Sebagian besar karyanya merupakan pengolahan bentuk-bentuk geometris yang tidak mencitrakan sesuatu, kecuali yang nampak pada patung itu sendiri. Meskipun tidak tertutup kemungkinan apresiasiatornya mengasosiakan dengan apa yang ada di alam.
Ia banyak mengerjakan karya-karya publik, di antaranya patung logam di Kebayoran Baru; patung aluminium di Labuan, Banten; patung aluminium anodized di Graha Wonokoyo, Surabaya ; patung aluminium di Kelapa Gading; hingga relief di plaza Depdikbud (kini Depdiknas) Jakarta , dan Mahagong di TIM. Memperoleh penghargaan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
back to top
ROEDJITO, Jakarta
Seniman Roedjito (Mbah Djito), lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 21 Juni 1932. Kuliah di Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia (1954-1957). Mulai belajar melukis secara otodidak dari tahun 1956. Ia salah satu pendiri Jurusan Seni Rupa LPKJ (sekarang IKJ), dan pernah menjabat Lektor di FSP-IKJ. Pernah belajar seni di East West Centre Hawai, USA (1970).
Selama hidup amat jarang pameran lukisan. Yang lebih sering adalah menghadiri pembukaan pameran lukisan orang lain. Sekali-kalinya (pernah) pameran tunggal, setelah itu mati (2003).
Pameran tunggalnya di Galeri Cipta 2 TIM itu menampilkan karya-karya hitam putihnya yang rata-rata berukuran kecil ( sebesar kaset atau disket), yang dikerjakan dengan pena diatas kertas, dalam rentang waktu tahun 2000-2002, atau sejak pulang dari ibadah haji.
Kepada pers ia menyebutnya karyanya, sebagai ‘dzikir', mengingat kebesaran Allah. Karya-karya tersebut, kemudian dipamerkan ke berbagai kota , atas prakarsa sahabat-sahabatnya . Sebagian karyanya dihimpun dalam sebuah buku Renung , 2003.
Dibanding pelukis, Mbah Djito lebih dikenal sebagai penasihat, perancang produksi, peñata artistik, set hingga lampu yang handal, di bidang teater , tari dan film. Pernah memperoleh Hadiah Seni Depdikbud (1993) dan Penghargaan Gatra Dja'far Bushiri (1996).
back to top
ROSID, Bandung
Pelukis Rosid, lahir di Parigi, Ciamis, Jawa Barat, 15 Februari 1969. Tamatan SMA ini, setelah belajar seni rupa di SOS (1989-1991), ia bergabung dengan Studio R 66 (1991-1993), lalu belajar pada pelukis Rudy Pranajaya (1994). Bergabung dengan Studio Redha dan Studio Tatang Ganar (1997-1999), dilanjutkan dengan Workshop Seni Rupa di Bengkel Sunaryo; kesemuanya di Bandung .
Atas saran Sunaryo, Rosid berusaha mengclose-up obyek yang telah difoto sebelumnya itu, ke atas kanvas ukuran besar, yang digarap dengan medium utama pensil hitam, sehingga hasilnya mengejutkan. Sejak pameran tunggal di Selasar Sunaryo Bandung (2002), berangsur-angsur posisinya semakin diperhitungkan.
Rosid telah melakukan pameran bersama sejak 1989, di Bandung, Jakarta , Magelang hingga di Museum Korea . Sedangkan untuk pemeran tunggalnya sejak 1997, selain di Selasar Sunaryo, berlangsung di CCF Bandung , Galeri Hidayat, Artmedia, Studio Segenggam Peduli, hingga Edwin's Gallery.
back to top
ROELIJATI, Jakarta
Pelukis Siti Roelijati Soewarjono lahir di Jombang, Jawa Timur, tahun 1930. Janda almarhum kritikus seni rupa terkemuka Dan Soewarjono ini, pada tahun 1950 belajar di Akademi seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta .
Pameran-pameran tunggalnya diadakan di Jakarta pada rentang tahun 1960-an. Selain itu ia mengikuti pameran bersama di beberapa kota besar di Jakarta, sampai luar negeri.
Saran mantan Mensos Maria Ulfah, waktu itu, mendorong dia membuka kursus melukis. Sampai akhirnya Roelijati menemukan sistem pengajaran seni lukis untuk pemula 6 minggu perpaket.
Ketersentuhannya atas pesan Hendra Gunawan, dosennya di ASRI, maka Roelijati sejak 1987, sering membuat sket dari balik kaca taxi tentang buruh-buruh kasar yang sedang membangun saluran kabel telpon, jembatan Semanggi, hingga pembongkaran kawasan. Untuk merampungkan satu obyek, bisa muter-muter 5-6 kali. Gara-gara itu ia pernah di tilang dan hampir kena derek. Disamping obyek jalanan tersebut, ia juga senang melukis suasana di café.
Tahun 1994 mendapat penghargaan Karya Terbaik Krida Wanodya dalam bidang seni rupa dari Meneg Peranan Wanita RI . Karyanya dikoleksi Bung Karno, Adam Malik hingga Museum Seni Rupa DKI Jakarta.
back to top
RUDI ISBANDI, Surabaya
Perupa senior Surabaya , Rudi Isbandi lahir di Yogyakarta , 2 Januari 1937. Belajar melukis pada Sudiardjo dan Hendra Gunawan, di Sanggar Pelukis Rakyat, Yogyakarta , tahun 1950-1953. Setelah itu ia mengembang diri dalam pergaulan antar seniman.
Aktif di Dewan Kesenian Surabaya (DKS) tahun 1980-1983, dan menjadi anggota redaksi Buletin DKS, Surabaya . Penulis buku-buku seni rupa dan artikel seni di berbagai surat kabar dan majalah ini, pemikiran dan proses kreatifnya banyak dipengaruhi filosof Jawa Suryomentaram.
Sejak tahun 1950-an hingga sekarang ia masih rajin pameran, di dalam dan di luar negeri. Antara lain di Surabaya, Jakarta , Amerika Serikat, hingga Mesir. Tahun 1978 ia diundang DKJ untuk ikut biennale di TIM. Dan tahun lalu, ia diundang mengikuti biennale The 9 th Cairo International Biennale , Egypt . Di daerahnya, Rudi mendapat penghargaan dari Gubernur Propinsi Jawa Timur, sebagai Pengembang Seni Kontemporer (1985).
Lukisannya tahun 1970-an – 1980-an, cenderung menggali ritme dan warna, hingga mencapai kesempurnaan intuitif yang jujur, spontan dan bersahaja. Namun belakangan, ia menjelajah dengan medium instalasi dan mixed media yang justru verbal.
back to top
RUSLI, Yogyakarta
Pelukis Rusli lahir di Medan , Sumatera Utara, 1992, dan meninggal di Yogyakarta 2004. Di masa penjajahan Belanda, ia belajar melukis, menari, musik, sastra dan filsafat Kala Bhavana Shantiniketan, Universitas Rabindranat Tagore di India (1932-1938). Kelak inilah yang mempengaruhi karya-karyanya yang bercorak ketimuran.
Kembali ke Tanah Air, menjadi guru Taman Siswa Yogyakarta (didirikan Ki Hajar Dewantoro) tahun 1945-1949. Dua tahun kemudian diangkat menjadi dosen ASRI Yogyakarta. Rusli ikut Pameran Biennale II di Sao Paolo, Brasilia (1953). Lalu mendapat undang Sticusa untuk berkeliling Eropa Barat (1954-1956). Di sela itu ia pameran tunggal di Roma. Pelukis dari zaman Persagi ini, sejak 1970 diangkat sebagai anggota Akademi Jakarta seumur hidup.
Kekuatan Rusli terletak pada hasil perenungannya pada obyek-obyek sampai ke inti, sehingga yang muncul ke kanvas adalah esensinya. Garisnya hening dan hemat, halus dan tenang, hasil akhirnya sangat kontemplatif. Trisno Suamardjo menyebut karya Rusli adalah manifestasi suasana Timur dan Indonesia .
Di sinilah para pengamat melihatnya seperti proses melahirkan puisi-puisi Haiku dalam kanvas. Kecenderungan demikian merupakan fenomena seni lukis liris (curahan hati) yang jarang diikuti pelukis-pelukis lain di Indonesia pada masa itu, yaitu tahun 1950-an. Untuk itu waktu ia pameran di Stedelijk Museum Amsterdam di Kunst Zaal Plaats Den Haag dan Ismeo Roma ia mendapat sambutan yang hangat dari para pelukis Barat sebagai master dengan teknik yang sempurna. Lukisan Rusli dikatakan sebagai neoimpresionisme semi abstrak, atau kadang-kadang ekspresionistis.
back to top
RINI CHAIRIN HAYATI
Perupa Rini Chairin Hayati lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Maret 1948. Belajar seni rupa di Institut Teknologi Bandung (1973). Pameran tunggal tahun 2001, Tentang Perempuan, di Galeri Bandung . Sedangkan pameran bersama antaranya lain Medium in Medium, Instalation as the Expresion Medium, di Galeri Nasional Jakarta , 1999, dan CP Open Biennile 2003, di Galeri Nasional, Jakarta (2003).
Kalau ada seniman spesialis, Rini tidak bisa seperti itu. Ia membuat seni grafis, melukis, membuat instalasi, membuat elemen estetika, dan kerajinan dari bambu. Dalam berkarya ia sering berkolaborasi dengan suaminya Ahadiat Joedawinata, yang dikenal sebagai seorang desainer interior, yang juga terlibat dalam bidang keramik dan seni pahat.
back to top
S. PRINKA, Jakarta
Almarhum Syahrinur Prinka, lahir di Bogor , Jawa Barat, tanggal 27 Februari 1947. Salah satu tokoh Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) ini, semasa hidupnya belajar di Studio Grafis ITB hingga meraih gelar sarjana seni rupa (1968-1974). Perupa berkaca tebal ini, hari-harinya lebih banyak dihabiskan sebagai pekerja di majalah Tempo, Jakarta , dan mengajar di almamaternya sampai akhir hayat.
