Antara Pleburan dan Tembalang:

Kisah di Balik Pemindahan Kampus Sastra

Pemindahan lokasi Jurusan Sejarah dan D3 Kearsipan ke Tembalang diwarnai penolakan sebagian dosen Sejarah.

Suatu sore menjelang Maghrib tanggal 21 Agustus 2004. Empat orang mahasiswa bergantian mengambil foto di beberapa lokasi kampus Sastra, Pleburan. Salah satu dari mereka adalah Risda, sang Ketua HMJ Sejarah. Ketika ditanya alasannya, Risda tersenyum lebar.

“Untuk kenang-kenangan. Kan besok Sejarah sudah pindah.”
Ya, mulai September ini, jurusan Sejarah dan D3 Kearsipan memang dipastikan menempati kampus baru Fakultas Sastra di Tembalang.

“.. kita mulai pindah ke sana awal semester depan, berarti bulan September ini. Tapi kita belum bisa menentukan secara pasti tanggalnya, tapi yang jelas bulan September ini kita mulai pindah. Sebagian besar barang- barang, buku-buku, almari juga sudah dibawa ke sana dan ditempatkan di lantai tiga.” jelas pak Singgih, Kajur Sejarah.

Pada awalnya, para “pejabat teras” jurusan-jurusan di Fakultas Sastra diundang Dekan untuk menghadiri rapat di ruang sidang. Agendanya adalah penentuan jurusan yang menempati kampus Tembalang pertama kali. Adegan saling lempar dan saling tunjuk pun terjadi karena hampir semua jurusan keberatan dipindah ke Tembalang. Tapi selanjutnya, jurusan Sejarah dan D3 Kearsipan diputuskan ketiban sampur untuk menghuni kampus Tembalang terlebih dahulu. Dalam rapat itu, para pejabat teras jurusan Sejarah dan D3 Kearsipan menyatakan bersedia pindah ke Tembalang.

Anehnya, meski di forum itu Dr. Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum. (Ketua Jurusan Sejarah, Red,) menyatakan keputusannya sudah dibahas diinternal jurusan Sejarah, tapi beberapa dosen sejarah menolak keputusan itu dan menganggap bahwa itu belum keputusan akhir.

Setidaknya ada sepuluhan dosen Sejarah yang menolak kepindahan itu. Alasannya bermacam-macam. Mulai dari alasan ilmiah seperti sense of history hingga alasan personal seperti jarak rumah yang jauh dari Tembalang. Sayangnya, ketika dikonfirmasi para dosen tersebut menolak berkomentar lebih jauh. Mereka khawatir akan memperuncing masalah.

Karena merasa terpinggirkan, mereka bersatu mengajukan surat keberatan ke Dekan. Tapi Dekan menolak. Di rapat antar jurusan selanjutnya, perdebatan kembali terjadi.

Kali itu, yang kontra-kepindahan tampil ke muka. Hasilnya, permasalahan internal itu dikembalikan ke jurusan Sejarah. Sementara keputusan rapat tidak berubah. Jadilah jurusan Sejarah dan D3 Kearsipan menjadi penghuni baru kampus Sastra di Tembalang. Dan suara penolakan-penolakan itu berakhir sebagai gerundelan pihak yang kalah.

Menurut Singgih, Ketua Jurusan Sejarah, ada dua alasan pokok mengapa Sejarah dan D3 Kearsipan bersedia menempati gedung baru Sastra di Tembalang lebih dulu. Alasan itu adalah urgensitas dan filosofis. Dari segi urgensinya, menurut Singgih, jurusan Sejarah memang sangat membutuhkan lokasi kantor Jurusan yang lebih luas untuk menyimpan koleksi bahan kuliah dan peralatan mereka.

Maklum, semenjak mendapat dana semique (dana bantuan dari pemerintah yang diperoleh melalui seleksi dan kompetisi), jurusan sejarah memborong perlengkapan dan peralatan baru seperti OHP, komputer, dan buku-buku Sejarah. Namun sayang, menurutnya, kantor jurusan Sejarah terlalu sempit untuk menampung itu semua.

