Hari Menulis Sedunia


Pak Pram (Pramoedya Ananta Toer) memang telah tiada, tapi kemarin berkesempatan menghampiriku, membisikiku dan bilang: "Nak Toni, orang boleh pandai setinggi langit." Ia berhenti dan suaranya sedikit serak.

Makna yang dalam bersemayam di balik kata-katanya. Saat ia katakan itu anganku bergerilya berusaha menemukan pengalaman-pengalaman visual dalam bilik otakku yang tak kunjung pandai. Di sana kutemukan gambaran betapa begitu banyak orang mengejar kepandaian, setiap pagi hingga malam hari orang pergi bersekolah. Menghabiskan banyak hal; biaya tenaga dan merepotkan banyak orang. Di luar sekolah ada pendidikan informal yang diikuti; les, kursus, bimbingan belajar. Semua demi kepandaian (dalam hal apapun). Lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun informal meluluskan anak didiknya setiap tahun, bulan. Bahkan hasilnya adalah pasti ada lulusan-lulusan terbaik, cumlaude dan predikat terbaik lain yang mengikutinya. Orang pandai tercetak sudah, secara akademik.

Bayangan pengalaman-pengalaman visual itu belum juga tuntas, aku terhenyak mendengar lanjutan bisikannya, "tapi nak Toni, selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." Kepalaku makin rumit dibuatnya. Dadaku berdentam tak karuan. Semakin tertohok dan malu. Aku memejam mata dan menunduk. Aku salah satu dari lulusan-lulusan itu, paling tidak, pernah melewati lembaga pendidikan macam itu. Mmeski sampai sekarang aku masih belajar tentang apapun yang sempat aku bisa pelajari.

"Apakah harus menulis?" batinku beringsut, aku tak sanggup menanyakan padanya. Aku belum bisa dan apalagi pandai menulis. Dan aku..(belum sempat aku lanjutkan acara membatinku) ia melanjutkan bisikannya: "Menulis adalah bekerja untuk keabadian." Itu terakhir ia bisikkan sebelum entah lenyap kemana. Tapi sempat aku rasakan hempasan udara bekas ia pergi.

Aku terus diam seharian, duduk dan melanjutkan aktifitas. Hanya saja kata-katanya itu tak ubahnya seperti aku sedang menghafal kalimat. Ia mengiang terus menerus. Bahkan menggema. Melampaui hal lain apa yg aku pikirkan.

Lagi-lagi aku membatin, kenapa menulis. Ah, pikirku, menulis hanya satu penanda, hanya kunci,  semacam metafora atas ribuan bahkan jutaan maksud, makna. Kata "menulis" hanya medium. Menulis adalah hasil. Menulis adalah ketekunan. Menulis adalah bekerja. Menulis adalah mengabdi. Menulis adalah sesutau yang dibaca. Menulis adalah berkarya. Menulis adalah kemanfaatan. Ah, pasti ada banyak sekali maksud dari memaknai "menulis" ini. Batinku mengangguk-angguk.

Berkarya tentu banyak ragam. Melakukan hal baik apa yang bisa kita lakukan yang memiliki manfaat baik terhadap diri sendiri, keluarga, dan jika mampu berlebih untuk orang lain. Yang bisa menulis jadilah penulis menulis yang baik. Yang jadi agamawan jadilah agamawan yang cinta damai. Yang aparat, jadilah aparat yang tak keparat. Yang guru, jadilah guru yang baik dan mendidik. Yang ibu rumah tangga, jadilah yang terbaik. Yang pedagang, berdaganglah yang baik dan jujur. Dan masih banyak lagi profesi orang-orang. Berkarya melalui apa yang mampu bisa dilakukan dengan perpaduan otak dan hati. Keduanya harus selalu ada. Lagi-lagi aku mengangguk, sok mengerti analisa diri sendiri terhadap "menulis."

Melibatkan hati?

Mungkin banyak orang dengan tingkat intelijensia tinggi tapi tidak dengan hatinya, banyak orang pandai untuk dirinya sendiri, banyak orang pandai tak mau berbagi, sedikit orang pandai yang bijak, sedikit orang baik tapi banyak orang pandai. Paling tidak perbandingan dari jumlah lulusan (dan atau populasinya). Hanya sedikit orang menulis.

Dan tiba-tiba pekerjaan menggambarku mulai tak mau berjarak; deadline. Aku harus melanjutkan "menulis." Tapi, hari ini 8 Januari 2013 adalah Hari Menulis Sedunia, jadi selamat Hari Menulis Sedunia.
:)



Comments

Popular Posts