Pernah mengikuti beberapa kali pameran antara lain pameran seni Rupa Baru Indonesia (1977, 1979), Pameran Ikatan Perancang Grafis (1980), Seni Grafis dalam Tempo (1986), Pameran Seni Grafis Indonesia di Jakarta (1987), pameran Persekutuan Seniman Gambar Indonesia (Persegi) pada tahun 1978, 1981, dan 1995, dan pameran Kelompok Siulan Selusin (2000).
Karya-karyanya cenderung menggunakan teknik drawing dengan warna dan digital printing . Selain bisa berdiri sendiri, karya-karyanya sering menyertai artikel-artikel penulis kondang. Sehingga tema-tema yang diangkat cenderung aktual, dan mengandung nilai news.
back to top
S. SUDJOJONO, Jakarta
Pelukis, pemikir, organisator dan penulis S Sudjojono (1913-1986) lahir di Kisaran Sumatra Utara, merupakan tonggak seni lukis modern Indonesia , lantaran karya-karyanya, perannya di Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia ), dan kepeloporannya dalam ide-idenya pada tulisan-tulisannya yang tajam. Dengan kapasitas kesadaran dan karya-karyanya yang diperjuangkannya tersebut, banyak pengamat bersepakat menempatkan Pak Djon (baca Jon) sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia .
Semasa mudanya, ia memberontak terhadap kemapanan romantisme seni lukis Mooi Indie, yang dinilai mengungkapkan keindahan dan kecantikan doang. Karena alasan ini pula, ia tak segan-segan “mengganyang” lukisan Basuki Abdullah yang “lebih indah dari warna aslinya.”
Dengan semangat nasionalime , Pak Djon ingin mendorong seni lukis Indonesia baru untuk menangkap realitas zaman yang serba pahit di masa penjajahan Belanda. Empati pada realitas kehidupan rakyat itu diungkapkan dengan gaya ekspresionisme lewat kredo jiwa ketok (ekspresi). Akan tetapi tahun 1953, Pak Djon, begitu panggilan akrab anak seorang kuli kontrak di perkebunan Deli, menganjurkan kembali ke realisme, supaya mudah dipahami rakyat.
Pandangan pelukis yang pernah berguru pada Pirngadi dan pelukis Jepang Yazaki ini, mempengaruhi penganut faham seni kerakyatan, yang secara sistematis ditumbuh- kembangkan lewat kelompok SIM (Seniman Indonesia Muda) yang berdiri di Madiun (1946), kemudian pindah ke Solo (1947), dan pindah lagi ke Yogyakarta (1948). Namun faktanya tidak sedikit yang menolak pandangannya.
Karyanya hingga kini banyak dikoleksi galeri, museum maupun kolektor perorangan. Dalam lelang di dalam maupun luar negeri yang mengambil tema lukisan modern Asia (Tenggara), lukisan Pak Djon tidak pernah ketinggalan diikutsertakan.
back to top
SAPTO HUDOYO, Yogyakarta
Perupa Sapto Hudoyo, lahir di Solo, 6 Februari 1925, wafat di Yogyakarta 3 September 2003 , setelah delapan tahun hidup di atas kursi roda karena stroke. Almarhum semasa hidupnya pernah mengajar di ASRI Yogyakarta , cikal bakal Institut seni Indonesia (ISI) Yogyakarta . Selain melukis, ia juga mematung dan menggeluti kria.
Sebelum Indonesia merdeka, Sapto bergabung dalam Laskar Melati – lebih dikenal dengan Laskar Kere -- ikut terjun dalam perjuangan fisik melawan penjajah Belanda.
Kehadiran Sapto ditengah kerajinan tradisional Kasongan pada awal 1970-an, tidak saja menimbulkan gairah penciptaan disana, tetapi juga berhasil membina para perajin untuk memodifikasi/memberikan sentuhan lain bagi desain kerajinan gerabah sehingga gerabah yang dihasilkan tidak menimbulkan kesan monoton, namun lebih dari itu mampu memberikan nilai seni dan nilai ekonomis tinggi. Sapto mengenalkan motif baru pada gerabah, yang tadinya polos, dengan ornamen seperti kodok dan capung. Patung kuda dengan pelana.
Berkat upaya dan kerja kerasnya membina pengrajin Kasongan, pada tahun 1996 Sapto Hudoyo menerima Upakarti dari Presiden Soeharto.
back to top
SEMSAR SIAHAAN, Jakarta
Perupa Semsar Siahaan, lahir di Medan , Sumatra Utara, 11 Juni 1962. Sejak usia 9 tahun, sudah belajar melukis di bawah bimbingan guru SD bernama France Freshern di Beograd. Pada tahun 1975 belajar melukis di San Fransisco Art Institut (SAFI), AS, di bawah bimbingan pelukis Amerika, Bruce McGraw dan Ursula Schneider. Kembali ke tanah air ia belajar seni patung di Departemen Seni Rupa ITB Bandung , 1975.
Aktif pameran sejak 1979, di Bandung, Jakarta , Australia hingga Kanada. Dalam Beinnale IX, 1993/1994 di TIM, ia menampilkan instalasi kuburan yang menghebohkan. Menjelang Orde Baru tumbang ia menyelematkan diri ke Kanada, dan kembali ke Tanah Air pasca reformasi. Tahun 2002 ia pulang ke Tanah Air, menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional, menampilkan karya-karya yang dibuat selama di luar negeri. Setelah itu ia ke Bali , dan tak lama kemudian meninggal, tahun 2004. Jenasahnya dimakan di tempat Rendra, Depok, Jawa Barat, berdekatan dengan Mbah Jito.
Dengan bahasa drawing, Semsar menggugat para penguasa (termasuk tentara) lewat karya-karya yang bercerita tentang orang-orang kalah, terusir, buruh yang diinjak martabatnya, buruh yang protes, dan kekejaman. Selain dengan warna, Semsar cukup sering menampilkan karya-karyanya dengan hitam putih.
back to top
SETIAWAN SABANA, Bandung
Perupa Setiawan Sabana, lahir di Bandung, Jawa Barat, 10 Mei 1951, dikenal pula sebagai dosen, peneliti, pembicara, juri kompetisi seni rupa, dan editor buku. Gelar sarjananya diperoleh dari Jurusan Seni Murni FSRD-ITB Bandung (1977). Gelar MFA diperoleh dari Art Department , Nothern Illionis University (1982). Dan gelar doctor diperoleh dari Program Pasca Sarjana ITB (2002).
Dekan FSRD-ITB Bandung sejak tahun 2000 hingga sekarang, merupakan salah satu tokoh seniman grafis di Tanah Air ini, dijuluki “Mr Legenda Kertas”. Lantaran sejak 1984, intens mengolah medium kertas dan memamerkannya di dalam hingga luar negeri. Namanya menjadi “tonggak” setelah mamerkan serial karyanya yang merepresentasikan kecemasannya atas rencana serangan Amerika Serikat ke Irak (dalam pameran Imagining The Book di Alexandria Mesir / Library of Alexandria) tahun 2002, dengan penanda judul Symphony in Black, The Global Orchestra ). Karya ini kemudian dipamerkan dalam CP Open Biennale 2003 di Galeri Nasional.
Dalam hubungan kertas dan dirinya sebagai manusia, ia merasa bahwa kertas adalah juga representasi dirinya. "Sebagai manusia suatu saat akan punah, seperti juga nasib kertas yang akan punah dalam era komputerisasi dan digitalisasi ini," tuturnya bernada mawas diri.
Sejak 1980, tercatat 8 kali pameran tunggal di Bandung , Jakarta , Jepang dan Amerika Serikat. Sedangkan untuk pameran bersama pertahunnya berlangsung antara 2-7 kali, baik didalam hingga luar negeri, di antaranya International Art Exhibition, Hongkong (2003), 17 th Asian International Art Exhibition, Daejeon Museum , Korea (2002), 15 th Asia International Art Exhibition, Taiwan (2000), Travelling Exhibition Signifying Decorativness (Indonesian-Australian Artists), Yogya-Denpasar-Bandung-Jakarta (1998), dan Modernitas and Memories Venice Biennale (1997).
back to top
SOEDIBIO, Madiun
Pelukis Soedibio (1912-1981), lahir di Madiun, Jawa Timur 17 Juni 1912. Seperti seniman seangkatannya, selain melukis, ia aktif dalam kelompok seni. Pada tahun 1940 menjadi anggota Persagi (Persatuan Ahli gambar Indonesia) di Jakarta. Pada awal kemerdekaan, tahun 1946, bersama S Soedjojono, Trisno Soemardjo, dan ia mendirikan Seniman Indonesia Muda (SIM) di Madiun. Lalu pada tahun 1967, ia menggabungkan diri dengan Sanggar Puring di Surabaya, bersama-sama dengan Tedja Suminar, Wiwiek Hidayat dan Karyono. Tahun 1970 menjadi anggota Bimpunan Budaya Surakarta (HBS). Pameran Tahun 1976 pameran bersama Soediardjo di TIM.
Pelukis yang pendiam ini membawa tema mistik dan surealistik ke dalam karya-karyanya lukisannya sejak tahun 1950-an; sebuah pendekatan yang samasekali tak lazim pada masanya.
back to top
SIDIK MARTOWIJAYA, Yogyakarta
Pelukis Sidik W Martowidjoyo yang bernama asli Ma Yung Qiang, lahir di Malang , Jawa Timur, 1937. Belajar kaligrafi dan melukis gaya China sejak berusia 9 tahun, di bawah asuhan Xiau Baixin Laushi. Setelah gurunya meninggal ia melanjutkan belajar sendiri, antara dengan ulang-alik ke RRC, mempelajari lukisan-lukisan Tiongkok kuno dari museum ke museum, dan berdiskusi dengan para pengamat seni lukis di negeri tirai bambu itu. Di Yogya ia menerima bimbingan para pelukis senior.