“Kalau barang-barang yang sudah ada ini tidak dipakai kan mubadzir. Lama-lama bisa rusak juga. Nah...kalau di Tembalang kan kita bisa memanfaatkan ruangan di sana. Selain itu, di sana dekat dengan perpustakaan pusat Widya Puraya. Kita bisa lebih mudah mencari buku-buku penunjang perkuliahan.”

Selain alasan kebutuhan, Singgih mengaku memiliki alasan filosofis-agak historis, yaitu jurusan Sejarah adalah salah satu jurusan paling tua di fakultas Sastra. Dan sebagai jurusan tertua, Sejarah diberi kesempatan pertama untuk menempati kampus baru, ditemani dengan program studi D3 Kearsipan yang sebagian besar dosennya adalah dosen Sejarah, masih “seguru”.

Meski demikian, tak semua dosen sependapat dengan Singgih. Seorang dosen sejarah yang enggan disebutkan namanya memberi komentar bahwa kepindahan jurusan ini dirasa kurang tepat. Menurutnya, jurusan sejarah adalah jurusan yang kurang marketable atau kurang diminati. Bila ruang kuliah Sejarah dipindah ke Tembalang yang keadaanya masih sepi dan jauh dari pusat kota, ia khawatir jumlah peminat jurusan ini makin menurun.

“Kita semua tahu kalau jurusan sejarah itu kurang marketable, tetapi kenapa jurusan ini yang disuruh pindah dahulu ke Tembalang. Seperti kelinci percobaan saja.” ungkapnya gusar.

“Sebetulnya kami sangat keberatan apabila harus pindah. Tapi mau bagaimana lagi, keputusan sudah dijatuhkan.” Lanjutnya. Kali ini dengan nada pasrah.

Ia justru menyesalkan sikap mahasiswa yang terkesan diam dan tak responsif alias mlempem. Padahal, menurutnya, mahasiswa adalah unsur terpenting dalam masalah ini.
“Saya yakin pasti banyak juga yang tidak setuju atas kepindahan ini.” ujarnya tegas.

Menanggapi perbedaan itu, dengan tersenyum lebar Singgih berkomentar pendek. “Ya.. yang namanya musyawarah, beda pendapat itu wajar.”

Ia mengaku memang ada beberapa dosen yang menolak kepindahan ini. Menurutnya, alasan utamanya adalah ikatan emosional dengan kampus Pleburan dan alasan jarak, “Karena sudah terbiasa di sini. Kalau harus pindah, mereka merasa keberatan. Dan juga alasan sarana yang ada di sana jelas kurang. Transportasi susah dan jauh dari pusat kota.” jelas Pak Singgih.

Menanggapi usaha para dosen Sejarah kontra-kepindahan untuk membatalkan keputusan itu, ia menjawab enteng, “kalau itu sudah keputusan pimpinan, kita bisa apa?” ungkapnya.

Hal serupa juga disampaikan Drs. Djuhar Nur, S.U., Ketua Program Studi D3 Kearsipan. Ia mengakui ada perbedaan pendapat yang terjadi di ruang sidang beberapa waktu yang lalu. Tapi ia menganggapnya wajar. Ia sendiri mengaku menyambut baik kepindahan ke Tembalang. Menurutnya, kampus Pleburan sudah terlalu sempit dan kurang optimal lagi digunakan sebagai sarana pembelajaran oleh ribuan mahasiswa Sastra sekarang.

“Kita di sini merasa sempit. Ibaratnya, dikasih rumah baru yang lebih longgar kan harusnya seneng to...? Saya masih merasa heran sama yang tidak setuju. Saya pikir kalau masalah sarana yang kurang, jauh dari keramaian, transportasi susah, itu bisa diatasi. Sambil berjalan kita bisa melengkapi sarana yang belum ada. Tapi memang harus bertahap. Kita melihat kemampuan yang kita punya, jangan terlalu dipaksakan.” Jelas Djauhar panjang lebar. Tapi jika mau jujur, Djauhar sendiri mengaku sangat berat meninggalkan kampus Pleburan.