Setelah era reformasi tiba, dan keturunan Tionghoa mendapat kebebasan berekspresi seluas-luasnya, mulai tahun 1998 Sidik menggenjot pameran tunggal di hotel-hotel di Cirebon, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, serta galeri di Magelang dan Galeri Nasional Jakarta (2005). Pameran tunggalnya terbaru berlangsung di Beijing (2006). Pameran bersamanya telah berlangsung lima kali.
Karya-karya Sidik menganut Chinese painting , dengan mengangkat tema pemandangan hingga bunga, dengan medium utama tinta China .
back to top
SRI WARSO WAHONO, Jakarta
Pelukis Sri Warso Wahono, lahir di Solo, Jawa Tengah, tanggal 17 Juni 1948. Lulusan seni rupa IKIP Surakarta (1975) ini, juga dikenal sebagai penulis , pembicara dan organisator. Tahun 1980an – 1990-an , menjadi pengurus Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sebelum pensiun dari pegawai Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, ia pernah menjabat di Museum Wayang dan Museum Seni Rupa dan Keramik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kini bekerja di Badan Pengelola TIM.
Ia aktif pameran tunggal maupun bersama. Pernah pameran dengan pelukis dari berbagai negara sahabat Indonesia di Belgia, Amerika Serikat, Belanda dan negara-negara ASEAN. Mengikuti Biennale se-Dunia di Polandia, Biennale se-Dunia di Alexandria -Mesir, serta Biennale se Dunia di Saolo Paulo- Brazil . Pameran lain yang ia ikuti dan bobotnya penting adalah Pameran Seni Rupa Negara-negara Non-Blok, di Gedung Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional) semasa Presiden Soeharto.
Warso pun sering diundang dalam forum-forum ilmiah selaku pembicara kritik seni rupa, antara lain di Triennale di India , Simposium Visual Arts di Filipina, Biennale Seni Rupa di Jakarta. Selain tetap melukis dan aktif pameran, ia menulis kritik seni rupa di berbagai media cetak di ibu kota .
back to top
SRIHADI SUDARSONO, Bandung
Pelukis dan dosen Srihadi Soedarsono, lahir di Solo, Jawa Tengah, 4 Desember 1931. Tahun 1958 meraih gelar seni rupa dari ITB, yang sebelumnya bernama Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar Fakultas Teknik Universitas Indonesia , Bandung . Kemudian melanjutkan kuliah di Ohio State University hingga mendapat gelar Master of Art (MA). Pencipta logo ITB ini, mengajar di almamaternya hingga pensiun. Pernah juga menjabat Ketua Departemen Seni Rupa LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta).
Di masa revolusi fisik, ia pernah menjadi Tentara Pelajar (TP) di kota kelahirannya, tahun 1945-1946. Lalu tahun 1946 – 1948, keahliannya menggambar ia manfaatkan untuk membuat poster-poster perjuangan di Balai Penerangan TNI, Divisi X, Solo.
Dalam petualangan estetiknya, lukisan Srihadi pada awalnya bercorak geometrik sintetik seperti pada umumnya murid-murid Ries Mulder. Pada tahun 1960 mulai menuju eksperimentasi pada bentuk abstrak lewat tempelan potongan kertas dan spontanitas warna. Tahun 1970-an cenderung impresionis lewat cat air dan ekpresionis lewat cat miyak dan sering memasukkan unsur simbolis dalam lukisannya. Puncaknya pada periode horizon dan obyek-obyek dalam kesongan warna.Nilai spiritualitas itu didalami juga lewat penghayatan filosofi Zen Budisme. Berbagai figur penari, barong dan juga Candi Borobudur, menjadi sosok puitis yang menerung dalam ruang makrokosmos.
Ia menerima cukup banyak penghargaan dari dalam dan luar negeri. Antara lain Anugerah Seni dari pemerintah RI (1971). Penghargaan Cultural Award (1973) dari pemerintah Australia . Memperoleh Fulbright Grant di AS (1980). Sebanyak 8 dari 12 kali mengikuti biennale yang digelar DKJ—1974, 1978, 1980, 1984, 1987, 1989, 1998, dan 2006 – berhasil meraih hadiah terbaik pada biennale ke III Seni Lukis Indonesia .
Dalam masa tuanya sekarang ini, ia termasuk pelukis yang karyanya dijadikan rebutan para kolektor maupun kolekdol , dan meramaikan balai-balai lelang lukisan di dalam dan di luar negeri.
back to top
SRIYANI H, Jakarta
Pelukis Sriyani Hudyonoto lahir di Yogyakarta , tanggal 3 Mei 1930. Sejak usia 3 tahun, diajak keluarga menetap di Jakarta . Ia mendapat penghargaan dari Bataviasch Nieusblad pimpinan JH. Ritman sebagai anak berbakat (1939). Sejak saat itu ia menekuni seni lukis dengan belajar pada pelukis kondang S.Soedjojono. Pada umumnya Sriyani melukis dengan pendekatan realistik.
Karier seni lukisnya dimulai pada waktu ia bekerja di Studio Perfini ( Perusahaan Film Indonesia ) Jakarta , sebagai perancang dekor, tahun 1952.
Pada tahun 1955 ia tinggal di Moscow selama 7 bulan, kemudian pindah dan tinggal selama 5 tahun di negeri Belanda. Kesempatan ini dipergunakan untuk belajar seni rupa pada Koningklijke Academie voor Beeldende Kunsten di Den Haag. Ia pernah mengunjungi Tanzania , Kenya , Uganda , Kairo, London , dan Paris .
Pameran tunggal dan bersama Sriyani selain diselenggarakan di berbagai kota di Tanah Air, juga di Moscow , Den Haag, London , Kairo, Singapura.
back to top
SUBROTO SM, Yogyakarta
Nama lengkapnya cukup panjang, Subroto Somomartono (disingkat Sm), lahir di Klaten, Jawa Tengah, 23 Maret 1946. Staf pengajar di Fakultas Seni Rupa, Fakultas Seni Media Rekam dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta ini, meraih ijasah sarjana STSRI ”ASRI” Yogyakarta (1975). Kemudian melanjutkan belajar keramik di Tokyo Gakuge University (1975-1977). Lulus Magister Humaniora UGM Yogyakart (1999).
Dimata salah seorang muridnya, Ipong Purnama Sidhi, yang kini menjadi kurator Bentara Budaya Jakarta, gurunya yang satu ini secara fisik mudah dikenali: Garis linier cat akrilik yang menciprat dengan genangan air sebagai latar yang tercampur cat menjadikan bayang-bayang baur. Sosok-sosok yang ditampilkan pun masih sekitar torso, intensitas hubungan ibu dan anak, perempuan duduk, atau dalam karya terbaru ditampilkan simbol-simbol yang berkaitan dengan kondisi mutakhir negeri ini.
Media kertas menjadi favorit di samping watak kertas yang mudah meresap air dan menghasilkan efek tak terduga, juga hemat biaya. Walaupun dikerjakan di atas kertas, namun Subroto Sm tidak membuat sketsa, karyanya tidak semata-mata gambar karena ada volume ruang. Putih kertas yang tak terjamah cat bukan sebidang ruang kekosongan, tetapi menjadi ruang negatif dan memiliki peran dalam sebuah komposisi. Kerjanya cepat, ia menumpahkan seluruh energinya sesaat, menggaris, menggerus dengan palet, selesai.
Peraih penghargaan Wendy Sorensen-AS, selama ini pameran tunggal hanya dua kali, yakni di Bentara Budaya Yogyakarta (1984) dan Galeri Milenium Jakarta (2002). Selebihnya puluhan kali pameran bersama, yang dimulai dari tahun 1976 hingga sekarang. Antara lain Pameran keramik bersama di kampus Tokyo Gakugeu University,Jepang (1976), ASIAN Art Show di Fukoaka, Jepang (1985), Biennale Seni Lukis Yogyakarta (1988, 1990, 1994), Pameran Keliling Lukisan Cat Air di Jerman (1987, 1990 dan 2000), Pameran Seni Rupa IKAISYO di Meseum Affandi Yogkarta (2004).
back to top
SUDARISMAN, Yogyakarta
Pelukis Sudarisman, lahir di Yogyakarta , tanggal 26 Juli 1948. Lulusan Sekolah Tinggi seni Rupa Indonesia (STSRI) “ASRI” Yogyakarta , 1980. Dua tahun kemudian mendapat beasiswa dari Kementrian Kebudayaan dan Rekreasi Belanda (1982) untuk belajar melukis teknik seni lukis Renaissance dan seni lukis modern di Vrij Academie voor Beldende Kunsten di Den Haag.
Debutnya diawali dengan mengikuti pameran bersama di TIM bertajuk Pameran Seni Lukis Indonesia (1971). Setelah itu setiap tahun mengikuti pameran bersama di Jakarta , Yogyakarta , Bali , Semarang , hingga ke luar negeri
Di antaranya Pameran Seni Lukis Sanggar Bambu di Balai Budaya Jakarta (1979), Pameran Seni Rupa ASEAN dalam ASEAN Festival of Art, di Benteng Vredeburg Yogyakarta (1992), Pameran Lukisan Festival Kesenian Yogyakarta di Yogyakarta (1993), Pameran Seni Rupa Contemporary Art of Aligned Countries , di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud (kini Galeri Nasional Indonesia) 1995, Pameran ASEAN Art Award, di Gedung Sekretariat ASEAN Jakarta (1995 ), 9 th ASIAN International Art Exibition , di National Museum of History RRC (1994), The Mutation,Painstaking Realism in Indonesia Contemporary Painting , di Akasaka Twin Tower IF, Tokyo, Jepang (1997). Untuk pameran tunggal baru sekali tahun 1982 berlangsung di Edwin's Gallery, 1992.
Penghargaan yang diterima antara lain, Pratisara Affandi Adikarya (Affandi Prize) dari Yayasan Pratisara Affandi (1979), Medali emas dalam Biennale Seni Lukis Yogyakarta I dan II (1989, 1990), ASEAN Art Award 1998.
back to top
SUDARSO, Jakarta
Pelukis Sudarso, lahir di Ajibarang, Purwokerto, tanggal 28 Juli 1914. Pernah menjadi pedagang telur dan susu keliling, sampai akhirnya bertemu pelukis Affandi di Bandung, yang kemudian mengajarinya melukis.
Bersama Affandi, Barli, Hendra Gunawan, dan Wahdi, membentuk Kelompok Lima Bandung. Sekitar tahun 1943, ia bergabung dalam ‘Poesat Tenaga Rakyat' (Poetra) bidang kebudayaan, Bandung .
Tahun 1946 bersama Affandi membentuk Himpunan Pelukis Masyarakat, kemudian dilebur menjadi Himpunan Pelukis Rakyat, Yogyakarta (1947). Setelah kemerdekaan, tahun 1946 – 1951 menjadi anggota Gabungan Pelukis Indonesia , Jakarta . Tahun 1951-1960 mengajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta .
Dalam perjalanan kreativitasnya, Sudarso secara konsisten mengangkat sosok perempuan desa (Jawa) sebagai obyek lukisannya. Disamping itu, ia melukis pemandangan. Kehadiran obyek perempuan diatas ratusan kanvasnya, adalah semacam kerinduan pada sosok ibu; yang minggat dari rumah ketika ia kecil, gara-gara tidak suka terhadap perlakuan suami, yang tak lain adalah ayah Sudarso.
Bila perempuan-perempuan dalam lukisan Sudarso itu, kemudian tampil polos, lugu, kelihatan seluruh anggota badan lengkap dengan pakaian tradisional Jawa, dimata kritikus seni rupa Kusnadi, tak lain untuk menyatakan kelembutan dan kepolosan perempuan (desa) secara menarik.
Sejumlah lukisan Sudarso masuk dalam koleksi penting Presiden RI (pertama) Soekarno. Disamping itu banyak menghiasi dinding museum, pusat kesenian, perusahaan swasta, hingga acara-acara biro lelang.
back to top
SUDJANA KERTON, Bandung
Pejuang dan pelukis Sudjana Kerton (1922-1994) kelahiran Bandung , meski pernah belajar pada Ries Mulder, tapi tidak kuliah di seni rupa ITB. Setelah masa revolusi ia mengembara ke luar negeri selama 25 tahun, untuk belajar dan bermukim di Eropa dan Amerika. Lewat beasiswa Sticusa, ia belajar seni rupa di Belanda dan Perancis. Diteruskan menetap di AMerika lewat beasiswa Art Student League. Akibat lamanya di luar negeri itu, namanya sempat hilang sesaat dari wacana seni rupa Indonesia .
Ketika Kerton bermukim di Eropa dan Amerika tahun 1950-an hingga 1970-an, ungkapan-ungkapan lukisannya lebih dekat dengan tren seni lukis Barat. Namun sekembalinya ke Indonesia dan minum air Bandung lagi, sejak tahun 1976 sampai menutup mata -- Kerton lebih banyak mengungkapkan kehidupan rakyat kecil. Dari galeri-studionya yang diberi nama Sanggar Luhur, yang dibangun di atas bukit Pakar Timur Dago di Bandung itu, ia melahirkan lukisan-lukisan yang humanis, dan tak jarang mencubit hati kita sampai ngilu.
Dari berbagai tema yang diangkat, seperti tak ada habis-habisnya menimba semangat kemanusiaan para tukang becak, buruh, petani, pelacur, dan lapisan masyarakat sejenisnya. Bukan hanya kemurungan yang diungkapkan dalam karya-karya itu, tetapi juga humor dan keunikan hidup. Hal itu bisa dilihat dari dari gestur-gestur tubuh, deformasi, goresan dan warna-warnya yang kuat, serta mengekspresikan kedalaman.
Dengan demikian, perjalanan kesenian Kerton dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu masa sekitar revolusi kemerdekaan, masa di Eropa dan Amerika, dan masa sekembalinya di Bandung .
back to top
SUGIJO DWIARSO, Yogyakarta
Pelukis Sugiyo Dwiarso lahir di Magelang, Jawa Tengah, 19 Mei 1968. Belajar seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta .
Pameran yang pernah diikutinya antara lain Dies Natalis ISI Yogyakarta (1989); bersama Kelompok 87 di Sasana Aji Yasa, Yogyakarta (1989); bersama Kelompok 87 pameran di Bentara Budaya, Yogyakarta (1994); dan Yogyakarta Art Festival (FKY) Yogyakarta (1996).
Berlanjut pada tahun 2003, mengikuti pameran Passion: Etno- Identity di Beijing dan Shanghai, China, yang dilaksanakan oleh Yayasan Seni Rupa Indonesia (YSRI); Equatorial Heat , di Sichuan Museum, China (2004); dilanjutkan di Edwin's Gallery Jakarta (2005).
Kecenderungan karya Sugiyo mengusung tema-tema yang secara psikologis dan personal mempersoalkan keberadaan manusia. Ia juga melakukan pastiche, dalam arti plesetan untuk mengingatkan pada simbol-simbol masa lalu -- sebagaimana bentuk-bentuk yang dipakai para pelukis semasa Renaissance -- namun ia tidak menyarankan nuansa-nuansa misterius sebagaimana gaya surealisme.
back to top
SUHADI, Yogyakarta
Pelukis yang mengaku tetap berpegang pada corak Indonesia , Suhadi, lahir di Bogor , Jawa Barat, 23 Agustus 1937. Belajar melukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta , tahun 1956-1961. Sejak keluar dari ASRI, ia menjadi pelukis bebas.
Tahun 1961, ia menerima penghargaan dari ASRI untuk karya-karyanya. Lalu 13 tahun kemudian (1974) ia menerima hadiah dari Society for American Indonesia Friendship, Jakarta , sebagai seorang pelukis yang tetap berpegang pada corak Indonesia
Bagaimana yang dimaksud dengan lukisan yang bercorak Indonesia itu? Seperti sebuah lukisannya yang dikoleksi Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, menggambarkan suasana dusun yang tenang, dengan hamparan sawah, dijaga beberapa batang pohon, dengan sepotong jalan yang dilewati penggembala sapi dan ibu-ibu berjalan diatas pamatang. Menggunakan warna-warna sejuk, sehingga menentramkan bagi mata yang memandang.
back to top
SUN ARDI, Yogyakarta
Pegrafis Sun Ardi lahir di Yogyakarta , 18 Oktober 1939. Seniman ini mendapat gelar sarjana di jurusan Seni Grafis Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI)-ASRI Yogyakarta, dan Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Selain itu mendapat sertifikat desain dari Hiroshima , Jepang.
Saat ini Sun Ardi mengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan di Wiyata Yogyakarta.
Sering pameran di dalam dan luar negeri. Antara lain di Bentara Budaya Jakarta , Museum Nasional Hiroshima, Jepang; juga berbagai galeri dan pusat kesenian yang ada di Jakarta , Yogyakarta , Surabaya , Semarang , dan Bandung . Salah satu kecenderungan karya grafisnya, mengandalkan bahasa garis yang lentur, dikerjakan dengan teknik screen printing
back to top
SOENARTO PR, Jakarta
Pelukis Soenarto Prawirohardjono , lahir di Bobot Sari, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, tanggal 20 November 1931 . Pendidikan formal diperoleh dari Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta , jurusan seni lukis dan patung (1951-1958). Ia dikenal sebagai ‘raja pastel', karena hampir sebagian besar karya-karyanya terbuat dari media pastel.
Pentolan Sanggar Bambu Yogyakarta; sebuah paguyuban seni yang berdiri 1 April 1959 , menjadi salah satu sanggar yang berpengaruh di dalam perkembangan seni rupa Indonesia , yang jejaknya masih terasa hingga sekarang. Dikelola dengan manajemen “6- sa”-nya Ki Ageng Suryo Mentaram “ sabutuhe, sacukupe, saperlune, sabenere, samestine, sakepenake”, ditambah 1-sa (saketemune).
Di dalam kelompok tersebut beragam corak berkembang, maklum di sana ada juga tokoh-tokoh seperti Danarto, Mulyadi W, Handrio, dan lain-lain. Namun bekas Tentara Pelajar yang pernah bergerilya di Tegal (1949) ini menggarap karya-karyanya dengan pendekatan realistik, temasuk untuk melukis dirinya sendiri.
Bersama Sanggar Bambu, pernah pameran keliling 40 kota di Jawa dan Madura (1959. Sampai sekarang ia sering pameran bersama.
Karya-karya Sunarto cenderung menggunakan pendekatan realisme-naturalis, yang sangat mementingkan garis-garis kontur, warna dan komposisi, untuk mencapai ekspresi dan karakter. Ia paling bergairah menggarap obyek manusia, dibanding yang lain, misalnya pemandangan, alam benda maupun binatang.
back to top
SALIM, Prancis
Pelukis Salim, lahir di Medan , 1909. Sejak muda menetap dan melukis di Paris (Prancis). Bekerja di Kedutaan Besar RI di Paris sampai pensiun. Tahun 1956 mengadakan pameran tunggal pertama di Balai Budaya. Disusul tahun 1974 pameran di TIM dan Bandung , dilanjutkan tahun 1975 di Surabaya . Setelah itu beberapa kali karyanya muncul dalam pameran di pusat kesenian maupun galeri di Jakarta .