“Ada ikatan emosional.” jelasnya pelan. Ketika ditanya alasan mengapa ia malah mendukung kepindahan itu, alasan praktis keluar dari mulutnya, “...kita kan pegawai negeri, harus taat pada pemimpin (Dekan, Red.). Kalau pemimpin sudah memutuskan demikian, mau bagaimana lagi?” katanya dengan nada pasrah.

Dengan nada serupa, Dra. Chusnul Hayati, melontarkan alasan serupa. Semula, ia pribadi kurang sreg dengan kepindahan itu. Meski semula terkesan menghindar ketika dikonfirmasi Hawepos, ia akhirnya memberitahu alasannya berubah sikap.

“Gimana ya, Mbak. Masak dosen yang lain sudah melambaikan tangan tanda setuju, saya kok masih sendirian? Jadi ya saya harus melambaikan tangan juga.” katanya hati-hati.

Tak seperti dosen Sejarah yang menolak kepindahan dengan berani dan kritis, mahasiswa Sejarah ironisnya justru tunduk dan patuh. Tak ada respon berarti dari mahasiswa Sejarah (khususnya) maupun Sastra (umumnya). Padahal, nasib merekalah yang tengah diombang-ambingkan, antara hidup di Tembalang atau di Pleburan, antara dekat dengan pusat kota, atau tersingkirkan.

BEM Sastra dan HMJ Sejarah sendiri tak bersikap atau bersuara. Lebih menyedihkan, Presiden BEM Sastra mengaku tak terlibat (dan melibatkan diri) dalam pengambilan keputusan itu.

“Saya tidak pernah dilibatkan dalam rapat di ruang sidang tentang kepindahan ini. Memang, BEM pernah mengadakan sarasehan tentang kepindahan Sastra ke Tembalang…, tapi tentang pengambilan keputusan di ruang sidang, saya tidak tahu menahu”. aku Oktora Rahmat, mahasiswa Sastra Inggris angkatan ’99, yang juga masih menjabat sebagai presiden BEM Sastra.

Suara-suara penolakan dari pihak mahasiswa hanya terlontar dari mahasiswa senior. Salah satunya adalah Doel, bukan nama sebenarnya, mahasiswa angkatan 1998.

“Tembalang kan jauh dari pusat keilmuan, jurusan sejarah harus banyak mengamati kehidupan sosiologis masyarakat secara langsung, sedangkan Tembalang jauh dari peradaban.” Lebih jauh, ia melihat pemindahan ini adalah sebentuk pemaksaan. Alasannya?

“Saya tak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan kepindahan jurusan sejarah.”
Memang, tak seperti adik kelasnya yang hanya berani menyatakan ‘keberatan’, mahasiswa-mahasiswa “angkatan tua” seperti Doel itulah yang berani menyatakan menolak. Sayangnya, mereka hanya berani berteriak di kos atau di pelataran kampus. Tidak di dalam ruang sidang, ketika dosen Sejarah mengundang mahasiswa membahas kepindahan itu.

“Waktu diundang dalam rapat, mereka (angkatan tua [2000-1998], Red.) tidak datang. Salah sendiri! Yang datang justru anak-anak baru.” kecam Risda, Ketua Jurusan Sejarah.

Dan anak-anak baru itulah yang kemudian bersepakat untuk pindah ke Tembalang. Alasannya sangat sederhana. Mereka dijanjikan akan diberi fasilitas lebih lengkap di Tembalang. Hal itu diketahui dari pengakuan salah satu mahasiswa baru angkatan 2003, sebut saja namanya Andi.

“Awalnya kami tidak mau. Namun dari Ketua Jurusan memberikan jaminan fasilitas yang lebih baik di Tembalang seperti OHP, laboratorium sejarah, dan perpustakan jurusan Sejarah.” jelas Andi.