Keakrabannya dengan budaya Perancis dimanifestasikan dengan membuat ilustrasi buku sastra, karya Lautreamont, Rimbaud, Andre Gide, Paul Valery, Paul Leautaud, Apollinaire Dei. Teknik lukisannya universal, corak yang dipenuhi aliran-aliran impresionisme, Ecole de Paris. Selain di Prancis , ia pernah pameran di Swedia, Swiss hingga Belanda. Beberapa penghargaan yang pernah diterima yaitu bintang perunggu dan perak pada pameran lukisan Internasional Paris (1971).
Lukisan Salim pada umumnya adalah citra kesan yang sebagian besar bertema hutan beton, pelabuhan, pemandangan kota , pohon-pohon, bunga-bunga, dan sosok figur perempuan. Di dalam karyanya terkandung semangat yang menggelora dengan citra komposisi yang bergerak tidak statis. Obyek karyanya dipecah menjadi bentuk-bentuk yang menjurus ke kubistis, tapi tidak bisa digolongkan ke dalam seni lukis kubisme.
back to top
SUNARYO, Bandung
Perupa Sunaryo, lahir di Banyumas, Jawa Tengah, tanggal 15 Mei 1934. Lulusan Fakultas Seni Rupa ITB, Bandung , 1969. Melanjutkan belajar di Technic of Marble Sculpture, Carrara Italy , 1975. Di bidang pendidikan, ia mengajar seni rupa pada Jurusan Seni Murni FSRD-ITB. Pernah menjadi Kepala Studio Seni Patung dan Ketua Jurusan Seni Murni, di kampus yang sama.
Untuk menampung dan mengkomunikasikan pikiran dan karyanya kepada masyarakat, perupa tangan dingin ini mendirikan Selasar Sunaryo pada dekade 1990-an. Dalam perkembangan kemudian, selasar ini selain menampilkan pameran dan pertunjukan, juga berbagai seminar dan workshop.
Sebagai pematung dengan karya-karya monumen di ruang publik, Monumen Jendral Sudirman (2003) di Jakarta, adalah salah satu hasil karyanya. Patung monumen lainnnya di Bandung , yaitu Dasa Sila dan Perjuangan Rakyat Bandung Selatan . Sedangkan di pintu masuk kota Yogyakarta kita bisa melihat karyanya Yogya Kembali .
Selain patung realis, Sunaryo juga banyak membuat patung abstrak. Pola yang sama kita dapatkan pada karya-karya lukisan dan instalasinya. Belakangan ia merambah media baru dalam berkarya, seperti kinetic dan video. Di antara karya instalasinya yang menarik, Terperangkap dalam Kurungan yang ditampilkan dalam CP Open Biennale di Galeri Nasional,maupun Titik Nadir, Batu Melangkah Waktu dan Puisi Putih yang digelar di selasarnya, mengusung isu politik global maupun nasional, perusakan lingkungan, misteri alam hingga tradisi.
Bersama sejawatnya, G Sidharta dan AD Pirous, mendirikan Decenta di Bandung, yang merupakan bidang usaha yang melayani kebutuhan elemen estetika untk perkantoran, interior, eksterior, dan ruang pameran seni rupa. Dimasa ini ia juga membuat grafis.
Tahun 1978 pernah ikut dalam Norwegian International Prints Biennale , Fredrikstad , Norway . Tahun 1983 ikut International Print Exhibition. Pameran bersama di CP Art Space Washington DC Amerika Serikat. Kini karya-karyanya sering muncul di berbagai pameran dan lelang seni di dalam dan luar negeri.
back to top
SUPARTO, Yogyakarta
Pelukis dengan corak dekoratif yang khas, Suparto lahir di Yogyakarta , 1929. Tahun 1944 belajar melukis di Keimin Bunka Sidosho (Pusat Kebudayaan pada zaman Jepang), Bandung . Pada awal kemerdekaan, tahun 1946-1947 meneruskan belajar melukis di kelompok SIM (Seniman Indonesia Muda) Surakarta dan Yogyakarta .
Suparto pernah memperoleh Anugerah Seni (1972) dari pemerintah RI melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, era Orde Baru. Aktif pameran didalam dan luar negeri. Karya-karyanya antara lain dikoleksi oleh Galeri Nasional Indonesia, Jakarta .
Karya-karyanya tampil serba lembut, baik garis, warna, maupun pilihan obyeknya. Kesemuanya bersumber pada citra keselarasan dari dalam batinnya. Ia banyak menggarap tema burung-burung, gadis cilik, kucing, lelaki, bunga di jambangan.
back to top
SUROMO DS, Surakarta
Perupa Suromo Darposawego lahir di Surakarta , 11 Oktober 1919. Perupa senior ini, tahun 1935 sempat belajar seni keramik dan melukis di atas gelas pada Robert Depe. Karyanya dapat dilihat antara lain di jendela-jendela bangunan-bangunan penting di Jakarta .
Selain menekuni seni lukis dan grafis, Suromo pada masa lalu dikenal sebagai pembuat relief beton di berbagai bangunan penting di ibukota Republik Indonesia . Selain itu membuat patung torso Adisucipto, Tugu Garuda (1963-1965), mozaik dan beberapa karya monumental lain di tempat-tempat penting.
Karya cukilannya tersebar di 33 gedung Kedutaan RI di luar negeri. Selain di dalam negeri, karya-karyanya sempat dipamerkan di Malaysia dan London .
Tahun 1936, Suromo tercatat sebagai salah seorang anggota Persagi. Ia memperoleh penghargaan dari BMKN tahun 1956 atas karya cukilan kayunya. Dalam usianya yang telah lanjut, karya woodcut- nya tahun 1999 masih sempat ikut memberikan kesaksian atas terjadinya reformasi di Tanah Air. Lewat euphoria beberapa sosok lelaki yang bergerak maju, ada yang membawa bendera, tangan mengepal, dan kepala diikat segala.
back to top
SUTJIPTO ADI, Bali
Pelukis Sutjipto Adi, lahir di Kalisat, Jember, Jawa Timur, 31 Agustus 1957. Belajar seni rupa di STSRI “ASRI” Yogyakarta . Kini memilih tinggal dan berkarya di Bali.
Ia termasuk pelukis yang di tahun 1970-an memilih kecenderungan melukis secara realistik fotografis. Kala itu kecendrungan ini masih kontroversial. Ia memilih bentuk-bentuk geometrik yang menampilkan citra teknologi, dilengkapi dengan hadirnya sosok manusia (kadang bayi, anak-anak, orang tua, lelaki, perempuan).
Di balik karya-karyanya tersebut, Sutjipto Adi ingin merealisasikan tiga unsur besar : manusia, Tuhan dan alam semesta. Baginya ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dalam ketunggalannya untuk memanusiakan manusia atau memanusiakan diri dia secara pribadi.
Sutjipto sering pameran di Bali, Surabaya, Bandung, Jakarta, hingga Singapura. Karyanya mengisi dinding-dinding kolektor, galeri, museum, hingga balai-balai lelang.
back to top
SUWADJI, Yogyakarta
Totem-totem, topeng, dan tradisi terus digali oleh pelukis Suwadji, kelahiran Yogyakarta , 5 Mei 1942. Ia seperti tidak pernah puas dalam mengangkat tema totem, topeng dan tradisi (wayang diantara) ke atas kanvasnya; seperti juga maestro Affandi yang selalu melukis wajah dengan model dirinya sendiri berulang-ulang kali.
Tahun 1977, Suwadji mendapat gelar sarjana seni rupa dari jurusan seni lukis, Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Pada tahun itu pula ia menjadi dosen di almamaternya hingga pensiun.
Ia pernah mendapat penghargaan dari luar negeri, tepatnya Wendy Sorenson memorial Award, USA, tahun 1977. Karya-karyanya tahun 1970-an tersebut, tampil dengan warna yang berani, dengan sabetan garis-garisnya yang kuat.
back to top
SUYATNA, Jakarta
Pengrajin keramik Suyatna, lahir di Tangerang 28 Februari 1957. Belajar keramik pada Jurusan Seni Rupa - Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 1976-1981. Sejak 1982 mengajar di studio keramik IKJ sampai akhir hayatnya, November 2004.
Tahun 1981-1982 Suyatna turut mendirikan studio keramik Makara. Lalu magang pada ahli keramik Jepang Marioko Shigeyoshi di Wakayama, Jepang (1983-1984). Untuk menunjang proses kreatifnya,tahun 1985 mendirikan studio keramik di Curug. Selama tiga tahun berturut-turut – 1985,1986,1987 – ia menggelar pameran tunggal di Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta . Selain itu ia juga pameran di Goethe Institut Jakarta, dan ditempat-tempat lain.
Suyatna memberikan sentuhan pada benda-benda fungsional, mulai dari piring hingga gelas, dengan lukisan yang dibuat dengan berbagai teknik. Selain itu juga membuat lukisan diatas lempengan-lempengan keramik, dengan obyek wanita-wanita telanjang, dengan kontur yang jelas dan latar belakang gelap. Dengan suhu pembakaran diatas 1200 derajat Celsius, warna-warna lukisan keramik itu sering kali tidak diprediksi keindahannya. Tantangan ini, yang membuat hidup Suyatna makin hari makin menyala, menggeluti lukisan keramik.
back to top
SYAHWIL, Jakarta
Pelukis Syahwil lahir pada tanggal 9 Oktober 1936, di Sulit Air, Sumatra Barat. Belajar seni lukis di akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta , tahun 1955-1960.
Pameran tunggalnya yang pertama diselenggarakan pada tahun 1964, meskipun sebelumnya sudah sering ikut pameran bersama di berbagai tempat di Tanah Air hingga luar negeri.
Selain melukis, dalam diri Syahwil mengalir juga bakat menulis sastra. Untuk itulah ia piawai mengarang cerita pendek, novel dan drama. Karyanya Si Bung dari Siantar , adalah sebuah cerita masa kecil Adam Malik, Wakil Presiden Indonesia dimasa Orde Baru, yang ditulis pada tahun 1978 dan diterbitkan oleh Penerbit Aries Lima, Jakarta.
Syahwil menjadi peñata artistik majalah Tempo selama dua tahun, kemudian menjadi editor penerbit Aries Lima yang bergerak dibidang penerbitan buku-buku bacaan anak-anak. Juga pernah menjadi redaktur majalah Kucica.
Salah satu karyanya berjudul Pasar Ayam , yang digarap dengan medium cat minyak di atas kanvas, menjadi koleksi Adam Malik. Kecenderungan Syahwil, garis-garisnya lembut, paduan warnanya laras, dan narasinya kuat.
back to top
SYAIFUL ADNAN, Yogyakarta
Pelukis kaligrafi Syaiful Adnan, lahir di Saningbakar, Sumatra Barat, 6 Juli 1957. Belajar seni rupa di STSRI “ASRI” Yogyakarta (1976-1982). Semasa kuliah mendapat penghargaan Porseni I se Indonesia dan Pratisara Affandi Adhi Karya. Karya-karya lukisan kaligrafinya, kini sudah mempunyai ciri khas tersendiri.
Ia konsisten menggeluti lukisan kaligrafi, sehingga bisa berada dalam satu barisan dengan para seniornya seperti AD Pirous, Ahmad Sadali, Amri Yahya, dan Amang Rahman.
Pengamat kaligrafi memasukkan karya-karya Syaiful Adnan kedalam katagori bukan kaligrafi murni, tapi lukisan kaligrafi; yang lebih mementingkan garapan secara visual, disamping isi/pesannya. Lebih dari itu, bentuk huruf-huruf Arabnya pun, cenderung “membebaskan” diri dari rumus-rumus baku , sepert Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq sampai Riqa. Justru dengan begitu, kehadiran corak hurufnya bisa menambah perbendaharaan yang ada, kalu tidak boleh disebut “mengindonesia”.
Sejak 1979 sampai sekarang, ia telah seringkali pameran tunggal maupun bersama di Jakarta , Yogyakarta , Denpasar, Magelang hingga ke Singapura. Di antaranya Pameran Festival Istiqlal I di Jakarta (1991), dan Islamic Contemporary Work of Art Exhibition di Singapura (1992).
back to top
SYAMSULBAHAR, Sumatra Barat
Pelukis Syamsulbahar, lahir di Kuranji Lima Puluh Kota , 31 Desember 1913, wafat di Bukittinggi, Sumatra Barat, 19 Agustus 1994. Semasa hidup aktif melukis untuk memenuhi kebutuhan batin dan mengagumi kebesaran Tuhan, tapi tidak pernah sekalipun pameran lukisan, apalagi menjual karya. Setelah wafat, keluarganya berinisiatif menggelar lukisan-lukisan cat minyak, cat air dan drawing, yang kebanyakan mengambil obyek pemandangan alam Minangkabau, “meneruskan” Wakidi. Pameran berlangsung di Taman Budaya Sumatra Barat, Maret 2006.
Syamsulbahar menempuh pendidikan di HIS tahun 1930 di Solok, Islamic College Padang, dan Bovenbow Ruang Pendidikan INS Kayutanam 1937. Semasa hidupnya mengabdikan diri di lapangan kemiliteran, pendidikan, dan politik.
back to top
TISNA SANJAYA , Bandung
Perupa kontemporer Tisna Sanjaya, lahir di Bandung , Jawa Barat, 1958. Belajar seni rupa di IKIP Bandung , FSRD-ITB Bandung, dan Freikunst HBK Braunscheigh, Jerman. Sekarang mengajar di almamaternya, FSRD-ITB Bandung dan menjadi anggota Korpri.
Selain melukis, ia berekspresi dengan instalasi dan seni rupa pertunjukan di dalam dan di luar negeri. Salah satu karya instalasinya yang terbuat dari bambu dan graphic print -- yang dikira sampah -- dibakar oleh aparat keamanan di Bandung . Peristiwa ini memicu gelombang pro kontra baik di media massa maupun di berbagai forum diskusi antar pekerja seni rupa dan praktisi hukum.
Karya-karya Tisna berkecenderungan menjadi seni rupa Jeprut, sesuatu yang terlepas; dari mainstream , dan kelaziman (rapi, manis, tertib). Lewat gambar-gambar ‘jorok', ‘sakit', ‘tidak utuh', ‘menjijikkan', jauh dari keindahan steril yang digariskan sang diktator, ditambah bau jengkol ditempat pameran, Tisna menjadikan karya seninya sebagai ‘ seni demi kebebasan', ‘seni bukanlah hanya estetik', ‘seni adalah untuk perdamaian', ‘seni demi perubahan sosial', seperti yang sering dikotbahkan kepada para mahasiswanya di kampus.
Selama ini karya-karyanya pernah dipamerkan dan dipertunjukkan di berbagai galeri maupun acara penting di Bandung, Yogyakarta, Jakarta, hingga di Singapura, Museum Seni Fukuoka Jepang, Asia Pacific Triennial of Contemporary Art di Brisbane,Australia, dan Museum Nusantara, Delf, Belanda.
back to top
TRISNO SUMARDJO, Jakarta
Seniman Trisno Sumardjo (1916-1969), lahir di Tarik, Surabaya , tanggal 6 Desember 1916. Ia belajar melukis dan menulis sejak berusia 30 tahun (1946) ketika bergabung di sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM) di Surakarta. Tahun 1948 menjadi anggota Gabungan Pelukis Indonesia di Jakarta. Sering mengikuti pameran di dalam dan di luar negeri.
Selain dikenal sebagai pelukis, ia juga dikenal karena karya-karya tulisnya berupa novel, naskah sandiwara, esai, puisi dan kritik seni rupa. Tahun 1950 menjabat sekretaris Lembaga Kebudayaan Indonesia , Jakarta , kemudian sekretaris Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional (BMKN). Tahun 1969 ia diangkat oleh Akademi Jakarta yang kemudian dikukuhkan Gubernur Ali Sadikin menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang pertama. Sayang ditahun itu juga ia mengembuskan nafas terakhir.
Dalam dunia seni lukis, Trisno Sumardjo termasuk pelukis realis, baik dalam landasan bertolak maupun dalam menggunakan ideom seni lukisnya. Obyek yang ia sukai adalah pemandangan alam, selain alam benda dan suasana perkotaan. Obyek manusia jarang ia gambar. Hanya sesekali saja, berupa potret diri dan potret keluarganya.
back to top
TRUBUS SUDARSONO, Yogyakarta
Pelukis Trubus Sudarsono (1926-1966), sebagai salah satu pelukis realisme terkuat di Indonesia , lahir di Yogyakarta , tahun 23 April 1926 . Pendidikan formalnya hanya sampai Sekolah Dasar. Bakat dan ketrampilannya terasah lewat belajar bersama Affandi dan S.Sudjojono.
Semasa pergerakan di Yogyakarta , ia bergabung dengan SIM dan kemudian dengan Pelukis Rakyat yang dipimpin Hendra Gunawan. Tahun 1948 ia pernah ditangkap dan masuk tahanan pemerintah kolonial Belanda karena dianggap terlibat aktivitas gerilya kaum pergerakan.
Setelah keluar dari tahanan ia aktif mengajar di ASRI Yogyakarta (1950-1960). Ia memang dekat dengan kalangan kiri ketika itu dan pernah terpilih sebagai wakil Indonesia dalam suatu perjalanan muhibah ke Cekoslovakia, (1954). Akhirnya, Trubus ikut menjadi korban kekejaman pengganyangan terhadap kelompok kiri di tahun 1966. Namun demikian, karya-karyanya yang dikerjakan dengan pendekatan realisme (bukan fotografis) tidak ikut terganyang, sehingga tetap hidup sampai sekarang.
back to top
TULUS WARSITO, Yogyakarta
Perupa Tulus Warsito, lahir di Sragen, Jawa Tengah, 10 Oktober 1953. Belajar seni rupa di Jurusan Seni Patung pada STSRI-ASRI Yogyakarta (1972). Dimasa tuanya mendalami ilmu politik hingga meraih doktor dari Sekolah Pascasarjana , Universitas Gajah Mada, Yogyakarta .
Sampai sekarang telah 11 kali pameran tunggal di Yogya, Solo, Jakarta , hingga di luar negeri: New Heaven (AS) dan Koln (Jerman). Adapun untuk pameran bersama di dalam dan di luar negeri sudah seringkali.
Salah satu karyanya Dancing of Water (1996), masuk sepuluh besar, Kompetisi Philip Morris Indonesia Art Award 1996. Setelah itu ia meraih penghargaan Canting Emas dari Taman Budaya Yogyakarta (1990), dan pada tahun 1975 masuk empat besar pada Kompetisi Seni Rupa Museum Seni Universitas Oregon, Medford, Oregon, AS.
back to top
T. SUTANTO, Bandung
Perupa T. Sutanto lahir di Klaten, 2 Mei 1941. Menempuh pendidikan di bagian Seni Rupa ITB, Jurusan Seni Grafis, lulus 1969. Lalu melanjutkan ke luar negeri, di School of Art and Design, Pratt Institute, New York, Amerika Serikat, hingga lulus 1986.
Bahasa garisnya yang lentur, spontan, dan bertenaga, menjadi sumber utama bagi keindahan karya-karya lukisan, grafis maupun karikaturnya. Namun dibalik keluwesan garis yang telah mempribadi tersebut, tak jarang mencubit pikiran dan perasaan kita lewat karikatur-karikaturnya yang menghiasi halaman opini surat kabar berbahasa Inggris terbitan Jakarta , The Jakarta Post.
Sebelum mengikuti Biennale Jakarta 2006, sudah pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta mengikuti Pameran Besar Seni ukis Indonesia IV, tahun 1980, di TIM. Gambarnya masuk dalam 5 Karya Terbaik pilihan juri. Enambelas tahun kemudian (1996) salah satu karyanya yang lain masuk dalam 10 Karya Terbaik, Indonesian Art Award 1996, Yayasan Seni Rupa Indonesia (YSRI)
Selama berkarya dari tahun 1960-an sampai sekarang, Sutanto empat kali pameran tunggal di Chase Manhattan Bank, Jakarta (1976), Galeri Hidayat Bandung (190, 1995), dan Galeri Lontar Jakarta (1996). Selebihnya pameran bersama di dalam dan luar negeri, antara lain Indonesian Artist 1968 - Pameran Keliling Inggris dan Swiss (1969-1969), Biennale of Graphic Art , Llubljana, Yugoslavia (1977-1981), 11 th Asian Art Exhibition : Metropolitan Museum of Manila , Filipina (1996), Pameran Tension & Harmony , Galeri Nadi, Jakarta (2003), dan Pameran Artrologia, Galeri C+, Bandung.
back to top
UGO UNTORO, Yogyakarta
Perupa Ugo Untoro lahir di Purbalingga, Jawa Tengah, 28 Juni 1970. Belajar seni lukis di Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta , hingga meraih gelar sarjana seni. Setamat kuliah ia memilih bermukim di kota gudeg tersebut.
Salah satu karyanya terpilih sebagai finalis dalam ajang kompetisi Indonesia Art Awards1996 . Menyusul tahun 1998 karyanya masuk lima besar terbaik Philip Morris Indonesia Art Awards an berhak ikut mewakili Indonesia dalam pameran Philip Morris Asean Art Awards di Vietnam pada tahun yang sama.
Perupa yang menekuni medium cat minyak ini, aktif mngadakan pameran tunggal maupun bersama di berbagai kota besar di Indonesia , antara lain Urip Mung Mampir Ngombe, Bentara Budaya Yogyakarta (2002), dan No Body di Gallery Mon DĂ©cor, Jakarta (2003).
Karya-karyanya cenderung bermain simbol-simbol (personal hingga komunal), di atas bidang kanvas yang dibagi-bagi, sehingga menimbulkan tegangan sekaligus daya tarik.
back to top
UMI DAHLAN, Bandung
Pelukis Umi Dahlan lahir di Cirebon , Jawa Barat, 13 Agustus 1942. Tamatan Fakultas Seni Rupa ITB Bandung (1968) ini, memperdalam ilmu seninya di Gerrit Rietveld Kunstacademia, Amsterdam , Nederland (1977). Pameran bersama maupun tunggal, sering ia lakukan di dalam hingga luar negeri, mulai dari Jakarta, Yogyakarta, Palembang, Semarang, Aceh, Cirebon, hingga Singapura, Malaysia, Hong Kong, Taiwan, Jepang, Filipina dan Eropa, AS, Nederland, dan Afrika Selatan.
Mantan pengajar Seni Rupa ITB Bandung ini, mendapat penghargaan yang pernah diterima antara lain Wendy Sorensen Award (1969), dan BKOW (1981).
Karya-karyanya cenderung non-figuratif. Melalui perenungan yang panjang, makan perwujudan alam nyata sudah tidak lagi merupakan kebutuhan batinnya. Ia lebih mementingkan pendekatan intuitif yang didasari pengalaman religius. Lebih-lebih karyanya pasca haji, bobot religiusnya semakin terasa.
back to top
V.A. SUDIRO, Yogyakarta
Pelukis V.A. Sudiro lahir di Yogyakarta , 22 Desember 1939. Belajar seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta . Selain melukis dengan cat minyak diatas kanvas, ia juga dikenal sebagai pelukis batik. Hingga kini masih aktif melukis. Lukisan realisnya yang termasuk karya baru bertajuk Eyang Ismoyo (2004) ikut dipajang dalam Pameran Seni Rupa Membaca Dunia Widayat , di Museum H Widayat, Magelang, 2004. Karya-karya sebelumnya ada juga yang bercitra surealistik.
Sudiro sudah sejak tahun 1960, aktif mengadakan pameran lukisan bersama di Yogyakarta , Surabaya , Jakarta , Bandung , hingga luar negeri. Di antaranya Pameran Seni Lukis Indonesia 72 di TIM (1972); Pameran Festival Contemporary/Asian Art Show di Fukuoka, Jepang (1980); Pameran Trienale I di bali (1987), Pameran Biennale Seni Lukis Yogyakarta (I/1988, II/1989); Pameran Seni Rupa Masa Kini Non Blok di Jakarta (1995), dan Pameran keliling ASEAN 1992. Pameran tunggalnya berlangsung di Jakarta tahun 1982 dan 1984.
Pada tahun 1970-an ia getol pameran lukisan batik, diantaranya dalam Pameran Batik Painting di Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, Roma (Itali), Belanda, Austria, Singapura dan Perancis (1970), dan Pameran Besar Seni Lukis Batik di Museum Affandi Yogyakarta (1974).
back to top
WAHDI S, Bandung
Pelukis Wahdi Sumanta, lahir di Bandung , Jawa Barat, Oktober 1917. Sejak duduk di bangku kelas tiga H.I.S ia sudah mulai gemar menggambar. Setamat H.I. S. mendapat bimbingan dari pelukis Abdullah Soeriosoebroto. Kegemarannya melukis semakin menggelora setelah bergabung dengan Kelompok Lima Bandung Angkatan 1935, yang di dalamnya beranggotan Affandi, Barli, Sudarso, Hendra Gunawan dan dia sendiri. Di dalam kelompok itu mereka sering melukis bersama dan saling bertukar pandangan maupun pengalaman.
Pelukis yang terkenal jagoan menggambar pemandangan ini, tahun 1936 menggelar pameran bersama Abdullah (gurunya) dan Sukardji, kemudian tahun 1949-1950 ia mengikuti pameran antar ‘Sint Lucas Gilde' di Bandung. Sambil terus melukis, ia mengajar di Sekolah Dasar di Bandung, lalu menjadi pengusaha mebel (1954-1960).
Pameran tunggal pertama di TIM tahun 1954. Kemudian diundang mengikuti Pameran Besar di TIM (biennale pertama) 1974 yang digelar DKJ. Setelah itu seringkali pameran bersama maupun tunggal di Jakarta dan Bandung .
Seperti penampilannya dia sehari-hari yang santun dan lembut, karya-karya pelukis berewokan ini, khususnya pemandangan gunung di Jawa Barat, cenderung tenang dan puitis.
back to top
WAKIDI, Sumatra Barat
Pelukis dan guru Wakidi, lahir di Palembang , Sumatra Selatan, tahun 1889, dan meninggal dunia pada tahun 1979. Semasa muda ia bekerja di ladang minyak Plaju, Sumatra .
Dia dikenal sangat piawai sebagai pelukis pemandangan, apalagi temanya tentang Minangkabau, Sumatra Barat. Disamping melukis, ia mengajar di Sekolah Kayutanam, Sumatra Barat, di antara muridnya adalah almarhum Jendral (purn) TNI AH Nasution dan mantan Wakil Presiden (pertama) Mohammad Hatta. Selain itu ia juga sebagai guru bagi banyak pelukis yang kini menjadi tokoh-tokoh seni rupa modern Indonesia .
Dua diantara lukisan terbaiknya menjadi koleksi mantan Wakil Presiden Adam Malik, masing-masing berjudul Pekerja Wanita dan Danau , yang digarap dengan media cat minyak diatas kanvas. Sebuah lukisan Danau menjadi koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik, DKI Jakarta. Adapun karya-karyanya yang lain, kini sering muncul pada kegiatan lelang lukisan di Jakarta muapun di luar negeri
back to top
WIDAYAT, Magelang
Pelukis Widayat lahir di Kutoarjo, Jawa Tengah, 1922, kemudian menetap di Magelang, sampai akhir hayatnya (2002). Ia termasuk salah satu dedengkot mashab Yogyakarta , yang telah mencapai gaya pribadi yang kuat, yakni dekoratif.
Gaya pribadi Widayat tersebut mempunyai ciri pada deformasi bentuk-bentuknya yang bersumber pada citra seni primitif. Di antara tema yang banyak dilukis, kegairahannya pada dunia flora dan fauna mempunyai kekuatan tersendiri. Imajinsi tema itu berhubungan dengan kenangan Widayat semasa bekerja sebagai pengukur hutan di Sumatra . Lebih dari itu, ia dapat dilihat tengah memberi makna hubungan spiritualnya dengan dunia makrokosmos.
Dengan tekstur yang padat, lukisan-lukisan Widayat terasa mengungkapkan suasana magis. Oleh pengamat asal Filipina, lukisan Widayat disebut sebagai dekoratif magis, yang kemudian popular dengan dekoramagis.
Semasa hidupnya, lulusan ASRI Yogyakarta (1950-1955) selain melukis, juga mengajar di almamaternya, yang sekarang menjadi ISI Yogyakarta. Pernah pula belajar keramik di Jepang. Atas prestasi dan dedikasinya, tahun 1972 diganjar penghargaan Anugerah Seni dari Pemerintah RI . Disusul penghargaan BMKN tahun 1973.
Selama bienal DKJ digelar, ia menjadi peserta sebanyak 6 kali; salah satu diantaranya tahun 1974 karyanya menjadi pemenang. Sebuah Museum Widayat di Magelang kini menjadi saksi perjalanan hidupnya.
back to top
YANI MARIANI SASTRANEGARA, Jakarta
Pematung Yani Mariani Sastranegara itu lahir pada tanggal 17 Agustus 1955, atau 10 tahun setelah Indonesia merdeka. Belajar seni patung di Jurusan Seni Rupa LPKJ-IKJ (1981).
Selain membuat patung-patung tunggal, anggota Asosiasi Pematung Indonesia (API) ini juga banya membuat instalasi. Karyanya instalasinya yang spektakuler digantung selama sebulan diatas langit-langit Plaza Senayan, salah satu mal terbesar di Jakarta. Karya berjudul Sinergi Kehidupan itu seberat 3,25 ton.
Dalam berkarya, Yani tidak fanatik pada pemakaian satu bahan saja, melainkan menggunakan pelbagai material: selain batu, ada polyressin filler, pewter (timah putih), tanah, pasir batu bintang, daun-daun kering, tali, api, air, hingga rekaman video. Pameran tunggalnya bertajuk Endless, di galeri Lontar, 2003, sebagai upaya membaca orde alam.
Ia termasuk salah satu perempuan pematung yang kini berada di barisan depan. Aktivitas pameran bersama yang mencapai belasan kali dalam setahun itu, berlangsung di Jakarta, Bandung, Magelang, Malang, Yogyakarta, Bali, hingga China dan Itali. Antara lain Pameran Seni patung Kontemporer Indonesia- Trienalle Jakarta II di TIM (1998), Pameran Perempuan JakArt 2001,Bentara Budaya Jakarta (2001), Pameran Patung API, Galeri Nasional Indonesia Jakarta (2001), Pameran Seni Patung @eg,com, Edwins Gallery Jakarta (2003), Pameran CP Open Biennale di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2003), Karya Instalasi Ruang Sinergi Kehidupan, Plaza Senayan Jakarta (2003). Tahun 2005 mengikuti Bienalle 51, Venezia, Itali dan Biennale II Beijing, China.
back to top
YANUAR ERNAWATI, Yogyakarta
Pelukis Yanuar Ernawati, lahir di Padang , Sumatra Barat, 11 januari 1959. Lulusan Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia (ISI), sejak 1984 aktif melakukan pameran di dalam dan di luar negeri.
Hingga sekarang telah melakukan 9 kali pameran tunggal di Yogyakarta , Bali , hingga Cemara 6 Gallery Jakarta. Sedangkan untuk pameran bersamanya antara lain di Nomuera gallery, Sinjuku Building, Tokyo,Jepang; Kedutaan dan Press Club, Paris, Perancis; Kedutaan dan Press Club,Brussel,Belgia; Bentara Budaya Jakarta; Cemeti Modern Art Gallery Yogyakarta; Toronto International Art Fair; Biennale 1984 TIM Jakarta.
Semasa kuliah mendapat penghargaan Sketsa Terbaik, hingga seni lukis terbaik pada Dies Natalis ISI Yogyakarta dan Penampilan karya pilihan dari Dewan Kesenian Yogyakarta (1989).
back to top
YAYAK ISKRA YATMAKA, Jerman
Pelukis Yayak “Kencrit” Iskra Yatmana, lahir di Yogyakarta , 1956. Belajar di Fakultas Senirupa dan Disain ITB, Jurusan Disain Grafis, 1977. Sejak 1992, tinggal di Cologne , Jerman; setelah lolos dari pengejaran aparat keamanan Rezim Orde Baru.
Pendiri Kelompok Wulung, Koeln, Jerman (1993) dan Anggota Figuration Critique, Paris, Perancis (1998) ini, aktif pameran tunggal Anak Bumi Selatan di Bilderschreck, Koeln (1994), yang kelak dipamerkan di Surabaya (2003). Pameran Karikatur Politik dan Gambar, di Evangelische Akademi Iserlohn, Hamburg, Amsterdam, Zurich, Koeln, hingga Institut und Sammlung fuer Voelkerkunde Universitaet Gottingen dan Universitaet Humbold, Berlin (1992-1995). Selain itu juga melakukan aksi gambar di berbagai kota di Eropa (1992-1998).
Tahun 2004, ia pameran tunggal Semua Orang itu Guru, Semua Tempat itu Sekolah, di TIM. Pameran itu sekaligus reuni dengan para rekan dan aktivis yang berpisah sejak bersembunyi di Jerman.
back to top
YUSUF AFFENDI JALARI, Bandung
Perupa Yusuf Affendi Jalari, lahir di Jakarta , tanggal 5 Agustus 1936. Lulusan bagian Arsitektur dan Seni Rupa ITB Bandung (1961), Rochester Institute of Tecknology, School of Art and Design, Rochester New York, USA (1971). Selain pelukis, ia dikenal sebagai seniman tapestry, peneliti, penulis buku, dan dosen.
Aktif pameran sejak 1960-an sampai sekarang, baik di dalam maupun di luar negeri, antara lain di Jakarta, Bandung , Surabaya , Bangkok , Manila , Kuala Lumpur , Singapura, hingga Inggris. Guru Besar Ilmu Seni Rupa dan Desain pada Fakultas Seni Rupa ITB yang kini bertugas di Trisakti Jakarta , meneliti dan menulis buku tentang susunan warna di daerah Indonesia , tenun ikat, hingga tekstil non tentu Indonesia .
Mengantongi sejumlah penghargaan dari dalam dan luar negeri, antara lain Upakarti dari Presiden RI (1990), Satyalencana Pengabdian dari Pemerintah RI/ Rektor ITB (1986), Penghargaan dibidang kebudayaan dari Gubernur Jawa Barat (1985). Selain itu penghargaan seni/kebudayaan dari Pemerintah Australia , Guest Lecturer,Craft Centre, Darwin (1981) dan Fellowship JD Rockeffeler The 3 rd New York , USA (1968).
back to top
Y. EKA SUPRIHADI, Yogyakarta
Pelukis dan pegrafis Y. Eka Suprihadi lahir di Yogyakarta, 22 Oktober 1943. Menempuh pendidikan seni rupa di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta , lalu melanjutkan ke Kyoto University of The Art, Jepang.
Pameran yang pernah diikuti antara lain International Print Bienalle Taipei, Taiwan; Pameran Seni Lukis dan Fotografi ASEAN di Kuala Lumpur; Bienalle Seni Lukis Yogyakarta; Bienalle Seni Lukis Indonesia di Jakarta; Bienalle Seni Grafis Indonesia di Bandung; International Exhibition of Print in Seoul, Korea Selatan; Pameran Lomba Lukis Negara-negara ASEAN; Pameran kompetisi seni lukis Indonesia Art Awards 1995, 1996, 1997, 1998, 1999; dan Pameran di Museum Widayat.
Salah satu lukisannya mendapat penghargaan masuk dalam 5 Karya Terbaik Lomba Seni Lukis 1995. Dua tahun kemudian, karya grafisnya memperoleh penghargaan sebagai Karya Seni Grafis 1997, dari Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia .
back to top
ZAINI, Jakarta
Pelukis Zaini (1924-1977) kelahiran Pariaman, Sumatra Barat, tahun 1934 belajar melukis pada Wakidi ketika sekolah di Indonesisch Nationale School (INS) Kayutanam Sumatra Barat. Lalu 1943 belajar teknis kepada maestro Basuki Abdullah di Jakarta.
Dalam jajaran perupa di Tanah Air , ia terkenal dengan lukisan bernuansa lembut dengan bahasa abstraksi liris, yang mulai dirintisnya sejak tahun 1950.
Senafas dengan karya OE semenjak di SIM Yogyakarta , telah menuju pada penyederhaan bentuk yang naif. Tahun 1949, keluar dari SIM yang semakin kuat pengaruh paradigma “kerakyatan revolusioner” yang berhaluan kiri. Lalu pindah ke Jakarta dan mulai mengembangkan karya-karyanya dengan media pastel yang menghasilkan garis dan warna lembut.
Dengan proses panjang, eksplorasi teknik dengan pencarian bentuk lewat goresan spontan dan lembut menghadirkan obyek-obyek yang impresif. Obyek-obyek itu menghasilkan sosok kabur dengan ekspresi kesunyian yang kuat.
Karya-karya periode selanjutnya dengan obyek-obyek seperti perahu, bunga, burung mati, terasa sebagai tanggapan personal tentang kerinduan, kesunyian, kehampaan bahkan kematian.
Tahun 1970 Zaini mencapai puncak pencapaian abstraksi dan sprititualisasi objek-objek, pada saat ia menghadirkan suasana puitis dalam karya-karyanya dengan medium cat minyak dan akrilik
Pelukis yang semasa hidupnya aktif pameran di dalam dan luar negeri ini, pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Periode 1969-1977. Karya-karyanya banyak dikoleksi kolektor perorangan maupun instansi, di antaranya Galeri Nasional Indonesia dan Dewan Kesenian Jakarta.
S o u r c e : B I E N N A L E J A K A R T A
lg browsing Kartono Yudho... nemu blog ini. Thanks! kira2, tahu di mana keberadaan Ibu Nurnaningsih? :)
ReplyDeleteMaaf, tolong link ke Jakarta Biennale diperbaharui. http://www.jakartabiennale.com/ Makasih
ReplyDeletearoma.enigma...
ReplyDeletesaya belum tau keberadaan/jejak ibu nurmaningsih.. begitu kira2
makasih
=============================
pak bu anonymous,
link websitenya sudah saya perbaharui.
makasih...
makasihhhhh.....
ReplyDelete