Mendapati janji demikian, Andi dan kawan-kawannya tergiur, dan akhirnya bersepakat. Sementara itu, Doel dan kawan-kawan seangkatannya, memilih tak berkomentar. Mereka lebih memikirkan nasib sendiri (skripsi yang mulai dan tengah mereka garap).

“Ngga sempet mikir gituan (gerakan atau suara penolakan, Red.), mending mikir skripsi.” tukas Toto, bukan nama sebenarnya, mahasiswa Sejarah ’99 yang tengah merevisi skripsinya. Yang masih getol menolak, belum memikirkan skripsi pun mau tak mau mulai mengalah, “dibereskan” Risda.

“Kini semua sudah beres.” tegas Risda ketika ditanyai tentang sikap para seniornya. Untuk “membereskan” para angkatan tua itu, Risda harus rela mendekati mereka satu persatu. Itu adalah tugas tambahan buatnya selain harus mengurusi ruang sekretariat yang belum juga dialokasikan di lokal kampus Tembalang. Maklum, student centre/ Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) memang belum dialokasikan di kampus Sastra Tembalang.

“Kalau sekretariat HMJ masih tetap dipusatkan di sini (Pleburan, Red.). Sebab mahasiswa paling menggunakan sekretariat kalau mau mengadakan kegiatan saja. Jadi tidak setiap hari mereka menempati sekre HMJ.” Jelas Drs, Mulyono, M. Hum., Pembantu Dekan III.

Di tahun ajaran baru ini, mahasiswa Sejarah dan D3 Kearsipan dipastikan memulai perkuliahan di kampus Tembalang, meninggalkan kampus Pleburan, yang sebenarnya merupakan situs sejarah. Memang, gedung berarsitektur Belanda yang mirip SD inpres ini masuk dalam daftar Benda Cagar Budaya yang harus dilindungi dan dihargai.

“Bangunan yang berada di sekitar Simpang Lima termasuk gedung sastra adalah cagar budaya yang harus dijaga. Oleh karena itu walaupun bangunan sudah reot tapi tidak akan direnovasi, akan tetap dipertahankan bentuknya.” Jelas Dekan Sastra, Prof. Dr. Th. Sri Rahayu Prihatmi, M.A., ketika dikonfirmasi mengenai hal itu.

Bangunan bernilai sejarah inilah yang telah lebih dari dua puluh tahun ditempati para dosen sastra untuk berkarya. Di gedung mirip SD Inpres-tapi rindang dan nyaman-inilah mereka melakukan proses pengembangan dan transfer ilmu. Selama itu juga, sebutan ‘kampus rakyat’ tersemat baginya akibat kekritisan anak didiknya yang “menggeliat” ditempa keadaan dan situasi.

Namun, beberapa tahun lagi, gedung bersejarah itu dipastikan hanya akan ditempati mahasiswa S1 Ekstensi dan D3 Inggris. Sementara sebagian besar mahasiswa lainnya (terutama S1 reguler, yang sering diidentikkan sebagai sumber mahasiswa berpotensial dan kritis) harus hijrah ke Tembalang, .

Ironis, memang. Jika kampus Pleburan tak boleh diubah bangunannya karena alasan sejarah, ternyata dengan alasan (klaim) sejarah juga, Singgih dan para pucuk pimpinan Sejarah sepakat meninggalkan tempat bersejarah ini, menuju “dunia lain” yang sepi dan terasing.***

Comments

  1. Anonymous12:50 pm

    “dunia lain” yang sepi dan terasing? waduh, jangan bilang kayak gt donk.
    emang pernah ngerasain tinggal di tembalang? sbgai mantan penghuninya, ak ngerasa tembalang menyenangkan. semua serba ada. walau skrng tnggl di jakarta, aku merasa tembalang lbh nyaman untuk hidup. seandainya bisa di tembalang lagi. kangen...............

    ReplyDelete
  2. tembalang yang dulu memang begitu, kini tembalang adalah jakartanya semarang dalam hal macet, juga berisik.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts